Tuesday, May 27, 2008

MEMAHAMI PERBEDAAN DAN DASAR HUKUM AUDIT INVESTIGASI DAN AUDIT FORENSIK


Oleh Imam Syafi’i

I. Beberapa Perbedaan antara Audit Investigasi dengan Audit Forensik

- Dasar pelaksanaan audit investigasi antara lain: kewenangan yang ada pada lembaga audit, satuan pengawas, permintaan dari DPR, dewan komisaris atau manajer suatu perusahaan, atau ketentuan lain sebagai dasar pelaksanaan. Sedangkan dasar audit forensik ialah pasal 120 ayat (1) KUHAP. Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

Permintaan penyidik dapat dikelompokkan dua hal, yaitu:
(1) Permintaan menghitung kerugian negara, yang dilakukan oleh auditor untuk membuat keterangan ahli dan sebagai bukti kesaksian di sidang pengadilan; (2) Permintaan untuk menjadi saksi ahli di mana auditor tidak diminta untuk menghitung kerugian negara, melainkan hanya diminta pendapat sebagai seorang yang ahli dalam bidang keuangan dan akuntansi serta mengetahui tentang korupsi.

- Tanggung jawab pelaksanaan audit investigasi adalah pada lembaga audit atau satuan pengawas, sedangkan audit forensik berada pada pribadi auditor. Apabila keterangan yang diberikan kepada penyidik atau keterangan di sidang pengadilan palsu, auditor akan dikenai sanksi.

- Tujuan audit investigasi adalah mengadakan audit lebih lanjut atas temuan audit sebelumnya, serta melaksanakan audit untuk membuktikan kebenaran berdasarkan pengaduan atau informasi dari masyarakat. Sedangkan audit
forensik bertujuan membantu penyidik untuk membuat terang perkara pidana khusus yang sedang dihadapi penyidik, serta mengumpulkan bukti-bukti dokumenter/surat untuk mendukung dakwaan jaksa.

- Prosedur dan teknik audit investigasi mengacu pada standar auditing serta disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi. Sedangkan audit forensik mengacu pada standar auditing dan kewenangan penyidik, dengan demikian, auditor dapat menggunakan prosedur yang lebih luas.

- Dalam merencanakan dan melaksanakan audit investigasi, auditor menggunakan skeptic profesionalisme serta menerapkan azas praduga tak bersalah. Sedangkan untuk audit forensik, dari hasil penyelidikan/penyidikan,
penyidik telah memperoleh bukti awal bahwa tersangkanya telah melakukan perbuatan melawan hukum.

- Tim yang melaksanakan audit investigasi sebaiknya oleh tim atau minimal salah satu auditor yang telah mengembangkan temuan audit sebelumnya. Tim audit baru dapat dibentuk apabila sumber informasi berasal dari informasi
dan pengaduan masyarakat. Sedangkan dalam audit forensik dapat dibentuk tim audit baru, dalam hal demikian, lebih baik dipilih auditor yang pernah melaksanakan tugas bantuan tenaga ahli untuk kasus yang sama atau hampir sama. Selanjutnya, salah satu dari tim audit harus bersedia menjadi saksi ahli di sidang pengadilan.

- Untuk persyaratan tim audit investigasi, auditor ‘sebaiknya’ yang menguasai masalah akuntansi dan auditing, serta mengetahui beberapa ketentuan hukum perundang-undangan. Sedangkan audit forensik, auditor ‘harus’ memahami masalah akuntansi dan auditing, karena belum tentu obyek yang diperiksa telah menyelenggarakan akuntansi sesuai prinsip yang lazim, serta mengetahui sedikit tentang hukum.

- Laporan hasil audit untuk audit investigasi menetapkan siapa yang terlibat atau bertanggung jawab, dan ditandatangani oleh kepala lembaga/satuan audit. Sedangkan untuk laporan hasil audit forensik aditor berkewajiban membuat dan menandatangani keterangan ahli atas nama auditor. Salah satu auditor di BAP sebagai saksi ahli di sidang pengadilan. Dalam hai ini wewenang penyidik adalah menetapkan siapa yang telah melakukan peristiwa pidana
sebagaimana pasal 55 dan 56 KUHP.

Audit investigasi dan audit forensik termasuk audit ketaatan, namun dalam praktek, ketentuan yang harus ditaati sangat luas, terutama menyangkut kebijakan manajemen, hukum formal maupun hukum material dan lain-lain.
Audit investigasi dan forensik merupakan audit yang bertujuan untuk menemukan kecurangan.
Kecurangan yang sering dijumpai dalam praktek di Indonesia antara lain:
- Kecurangan yang merugikan perusahaan swasta, baik dilakukan manajemen maupun karyawan yang berupa pencurian, penggelapan, pemalsuan dan lain-lain.
Apabila hal tersebut terjadi pada BUMN/BUMD yang menggunakan modal dan kelonggaran dari negara dan masyarakat, maka tindak pidana tersebut termasuk tindak pidana korupsi.
- Kecurangan yang menguntungkan perusahaan, seperti mark up laporan keuangan yang dipakai untuk mengajukan kredit bank agar memperoleh kredit dalam jumlah besar, atau memanipulasi pencatatan agar sedikit mungkin membayar pajak ke negara, manipulasi dalam penjualan yang menguntungkan perusahaan sendiri, dan melanggar ketentuan pemerintah dalam operasi bisnisnya.
- Kecurangan yang dilakukan manajemen dengan melakukan mark up laporan keuangan yang tujuannya agar manajemen kelihatan berhasil, perusahaan memperoleh laba sehingga manajemen dipertahankan oleh RUPS atau agar mendapatkan tantiem yang besar.
- Kecurangan yang terjadi pada instansi pemerintah atau BUMN/BUMD pada umumnya pasti merugikan negara.

II. Memahami Ketentuan Hukum Berkaitan dengan Audit Investigasi dan Audit Forensik.

- Dalam Kode etik Akuntan Indonesia dikemukakan bahwa setiap anggota harus selalu mempertahankan nama baik profesi dan menjunjung tinggi peraturan dan etika profesi serta hukum di mana ia melaksanakan kerjanya.
- Setiap anggota harus menolak setiap penugasan yang tidak akan dapat diselesaikannya atau tidak sesuai dengan keahlian profesionalnya.
- Penjelasan pasal 159 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa menjadi saksi adalah satu kewajiban setiap orang.
- Pasal 120 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
- Pasal 224 KUHP berkaitan dengan sanksi bagi siapa yang menolak menjadi saksi.
- Pasal 187 butir c KUHAP, yaitu keterangan ahli termasuk bukti surat
- Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU No. 24 Prp Th. 1960 berhubungan dengan kewajiban memberi keterangan menurut pengetahuannya masing-masing
- sebagai saksi, termasuk akuntan.
- Pasal 274 ayat (1) dan (3) RIB mengatur mengenai orang-orang yang tidak didengar sebagai saksi seperti keluarga sedarah, suami, dan isteri.
- Pasal 7 ayat (1) dan pasal 22 UU No.3/1971 berkaitan dengan kewajiban memberi keterangan kepada penyidik dalam kapasitas sebagai saksi.
- Pasal 35 UU No. 31/1999 berkaitan dengan pengecualian kewajiban sebagai saksi.
- Tanggung jawab administrasi pegawai negeri, PP 30/1980 dan pasal 89 Keppres 16/1994.
- Tanggung jawab keuangan pegawai negeri, Pasal 55, 74, 77 ICW dan 1365 KUPDt.
- Tanggung jawab pidana korupsi pegawai negeri, pasal 1 ayat (1) butir a, b, c, e beserta penjelasannya dan ayat (2) UU No. 3/1971.
- Tanggung jawab pidana umum beberapa pasal di KUHP: 209, 210, 418, 419, 420 (delik penyuapan), 415, 416, 417 (delik penggelapan), 423, 425 (delik kerakusan), 387, 388, 435 (delik pemborongan, leveransir dan rekanan).
- PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
- Ketentuan mengenai tuntutan ganti rugi dan perbendaharaan.
- Beberapa pasal KUHPdt yang perlu diketahui auditor karena sering dijumpai dalam praktek, seperti pasal: 1359, 1360, 1361, 1362, 1963, 1964, dan 1965.
Masalah hukum di suatu negara mungkin berbeda dengan negara lain, terutama mengenai hukum yang berhubungan dengan tindak pidana. Pelaku tindak pidana sesuai KUHP diatur dalam pasal 55 dan 56. Dengan memperhatikan pasal tersebut diharapkan auditor lebih berhati-hati. Pasal 39 ayat (2) Keppres No. 16/1994 dinyatakan: ‘Barang siapa menandatangani dan atau mengesahkan suatu bukti yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memperoleh hak dan atau pembayaran dari negara bertanggung jawab atas kebenaran dan sahnya surat bukti surat tersebut.’ Ketentuan tersebut menjadi bertentangan dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan tanggung jawab renteng. Sebagai contoh, ketika atasan menyuruh bawahannya bertindak menyalahi penggunaan anggaran, maka orang pertama yang terlibat secara formal adalah orang yang menandatangani, misalnya seorang petugas telah menandatangani berita acara penerimaan barang.

III. Pelaksanaan Bantuan Tenaga Ahli

Kasus yang ditangani penyidik pada umumnya kasus hasil penyelidikan polisi atau jaksa, namun ada juga yang berasal dari laporan lembaga audit yang menyatakan adanya indikasi tindak pidana korupsi.
Apabila lembaga audit menerima surat dari kepolisian atau kejaksaan yang isinya meminta bantuan tenaga ahli untuk menghitung kerugian negara, maka lembaga audit menunjuk tim yang akan melaksanakan bantuan.

1. Penunjukan tim audit untuk melaksanakan penelitian awal

Untuk kasus yang berasal dari lembaga audit, sebaiknya dilakukan oleh tim atau salah satu anggota tim yang pernah melaksanakan audit investigasi untuk kasus terkait. Sedangkan untuk kasus yang baru dan merupakan hasil penyilidikan jaksa atau polisi, tim dipilih terutama mereka yang pernah melaksanakan bantuan kepada penyidik untuk kasus yang relatif sama.
Tim harus menguasai akuntansi, auditing, dan sedikit mengetahui hukum dan perundang-undangan.

2. Penelitian awal terhadap kasus yang akan diaudit

Agar pekerjaan bantuan audit tersebut dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat, sebaiknya untuk kasus hasil penyelidikan jaksa atau polisi dapat ditempuh dua cara sebagai berikut:

- Penyidik memaparkan kasus tersebut dihadapan auditor.
- Lembaga audit menugaskan tim untuk memperoleh gambaran kasus dengan mendatangi kantor penyidik.

Apabila alternatif kedua yang dipilih, maka dalam penelitian awal tim audit:
- Menanyakan kepada penyidik mengenai perintah penyidikan.
- Apabila dalam penanganan kasus diperlukan surat izin, misalnya kasus kredit bank, maka auditor menanyakan apakah telah ada izin dari BI.
- Mencari tahu apakah terdakwanya ditahan atau tidak.
- Bukti-bukti surat apa saja yang telah disita.
- Auditor mempelajari BAP terdakwa dan BAP para saksi.
- Setelah memperoleh gambaran kasus yang dihadapi, selanjutnya memperkirakan bukti-bukti surat apa saja yang masih diperlukan.
- Umumnya, pada setiap kasus terdapat perbedaan, sehingga data yang diperoleh dalam penelitian awal juga berbeda.

3. Pembentukan tim audit

Tim yang melaksanakan audit sebaiknya yang telah terjun pada penelitian awal, namun juga tidak harus dipaksakan. Contoh kasus yang sulit dan makan tenaga adalah manipulasi keuangan dengan memanipulasi pencatatan, pengerjaan akuntansi tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan buku besar belum dibuat.

4. Pelaksanaan Audit

Dalam melaksanakan audit sebaiknya auditor memfokuskan pada pemeriksaan bukti surat. Pada kasus tindak pidana khusus, auditor harus mengaudit suatu transaksi dari awal sampai akhir dengan mempelajari ketentuan yang berkaitan dengan transaksi tersebut. Sebagai contoh, kasus kredit macet non bisnis mengacu pada ketentuan berikut ini.
- UU Perbankan.
- Ketentuan kredit dari BI dan bank bersangkutan.
- Ketentuan hukum perdata.
- Ketentuan agraria apabila agunannya berupa tanah.
- UU yang berhubungan dengan hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
- Ketentuan lain yang ada hubungannya dengan kasus yang diaudit.

Apabila terjadi penyimpangan dari ketentuan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum material. Auditor harus mengumpulkan bukti-bukti tersebut. Perhitungan kerugian negara harus pasti atau minimal tidak boleh sangkaan atau digeneralisir. Apabila kerugian negara belum dapat dihitung, sebagai contoh, agunan bank belum dijual, sebaiknya kerugian negara didasarkan pada kerugian terhadap perekonomian negara.

5. Keterangan ahli

Apabila perkara sudah jelas permasalahannya dan telah ada persesuaian
dengan penyidik, auditor membuat keterangan ahli. Keterangan ahli ditandatangani tim audit (bukan kepala lembaga audit). Sebaiknya, digunakan kertas polos dalam membuat keterangan ahli.

6. Auditor di-BAP

Auditor yang akan menjadi saksi ahli di siding pengadilan di-BAP oleh penyidik. Namun berdasarkan pengalaman, justru auditor yang mempersiapkan BAP karena harus sejalan dengan keterangan ahli. Hal demikian dapat dimaklumi karena untuk kasus tertentu yang mengetahui secara detail permasalahannya adalah auditor. Pertanyaan dan jawaban dalam BAP dibuat sedemikian rupa, sehingga mencerminkan BAP saksi ahli. Sebelum di-BAP, auditor disumpah terlebih dahulu.

7. Auditor menjadi saksi ahli di siding pengadilan

Seringkali ketika persidangan pada pokok perkara, status auditor sebagai saksi ahli dipermasalahkan oleh penasehat hukum. Pertanyaan hakim dan penasehat hukum umumnya bebas, sehingga saksi ahli sebaiknya pengetahuannya luas. Jawaban saksi ahli diupayakan tidak timbul pertanyaan baru, dan auditor harus berusaha sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditarik ke masalah hukum atau yang di luar keahlian auditor atau kasus yang menjadi kasus perdata.

IV. Audit Investigasi

1. Menerapkan azas praduga tak bersalah

Dalam audit investigasi, terutama yang didasarkan pada informasi atau pengaduan masyarakat, auditor harus menerapkan azas praduga tak bersalah dalam merencanakan dan melaksanakan tugasnya. Seseorang tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selanjutnya, auditor tetap diperbolehkan menerapkan sikap skeptisme profesionalismenya. Hal demikian berarti, auditor tidak boleh menganggap manajemen sebagai orang yang tidak jujur, namun juga tidak boleh menganggap manajemen sebagai orang yang
tidak diragukan kejujurannya. Sebaiknya auditor tidak berasumsi bahwa
pelaku salah meskipun informasi dari masyarakat sudah mempublikasikan di media massa sedemikian rupa. Berdasarkan pengalaman, hal demikian lebih berhasil. Sebagai contoh, dalam melakukan wawancara dengan mereka yang diduga terlibat, auditor harus berpenampilan secara wajar dan tidak menimbulkan sikap yang dapat memberi kesan bahwa auditor hanya mencari kesalahan. Hal demikian, selain dapat menciptakan suasana yang tidak tegang antara auditor dengan yang diperiksa, juga dapat mempermudah memperoleh bukti atau informasi yang benar dari mereka. Di samping itu, auditor juga harus menyadari bahwa kecurangan pada umumnya terjadi karena persengkokolan (kolusi), sehingga asumsi bahwa yang diperiksa telah melakukan kesalahan atau kecurangan, hanya membuat kasus sulit untuk dibongkar.

Pada waktu membuat laporan audit investigasi, azas praduga tak bersalah juga harus diterapkan. Dalam laporan audit digunakan kata ‘diduga’, misalnya:
- Pemimpin proyek diduga telah melanggar ...
- Pemimpin proyek diduga telah melakukan kolusi.
- Pemimpin proyek diduga telah melakukan tindak pidana korupsi.

2. Sumber informasi audit investigsi

Sumber informasi audit investigasi dapat berupa:
- Pengembangan temuan audit sebelumnya, seperti audit terhadap laporan keuangan dan audit opersional.
- Adanya pengaduan dari masyarakat.
- Adanya permintaan dari dewan komisaris atau DPR untuk melakukan audit, misalnya karena adanya dugaan manajemen/pejabat melakukan penyelewengan.

3. Penelitian awal terhadap pengaduan masyarakat

Informasi dari masyarakat belum tentu jelas atau disertai data yang akurat. Oleh karena itu, sebaiknya diadakan penelitian awal terlebih dahulu. Namun, auditor harus berterima kasih, karena masih ada masyarakat yang peduli terhadap permasalahan yang merugikan negara, masyarakat, atau perusahaan.
Penelaahan awal terhadap informasi untuk menentukan apakah cukup alasan untuk dilakukan audit investigasi. Salah satu criteria agar dapat dilakukan audit ini adalah apakah ada indikasi yang merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara setelah diadakan penelaahan informasi awal yang disertai dengan bukti-bukti yang diperoleh.

Dari penelitian awal diperoleh gambaran kasus dan dua kesimpulan:
- Tidak cukup alasan untuk dilakukan audit investigasi.
- Cukup alasan untuk diadakan audit investigasi.
Apabila cukup alasan, maka dibentuk tim dan dianggarkan waktu pelaksanaannya.

4. Program pemeriksaan untuk audit investigasi

Program audit untuk audit investigasi umumnya sulit ditetapkan telebih dahulu atau dibakukan. Kalau audit investigasi yang dilaksanakan merupakan pengembangan temuan audit sebelumnya, seperti finacial audit dan operational audit, auditor dapat menyusun langkah audit yang hendak dilaksanakan.
Meskipun demikian, terkadang setelah dilaksanakan, banyak mengalami penyesuaian atau perubahan.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah adanya perbedaan modus operandi antara kasus yang satu dengan yang lain. Di samping itu, modus operandi praktek kecurangan atau korupsi di Indonesia jauh lebih banyak macamnya jika dibandingkan di negara maju, seperti: penyalahgunaan wewenang, pemalsuan, penipuan, kolusi, nepotisme, menghalalkan segala cara, dan selalu berlindung di balik pembenaran hukum. Auditor mungkin menghadapi satu kasus saja, contohnya yaitu pemberian kredit bank yang tidak benar. Namun demikian, adanya kemungkinan auditor menemukan lebih dari satu kasus, seperti L/C fiktif dan pembelian fiktif.
Dengan demikian, setiap transaksi merupakan kasus berdiri sendiri. Prosedur audit yang diterapkan tergantung dari kasus yang dihadapi. Umumnya, penerapan prosedur audit pada financial audit juga dapat membongkar beberapa kasus. Demikian halnya, program pemeriksaan untuk audit investigasi akan mengaudit setiap transaksi dari awal sampai akhir, dan harus sesuai dengan ketentuan yang umum dan ketentuan dari obyek yang diperiksa. Sebagai contoh, untuk kasus pembelian fiktif dimulai dari dasar pengadaan barang, pelaksanaan pembelian, pembayaran dan pemanfaatan dari barang yang dibeli. Pengadaan barang yang sebetulnya bisa dibeli melalui cabang dengan harga relatif murah, tetapi, apabila pengadaannya disentralisir di pusat umumnya banyak terjadi pemborosan.
Apabila laporan keuangan dimanipulasi manajemen, sepanjang proses akuntansinya telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan mencari modus operandi kecurangan. Tanpa terlebih dahulu dikerjakan akuntansinya, lebih sulit menentukan jumlah kecurangan secara pasti, misalnya sebagian besar transaksi tidak dibuatkan buku besar dan entitas mempunyai banyak unit operasi yang bersifat responsibility center dan decentralized. Apabila pimpinan entitas menyusun sendiri laporan keuangan, maka auditor harus berhati-hati karena ada kemungkinan dia akan melakukan manipulasi keuangan. Korupsi yang dilakukan dengan kolusi atau penyalahgunaan wewenang umumnya melibatkan banyak orang, yaitu dari atasan sampai bawahan. Modus operandi untuk pembelian barang habis pakai fiktif, baik
sebagian atau seluruhnya yitu dengan menaikkan harga. Agar rekanan bersedia diajak kolusi tentu dipilih rekanan yang mempunyai hubungan istimewa dan penawaran harga dilaksanakan secara formalitas. Rekanan seolah-olah mengirim barang, dan petugas penerima barang karena merasa sebagai bawahan menurut saja disuruh menandatangani berita acara penerimaan barang fiktif. Selanjutnya, kepala gudang ikut menandatangani berita acara penerimaan barang dan bagian administrasi mencatatnya pada kartu persediaan. Bagian yang memerlukan barang disuruh membuat bon permintaan barang fiktif dan seringkali beberapa bagian lain ikut dilibatkan. Sebagai auditor, apabila audit dilakukan enam bulan setelah terjadinya transaksi tersebut, maka akan mengalami kesulitan membuktikannya karena
mereka tentu bersatu. Dalam kondisi tersebut, yang paling sulit adalah memecah ‘persatuan mereka’. Tentunya, masing-masing auditor mempunyai
teknik tersendiri dengan berprinsip bahwa tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan dengan sempurna.

5. Pelaksanaan audit investigasi

Apabila dari penelitian awal dapat disimpulkan bahwa audit dapat dilaksanakan, maka dibuat surat tugas. Sebelum diterbitkan surat penugasan, obyek disuruh menyusun pembukuan sebagaimana mestinya, dan audit baru dimulai setelah pembukuan dan laporan keuangan dibuat.
Berbeda dengan audit forensik, bagaimanapun sulitnya melakukan audit, maka
auditor tetap harus melaksanakan. Sebagai contoh, kasus manipulasi keuangan melalui manipulasi pembukuan yang terjadi di suatu entitas yang mempunyai banyak unit. Masing-masing unit ada yang mengelola keuangan, ada juga yang tidak, bahkan buku besar tidak/belum dibuat.
Untuk perencanaan, pelaksanaan dan pembuatan laporan audit, sebaiknya auditor menggunakan azas praduga tak bersalah.
Setiap temuan harus didukung dengan bukti secara lengkap, terutama dokumen yang.Pemeriksa No. 84 April 2002 39 mendukung transaksi. Bukti dokumen jauh lebih kuat daripada bukti pengakuan. Apabila hasil audit diserahkan kepada kejaksaan, maka pengakuan bukan/tidak termasuk bukti surat. Pengumpulan bukti pendukung sangat penting, terutama apabila laporan audit akan diserahkan kepada kejaksaan. Pengakuan dari mereka yang diduga terlibat atau bertanggung jawab hanya berlaku selama pengakuan tersebut diakui oleh yang bersangkutan. Di samping itu, pengakuan bukan sebagai bukti
audit apabila hanya pelengkap yang memperkuat bukti audit yang ditemukan auditor.
Kemungkinan auditor tidak dapat memperoleh bukti yang kompeten apabila terjadi kolusi atau pemalsuan bukti. Prosedur audit yang dirancang secara efektif akan mendapati banyak kendala dalam menghadapi adanya kolusi dan
pemalsuan.

6. Kertas kerja audit investigasi

Kertas kerja audit bisa disusun sebagai berikut:
- Kertas kerja audit yang umum, yaitu menyangkut data umum obyek atau kegiatan yang diperiksa termasuk ketentuan yang harus dipatuhi.
- Kertas kerja audit untuk setiap orang yang diduga terlibat, yaitu berisi antara lain: identitas seseorang, tindakan yang melanggar hukum serta akibatnya yang dilengkapi dengan bukti yang mendukung.
Selain itu, dapat pula disusun per tahapan transaksi seperti pada kasus kredit macet, antara lain: tahap permohonan kredit, tahap perhitungan 5C, tahap pencairan dan penggunaan kredit, serta tahap setelah kredit cair sampai dinyatakan macet.
Kertas kerja harus dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah dibuat laporan khusus.

7. Hasil audit investigasi

Hasil audit investigasi pada umumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Apa yang dilaporkan masyarakat tidak terbukti
- Apa yang diadukan terbukti, misalnya terjadi penyimpangan dari suatu aturan atau ketentuan yang berlaku, namun tidak merugikan negara atau perusahaan.
- Terjadi kerugian bagi perusahaan akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh karyawan.
- Terjadi ketekoran/kekurangan kas atau persediaan barang milik negara, dan bendaharawan tidak dapat membuktikan bahwa kekurangan tersebut diakibatkan bukan karena kesalahan atau kelalaian bendaharawan.
- Terjadi kerugian negara akibat terjadi wanprestasi atau kerugian dari perikatan yang lahir dari undang-undang.
- Terjadi kerugian negara akibat kelalaian atau akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai negeri selain bendaharawan.
- Terjadi kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum dan tindak pidana lainnya.

8. Laporan audit investigasi

Laporan audit investigasi bersifat rahasia, terutama apabila laporan tersebut akan diserahkan kepada kejaksaan. Dalam menyusun laporan, auditor tetap menggunakan azas praduga tak bersalah.
Pada umumnya laporan audit investigasi berisi: dasar audit, temuan audit, tindak lanjut dan saran. Sedangkan laporan audit yang akan diserahkan kepada kejaksaan, temuan audit memuat: modus operandi, sebab terjadinya
penyimpangan, bukti yang diperoleh, dan kerugian yang ditimbulkan.
Apabila menyangkut nama seseorang yang diduga terlibat, maka digunakan nomor sandi. Dalam laporan harus digunakan kata diduga, misalnya untuk pihak yang diduga terlibat digunakan nomor sandi X dengan uraian kalimat: ‘diduga telah melakukan tindak pidana korupsi.
Laporan audit investigasi biasanya tebal serta banyak lampirannya. Oleh karena itu, sebaiknya tidak dilampirkan dalam dakwaan karena ada kemungkinan terjadi salah jumlah, dan angka yang berbeda antara hal satu dengan yang lainnya. Pernah dalam suatu perkara tindak pidana korupsi, laporan audit investigasi dilampirkan dalam dakwaan oleh jaksa, tetapi terdakwa diputus bebas, beberapa pertimbangan keputusan bebas oleh hakim
antara lain:
- Penjumlahan angka dalam laporan audit yang salah.
- Angka kerugian negara antara halaman laporan audit yang satu dengan yang lain berbeda.
- Angka dalam laporan audit tidak sama dengan lampiran laporan audit.

Bagaimanapun juga laporan audit investigasi bagi penyidik adalah sebagai informasi awal. Untuk kepentingan jaksa, dibuat lagi keterangan ahli yang ringkas. Di samping itu, belum tentu sama laporan auditor untuk pelaku dan jumlah kerugian antara laporan audit investigasi dengan keterangan ahli.

Pemeriksa No. 84 April 2002

No comments: