Friday, November 22, 2013

PROPOSAL TRAINING PELAKSANAAN AUDIT INTERN BERDASARKAN RISK BASED AUDIT

Latar Belakang
Dalam pelaksanaan audit intern oleh SKAI, masih banyak kendala-kendala internal yang dihadapinya. Kendala internal SKAI tersebut antara lain; adanya pemahaman yang belum merata dari semua auditor dan staff SKAI terhadap perkembangan konsep dan aplikasi kegiatan audit intern. Dalam kaitannya dengan ini secara spesifik para auditor SKAI sangat perlu memahami dan mempunyai keterampilan yang merupakan teknis dalam melaksanakan audit intern, termasuk didalam menyikapi masalah, pengungkapan masalah sebagai temuan (Ikhtisar Temuan) dan Rekomendasi, Konfirmasi/klarifikasi temuan, Exit meeting, Pelaporan Hasil Audit dan Tindak Lanjut Hasil audit

Bank Indonesia telah mewajibkan bank umum untuk menerapkan Manajemen Risiko sesuai PBI No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003. Latar belakang PBI tersebut adalah :
• Mendorong bank untuk melaksanakan Risk Management.
• Menciptakan kondisi dan infrastruktur pada bank sehingga sejalan dengan pengawasan Risk Based Supervision oleh Bank Indonesia
• Dalam perkembangan berikut yang merupakan tuntutan lebih jauh dari SKAI yaitu perlunya pelaksanaan audit intern dengan memperhatikan aspek-aspek risiko yang disebut "Risk Based Audit". Risk Based Audit merupakan fokus baru dari kegiatan Satuan kerja Audit Intern (SKAI) yang diharapkan dapat mendorong lebih banyak kinerja dari pada Satuan Kerja Audit Intern bank sehingga bermanfaat bagi bank.
Dalam rangka implementasi Manajemen Risiko tersebut, SKAI bertugas untuk melakukan penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko. Sebagai bentuk dari penilaian tersebut maka metodologi pelaksanaan audit intern perlu dilakukan perubahan, yaitu dari audit berdasar kepatuhan (compliance audit) menjadi pelaksanaan audit berbasis risiko (risk based audit).

Dalam melaksanakan fungsi dimaksud, SKAI menggunakan metode/ pendekatan Audit Berbasis Risiko yaitu melakukan penilaian terhadap risiko-risiko yang melekat pada aktivitas fungsional (inherent risk) maupun mengevaluasi terhadap Sistem pengendalian risikonya (risk control system), disamping tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku lainnya.
Pelaksanaan audit berbasis risiko meliputi prosedur dan langkah-langkah kerja sebagai berikut:
• Perencanaan Program Audit Tahunan (Macro Risk Assessment)
• Perencanaan Kegiatan Audit Intern (Micro Planning Activites).
• Pembahasan tentang temuan audit, Ikhtisar Temuan & Rekomendasi, Konfirmasi temuan, Exit meeting, Pelaporan Hasil Audit, Tindak Lanjut Hasil audit.
• Dibahas pula hal-hal yang berkaitan dengan kecurangan, serta pelaporannya.

Tujuan

Tujuan workshop ini adalah terutama mengantisipasi permasalahan yang sering terjadi dalam kegiatan audit intern, seperti :
• Auditor intern yang kurang mampu mengungkapkan masalah (temuan audit) dan menuangkannya dalam bentuk laporan, dengan kata lain laporan yang dihasilkan kurang dapat atau bahkan sulit dimengerti oleh pembaca atau penerima laporan sehingga menjadi basi karena terlalu lama dan kesulitan dalam menulis laporan.
• Auditor intern kurang dapat memilah masalah, (kasus/fraud atau biasa/regular) dan besar (serius) atau kecil (small/ignore), sehingga temuan audit menjadi bias atau mengambang.
• Pemahaman risk based yang perlu ditambah, karena kurang memahaminya risiko, berdampak kepada kurang dapat mengukur besar dan kecilnya suatu risiko, karena bisa terjadi besar nilainya tetapi efek risikonya rendah dan atau sebaliknya.

Untuk itu maka masalah panduan penulisan laporan audit, yang merinci unsur temuan yang harus dipenuhi perlu dipahami, seperti :
• Kondisi
• Kriteria
• Sebab
• Akibat
• Rekomendasi

Dengan demikian maka, SKAI dalam melakukan kegiatan auditnya yang memperhatikan aspek risiko ini, diharapkan akan :
• Melakukan audit secara lebih fokus pada aspek-aspek yang berisiko tinggi dan mengandung potential problem
• Terselenggaranya pola pengawasan yang lebih efektif dan terfokus melalui pemahaman yang tinggi atas auditee dan pemanfaatan sumberdaya yang ada secara optimal
• Pelaksanaan audit intern berjalan baik dengan pelaporan yang tepat sesuai dengan kebutuhan bank.


Manfaat
Dengan mengikuti training ini diharapkan para peserta:
• Peserta mampu melakukan identifikasi masalah, mengukur berat/ringannya risiko, dan memantau risiko yang dihadapi oleh bank, serta mampu memberikan masukan-masukan dalam rangka menerapkan pengendalian risiko
• Peserta mampu mengungkapkan masalah atau hasil temuan audit dalam bentuk laporan yang dapat dipahami dan tepat guna.
• Perserta mampu memberikan masukan-masukan dalam rangka menerapkan sistem pengendalian intern yang efektif
• Peserta dapat memberikan masukan-masukan untuk menetapkan prioritas obyek audit dalam penerapan Risk Based Internal Audit
• Peserta mampu mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dalam penerapan Risk Based Internal Audit
• Peserta memiliki keahlian khusus dalam bidang manajemen risiko sehingga terjadi proses pembaharuan dalam internal audit yang pada akhirnya dapat tercapai efesiensi dan efektivitas pelaksanaan audit intern.
• Peserta melakukan pelaksanaan audit, baik audit rutin maupun khusus (fraud), pelaporan serta tindak lanjut audit dengan baik dan fokus.

Metode
Kuliah klasikal, Diskusi, Studi Kasus.
• Permasalahan , dianalisa, kemudian dipilah berdasar risikonya, kemudian peserta membuat laporan temuan audit (kondisi, kriteria, sebab, akibat, dan rekomendasi) selanjutnya membuat resume temuan audit yang akan di sampaikan kepada Direktur Utama/Direksi
• Demikian pula halnya dengan penanganan temuan audit yang bersifat kasus, seperti kecurangan/fraud, akan dibahas dalam training ini

Peserta

• Terutama petugas bank, para auditor intern pada Satuan Kerja Audit Intern (SKAI), atau yang bersangkutan dengan tugas pengawasan lainnya.
• Petugas bank yang terkait dengan SKAI seperti Risk Management, Compliance atau pejabat bank yang terkait lainnya
• Jumlah peserta disarankan tidak lebih dari 25 orang orang

Waktu

2 (dua) hari, dari pukul 08.30 WIB sampai dengan 16.00 WIB


Rencana Jadwal

Hari Pertama 
Sesi 1 : Memahami Konsep Risk Based Internal Audit.
Perencanaan Program Audit Tahunan (Macro Risk Assessment)
Maksud & Tujuan, Identifikasi Risiko, Pengukuran Risiko, Faktor Risiko, Prioritas Risiko, Penentuan Bobot & Skala Risiko
Sesi 2 : Perencanaan Kegiatan Audit Intern (Micro Planning Activities).
Pendekatan Audit, Perencanaan kegiatan, Persiapan Audit dan Pendahuluan
Sesi 3 : Pelaksanaan Audit Intern , Temuan Audit
Sesi 4 : Ikhtisar Temuan & Rekomendasi,

Hari Kedua

Sesi 1 : Konfirmasi temuan, Exit meeting
Sesi 2 : Kecurangan (Fraud) : Audit & Pelaporannya
Sesi 3 : Pelaporan Hasil Audit, Tindak Lanjut Hasil audit

Instruktur

• Eko Darmanto
Menyelesaikan pendidikan Postgraduate Diploma in Business Studies di Salford University, Manchester Inggeris dan lulus tahun 1994 dan memperoleh gelar Akuntan setelah lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, pada tahun 1982. Disamping itu pernah mengikuti berbagai pelatihan, seminar dan workshop di dalam dan di luar negeri (Singapore, New York, San Fransisco, London, Zurich, Dusseldorf) antara lain dalam bidang: International Banking, International Trade (Export, Import, Bill Processing Centre), Treasury & Dealing Room, Information Technology, Domestic Banking, Investment Banking & Custodian, MIS & Branch Accounting dan Training in Banking, Risk Based Audit.

Tuesday, October 22, 2013

TRAINING PENYELESAIAN KREDIT SECARA EFEKTIF (TANPA PERLU KE PENGADILAN)

Latar Belakang

Di dalam industri perbankan di Indonesia kegiatan dibidang kredit masih sangat dominan menentukan kelangsungan hidup bank yang bersangkutan. Lebih dari 70% keuntungan bank diperoleh berasal dari penghasilan bunga atau bagi hasil atas kredit atau pembiayaan yang diberikan kepada debitur atau pengguna pembiayaan. Oleh karena itu performance dari sebuah bank berbanding lurus dengan performance loan dari bank yang bersangkutan.

Performance loan, sangat ditentukan bagaimana proses pemberian kredit atau pembiayaan kepada nasabah. Dalam memproses pemberian kredit atau pembiayaan, mengawasi penggunaannya sampai kepada penyelesaiannya berbagai aspek sangat menentukan, seperti aspek financial, marketing, manajemen, hukum dll. Kegagalan kredit yang berakibat meningkatnya Non Performance Loan (NPL) sangat perlu dicegah, mengingat kesulitan yang terjadi bagi bank bisa mengganggu tingkat kesehatannya. Upaya penyelesaian kredit dalam kategori NPL tersebut sangatlah menyita waktu, tenaga dan biaya.
Penyelesaian kredit seperti ini bisa menggunakan berbagai pendekatan, upaya pendekatan secara legal, dengan menggunakan forum pengadilan, biasanya merupakan upaya akhir dari bank. Upaya pendekatan secara legal, umumnya diupayakan untuk tidak dilakukan, sepanjang nasabahnya beritikad baik untuk menyelesaikannya. Banyak langkah bank yang bisa dilakukan dalam upaya membangun penyelesaian kredit bermasalah ini, baik melakukan perpanjangan kredit, rescheduling, restruckturing dsb.
Dalam workshop ini akan dibahas penyelesaian kredit secara efektif, tanpa perlu ke pengadilan, serta bagaimana cara melaksanakannya secara efektif. Dalam workshop ini akan dibahas langkah-langkah apa yang sebaiknya ditempuh agar kedua belah pihak dalam penyelesaian kredit bermasalah mendapatkan suatu penyelesaian yang menguntungkan.

Materi
• Pengertian kredit bermasalah mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia
• Konsep early warning system dan penanganan debitur watch list
• Penetapan strategi penanganan kredit bermasalah
• Skema-skema untuk penyehatan kredit
• Pemahaman penyelesaian kredit
• Penggunaan EBITDA dan Analisa Cash Flow sebagai alat ukur kemampuan finansial perusahaan debitur untuk penentuan strategi yang dapat digunakan oleh bank.


Tujuan dan Manfaat 

Setelah mengikuti workshop ini diharapkan peserta memahami, Pengertian kredit bermasalah mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia, Konsep early warning system dan penanganan debitur watch list, Penetapan strategi penanganan kredit bermasalah, Skema-skema untuk penyehatan kredit, Pemahaman penyelesaian kredit, Penggunaan EBITDA dan Analisa Cash Flow sebagai alat ukur kemampuan finansial perusahaan debitur untuk penentuan strategi yang dapat digunakan oleh bank, Peserta dapat menyelesaikan permasalahan dengan nasabah non performance loan, tanpa melalui pengadilan, agar bank terhindarkan dari kerugian.


Waktu Pelaksanaan
2 (dua) hari kerja, dari pukul 09.00 – 16.00 WIB


Peserta
Credit Officer, Recovery Credit, Internal Audit, Loan Admin, Kepala Cabang, Unit kerja terkait dan Peminat Lainnya

Metode Workshop

Pembahasan konsep, studi kasus, diskusi antar peserta, serta simulasi yang dipandu instruktur.

Pembicara / Fasilitator 
Pelatihan ini difasilitasi oleh Instruktur/Fasilitator yang berpengalaman dibidang Restrukturisasi Kredit yang mengacu pada Peraturan Bank Indonesia.


Penyelenggara
PRIMA CONSULTING GROUP

TRAINING TEKNIK PEMERIKSAAN KREDIT YANG EFEKTIF

Latar Belakang

Di dalam industri perbankan di Indonesia kegiatan dibidang kredit masih sangat dominan menentukan kelangsungan hidup bank yang bersangkutan. Lebih dari 70% keuntungan bank diperoleh berasal dari penghasilan bunga atau bagi hasil atas kredit atau pembiayaan yang diberikan kepada debitur atau pengguna pembiayaan. Oleh karena itu performance dari sebuah bank berbanding lurus dengan performance loan dari bank yang bersangkutan.

Performance loan, sangat ditentukan bagaimana proses pemberian kredit atau pembiayaan kepada nasabah. Dalam memproses pemberian kredit atau pembiayaan, mengawasi penggunaannya sampai kepada penyelesaiannya berbagai aspek sangat menentukan, seperti aspek financial, marketing, manajemen, hukum dll. Kegagalan kredit yang berakibat meningkatnya Non Performance Loan (NPL) sangat perlu dicegah, mengingat kesulitan yang terjadi bagi bank bisa mengganggu tingkat kesehatannya.
Salah satu upaya dini yang perlu dilakukan oleh Manajemen Bank dalam rangka memastikan bahwa proses perkreditan telah dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan telah menerapkan prinsip kehati-hatian adalah denagn melakukan pemeriksaan terhadap dokumen perkeditan. Selain itu, hasil pemeriksaan pun dapat digunakan sebagai informasi kepada manejemen Bank sampai sejauh mana aspek pengendalian internal telah diimplementasikan dalam proses perkreditan, sehingga manajemen dapat mengambil langkah preventif dan korektf atas kelemahan yang ada.
Namun demikian, hasil pemeriksaan yang tidak akurat dan tidak komprehensif hasilnya justru akan kontra produktif dengan apa yang diinginkan oleh manajemen. Selain tidak efektif dan efisiennya biaya pemeriksaan, tentunya langkah mitigasi yang diambil oleh manajemen tidaklah tepat.
Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang menyeluruh bagi pemeriksa dari mulai penentuan obyek pemeriksaan, penentuan sampling, teknik pemeriksaan, teknik perlaporan dan monitoring tindak lanjut hasil pemeriksaannya.

Materi • Teknik dan Perangkat Pemeriksaan Perkreditan
• Titik Kritis Proses Pemberian Kredit
• Teknik Pemeriksaan Aspek Teknis – Analisa Kredit
• Teknik Pemeriksaan Aspek Teknis – Penilaian Jaminan
• Teknik Pemeriksaan Aspek Legal – Pengikatan Kredit
• Teknik Pemeriksaan Aspek Legal - Pengikatan Jaminan
• Teknik Pemeriksaan Aspek Operasional
• Teknik Pelaporan dan Monitoring

Tujuan dan Manfaat 
Setelah mengikuti workshop ini diharapkan peserta memahami dan menerapkan teknik pemeriksaan kredit secara menyeluruh sebagai penerapan konsep early warning system.


Waktu Pelaksanaan
2 (dua) hari kerja, dari pukul 09.00 – 16.00 WIB

Peserta
Internal Audit, Internal Control, Risk Management, Compliance, Supervisi Kredit, Unit kerja terkait dan peminat Lainnya


Metode Workshop
Pembahasan konsep, studi kasus, diskusi antar peserta, serta simulasi yang dipandu instruktur.

Pembicara / Fasilitator 
Pelatihan ini difasilitasi oleh Instruktur/Fasilitator yang berpengalaman dibidang Restrukturisasi Kredit yang mengacu pada Peraturan Bank Indonesia.


Penyelenggara
PRIMA CONSULTING GROUP


Jadwal Acara

Hari Pertama
Sesi 1
Teknik dan Perangkat Pemeriksaan Perkreditan
Sesi 2
Titik Kritis Proses Pemberian Kredit

Sesi 3
Teknik Pemeriksaan Aspek Teknis – Analisa Kredit

Sesi 4 Teknik Pemeriksaan Aspek Teknis – Penilaian Jaminan

Hari Kedua
Sesi 1
Teknik Pemeriksaan Aspek Teknis – Penilaian Jaminan

Sesi 2
Teknik Pemeriksaan Aspek Legal – Pengikatan Kredit

Sesi 3 Teknik Pemeriksaan Aspek Legal - Pengikatan Jaminan

Sesi 3 Teknik Pemeriksaan Aspek Operasional, Pelaporan dan Monitoring

Wednesday, September 18, 2013

“Kekayaan Negara yang Dipisahkan : Apakah Tidak Termasuk Keuangan Negara?”

http://www.bpk.go.id/web/?p=15213



“Kekayaan Negara yang Dipisahkan : Apakah Tidak Termasuk Keuangan Negara?”

12/09/2013 – 15:29
Jakarta, Kamis (12 September 2013) – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) menyelenggarakan Diskusi  Terbatas dengan tema “Kekayaan Negara yang Dipisahkan : Apakah Tidak Termasuk Keuangan Negara?” di Ruang Auditorium BPK RI, Jakarta pada hari ini (12/9). Acara ini menghadirkan narasumber Wakil Ketua BPK RIHasan Bisri, S.E., M.M., Ketua Dewan Pers, Prof. Bagir Manan, S.H., MCL, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LLM., Mantan Anggota BPK RI, Drs. Baharudin Aritonang, M.Hum., Tenaga Ahli Bidang Keuangan Negara, Dr. Siswo Sujanto, DEA.. Moderator dalam acara tersebut adalah pakar komunikasi politik, Effendi Gazali Ph.D., MPS. ID. Diskusi terbatas ini dihadiri oleh para pejabat dari unsur aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, BUMN, lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pejabat di lingkungan BPK RI.
Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, dibentuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Pasal 2 UU Keuangan Negara menentukan ruang lingkup keuangan negara yang antara lain meliputi kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas berdasarkan pendekatan tersebut dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Masuknya kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara sebagai bagian dari keuangan negara di atas didasarkan pada gagasan pemikiran bahwa Pemerintah wajib menyelenggarakan pelayanan publik dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Di sisi lain, untuk mengatur mengenai BUMN, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN). Pasal 4 ayat (1) UU BUMN menyebutkan, modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam perkembangannya, ketentuan tersebut telah dipertentangkan oleh sebagian pihak yang berpendapat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN tidak lagi menjadi bagian dari keuangan negara.
Pendapat tersebut didasarkan pada teori badan hukum bahwa kekayaan negara yang telah dipisahkan tersebut menjadi milik BUMN sebagai badan hukum privat dan negara memperoleh saham atas modal yang telah disetorkan. Saham inilah yang dicatatkan sebagai kekayaan negara. Selanjutnya, keuangan BUMN tidak bisa diperlakukan sebagai keuangan negara karena secara alamiah mengelola keuangan negara beda dengan mengelola keuangan BUMN.
Fungsi BUMN tidak semata-mata untuk mencari keuntungan, namun juga sebagai agent of development,  sehingga sumber-sumber kekayaan negara yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh negara sebagian besar dikelola melalui BUMN.
Agar BUMN bisa berkembang, maka BUMN perlu diberikan otonomi dalam pengelolaannya, yaitu mengikuti kaidah-kaidah bisnis yang sehat, termasuk mengikuti ketentuan undang-undang perseroan terbatas. UU BUMN telah memberikan banyak otonomi dan keleluasaan kepada BUMN, agar dapat dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis yang sehat.
Diskusi terbatas ini diselenggarakan dengan tujuan untuk: (1) Menggali pendapat/gagasan/masukan dari pihak-pihak yang kompeten dalam bidang ketatanegaraan, hukum pidana, ekonomi, serta praktisi mengenai hakikat dan ruang lingkup keuangan negara; (2) Menggali pendapat/gagasan/masukan dari para ahli/pihak yang kompeten mengenai kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN serta perekonomian negara; (3) Mengetahui persepsi publik mengenai kerugian BUMN, kerugian negara pada BUMN, serta korupsi pada BUMN; dan (4) Menyamakan langkah antara pihak-pihak yang memilikiawareness pada pengelolaan BUMN yang bersih dengan instansi yang berwenang dalam penegakan hukum (tindak pidana korupsi) pada BUMN serta BPK sebagai lembaga yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

BIRO HUMAS DAN LUAR NEGERI

Tuesday, September 17, 2013

Pencegahan Tindak Kecurangan


PENDAHULUAN
Tindak kecurangan saat ini terus terjadi. Kecurangan atau yang sering disebut
fraud dilakukan dengan beragam modus dan semakin berkembang seiring
perkembangan zaman.
Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2011
menyebutkan bahwa untuk tahun 2011 saja, nilai kecurangan dari tindak pidana korupsi
yang berhasil diselamatkan KPK sebesar Rp152,96 triliun. Jumlah tersebut terdiri atas
penyelamatan keuangan negara dan kekayaan negara dari sektor hulu migas sebesar
Rp152,43 triliun dan penyelamatan potensi keuangan negara akibat pengalihan hak
barang milik negara (BMN) sebesar Rp532,20 miliar.1
Menurut KPK, nilai tersebut didapatkan bukanlah dengan penindakan, melainkan
melalui upaya-upaya pencegahan, koordinasi, dan sinergi dengan instansi pemerintah
yang terkait, seperti BP Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal ini semakin menasbihkan pentingnya upaya
pencegahan bersama tindakan-tindakan represif dalam pemberantasan fraud.
Kecurangan secara umum merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk
mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung
merugikan pihak lain. Orang awam seringkali mengasumsikan secara sempit bahwa
fraud sebagai tindak pidana atau perbuatan korupsi.
Korupsi telah merugikan masyarakat. Saat ini jamak diketahui bahwa untuk
mendapat pelayanan prima dari instansi pemerintah, masyarakat seringkali terpaksa
memberikan gratifikasi ke aparat pemerintah. Tanpa gratifikasi tersebut, aparat
pemerintah seringkali memperlambat pelayanannya kepada masyarakat dengan
berbagai alasan. Parahnya tingkat korupsi di Indonesia tercermin dari adanya 51,592
laporan yang diterima KPK pada tahun 2011.2

Lanjut .....
http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/06/Pencegahan-Tindak-Kecurangan.pdf

Membangun Budaya Patuh di Bank

membangun-budaya-patuh-di-bank/


Membangun Budaya Patuh di Bank

Ketatnya regulasi tidak serta-merta membuat budaya patuh bank-bank, padahal kepatuhan menjadi bagian penting dari budaya sebuah bank. Kepatuhan harus menjadi budaya agar kasus ataupun skandal tidak lagi melanda bank. Yulian Hadromi
Industri perbankan adalah industri yang sarat dengan ketentuan dan pengaturan (most heavily regulated industries) dibandingkan dengan industri lain.
Setiap aktivitas dan transaksinya diatur oleh suatu ketentuan dan di satu sisi Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral akan mengawasi perilaku bank-bank yang berada dalam pengawasannya.
Apakah dengan kondisi tersebut, budaya patuh “otomatis” sudah tercemin dalam aktivitas yang dilakukan setiap bank?
Di dalam Wikipedia, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) dan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, yang kesemuanya itu ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan hidup bermasyarakat.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “patuh” secara etimologi berarti taat, setia, saleh, dan penurut. Dapat disimpulkan, “budaya patuh” adalah suatu kondisi yang dalam hal ini perilaku manusia yang tunduk dan taat tercermin dalam perilaku, bahasa, organisasi, sosial, dan lain-lain yang kesemuanya itu ditujukan untuk melangsungkan hidup bermasyarakat.
Pentingnya kepatuhan perbankan ditandai dengan adanya kewajiban setiap bank untuk menugaskan salah satu direksi sebagai direktur kepatuhan yang tugas dan tanggung jawabnya antara lain memastikan bahwa bank memenuhi ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku dalam rangka prinsip kehati-hatiannya.
Akan tetapi, hematnya, kepatuhan dalam institusi perbankan bukan hanya tentang pentingnya mematuhi ketentuan dan prosedur, melainkan tentang cara berperilaku dan cara-cara memperlakukan klien dan pelanggan. Secara sederhana, kepatuhan adalah tentang melakukan hal yang benar dan membuat pilihan yang tepat. Semua orang diharapkan sepenuhnya memahami pentingnya integritas dan kepatuhan.
Kasus Bank Century (sekarang Bank Mutiara) merupakan contoh yang paling hangat dan tepat untuk menunjukkan betapa “kepatuhan” belum menjadi bagian dari budaya. Diketahui bahwa Bank Century dalam operasinya menjual reksa dana, padahal bank ini tidak terdaftar sebagai APERD (agen penjual efek reksa dana). Salah satu reksa dana yang dijual Bank Century merupakan reksa dana “bodong” alias dibuat tanpa seizin Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Hebatnya lagi, produk ini kabarnya sudah dijual sejak 2001. Padahal, jelas Peraturan Bank Indonesia (PBI) mensyaratkan reksa dana yang dijual adalah reksa dana yang telah terdaftar di Bapepam. Ketentuan Bapepam mensyaratkan bank yang akan menjual produk reksa dana harus terdaftar terlebih dahulu sebagai APERD di Bapepam.
Kasus menarik lain, yaitu kasus letter of credit (L/C) fiktif di Bank Negara Indonesia (BNI) yang diduga adanya internal dan eksternal fraud sehingga merugikan negara hampir Rp1,7 triliun. Dalam kasus BNI ini diindikasikan juga telah terjadi pelanggaran ketentuan internal bank tersebut.
Dari gambaran kasus di atas, ternyata heavily regulated tidak serta-merta membuat budaya patuh akan melekat dalam perilaku individu bank-bank. Membuat patuh menjadi budaya bukanlah pekerjaan yang mudah.
Dibutuhkan suatu kerja sama dan kesadaran antara unit kerja dalam suatu organisasi, termasuk keterlibatan manajemen dan seluruh stakeholder untuk mendukung dan menciptakan budaya patuh tersebut.
Dengan kata lain, kepatuhan bukan hanya tanggung jawab direktur kepatuhan ataupun divisi kepatuhan, melainkan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam menjalankan aktivitas, transaksi, dan bisnis bank tersebut. Beberapa pendekatan sebagai dasar untuk membangun budaya patuh di dalam organisasi bank, antara lain:
1. Transformasi Bisnis
Melakukan tata kelola yang baik dan pengawasan di organisasi membutuhkan transformasi bisnis yang luar biasa yang jauh melampaui fungsi audit, kepatuhan, dan fungsi manajemen risiko.
Setiap orang perlu mengenali dan menanggapi dampak risiko pada pengambilan keputusan sehari-hari. Melihat kepatuhan dan pengawasan sebagai alat yang dapat membantu menciptakan nilai daripada aturan-aturan dan kebijakan yang dipaksakan.
Ini memerlukan transformasi, yaitu suatu pergeseran dari pola pikir yang secara tradisional melihat risiko, audit, dan kepatuhan sebagai fragmentasicost centers ke pola pikir yang mengambil suatu pendekatan holistik bagaimana investasi di area tersebut dapat memperkaya kemampuan suatu organisasi untuk menciptakan value dan sebagai penggerak untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan (sustainable profit).
2. Peran Manajemen
Nilai-nilai dan sikap yang ditunjukkan manajemen mempunyai pengaruh terbesar pada budaya suatu organisasi bank. Jika manajemen tidak mempunyai komitmen dan memberikan contoh, mereka tidak akan dapat berharap banyak para karyawan di bawahnya akan melakukan hal yang diharapkan.
Selain itu, manajemen memiliki tanggung jawab untuk memperkenalkan struktur organisasi yang mendukung budaya patuh. Sering unit-unit kerja memandang dan memperlakukan kepatuhan sebagai kegiatan terpisah ketimbang bagaimana memasukkan kepatuhan dalam day to day aktivitas bisnis.
Komitmen dan kerja sama seluruh komponen yang ada dalam struktur organisasi bank, termasuk manajemen, unit bisnis, keuangan, operation, teknologi, dan human resources, untuk dapat menggabungkan antara kegiatan kepatuhan dan visi serta misi perusahaan diharapkan dapat meningkatkan keuntungan bagi perusahaan.
3. Peran Divisi Kepatuhan dan Compliance Awareness
Keterlibatan divisi kepatuhan untuk lebih proaktif memberikan programcompliance awareness ke unit-unit kerja lain dalam struktur organisasi sangat diperlukan. Melalui compliance manual, misalnya, dapat dijelaskan apa itu kepatuhan, mengapa dan bagaimana divisi kepatuhan dapat bekerja sama dengan unit kerja untuk menciptakan compliance value di bank.
Program ini dapat dilakukan melalui media pelatihan, tulisan, brosur,workshop, dan meeting dengan unit-unit kerja. Perlu juga diperhatikan pembuatan prosedur dan kebijakan dengan menggunakan bahasa yang lebihfriendly sehingga lebih mudah dibaca, dipahami, dan dimengerti.
Dengan bertambahnya pengetahuan unit-unit kerja mengenai regulasi, kebijakan, prosedur, kode etik, serta nilai-nilai kepatuhan, diharapkan unit-unit kerja tersebut dapat menjalankan aktivitasnya lebih confident dan efisien di dalam mencapai tujuan, visi, dan misi yang mereka tetapkan.
Untuk tercapainya sinergi yang baik dengan unit-unit kerja lain, divisi kepatuhan harus menempatkan diri sebagai business partner tanpa menghilangkan independensinya. Ini dapat ditunjukan melalui advise-advise-nya yang lebih inovatif dan tidak kaku.
Budaya patuh yang kuat hanya dapat terjadi dengan adanya hubungan partnership antara staf divisi kepatuhan dan unit bisnis. Solusinya adalah memastikan bahwa tujuan-tujuan antarkedua unit tersebut selaras bersama.
4. Pemantauan dan Pengawasan
Fungsi pemantauan dan pengawasan diperlukan untuk menjaga apa yang telah dicapai dan untuk mengingatkan unit-unit kerja bagaimana mereka harus bertindak. Fungsi pemantauan dan pengawasan dapat dilakukan oleh beberapa unit organisasi di bank, seperti unit kerja/bisnis terkait, unit audit, unit manajemen risiko, maupun unit kepatuhan sendiri.
Dari pendekatan-pendekatan yang disebutkan di atas, langkah yang harus diperhatikan bank untuk memastikan bahwa bank mempunyai program kepatuhan yang baik, termasuk dan tidak terbatas pada komponen-komponen di bawah ini:
•    Pengawasan oleh dewan direksi dan komunikasi yang bersifat top-down
 Kebijakan dan prosedur yang baik
•    Pemantauan dan pengawasan yang efektif
•    Analisis atas produk baru serta analisis proses risikonya
•    Tracking yang efektif terhadap ketentuan-ketentuan/peraturan yang baru dalam rangka penyesuaian dengan ketentuan internal bank
•    Audit yang independen
•    Code of conduct dan etika serta anti-fraud programs yang efektif, dan
•    Tersedianya sumber daya manusia yang cukup. (*)
Penulis adalah praktisi perbankan.

Saturday, September 14, 2013

Membebaskan Perbankan Nasional dari Kecurangan

Membebaskan Perbankan Nasional dari Kecurangan

oleh : Farida Peranginangin

SEPANJANG tahun 2004 ada beberapa berita yang mengungkapkan tentang kecurangan (fraud) yang terjadi pada bank. Ada kecurangan yang segera terungkap karena secara langsung merugikan nasabah penyimpan dana, karena dana tersebut ternyata tidak dicatat sebagai simpanan di bank, melainkan "disimpan" untuk kepentingan oknum, ada transfer yang dibelokkan, ada pula kecurangan yang akut oleh pejabat bank dalam bentuk laporan keuangan yang dipalsukan sebagai upaya untuk menutupi penyalahgunaan aset bank.

TAHUN sebelumnya juga Indonesia tak bebas dari kecurangan perbankan. Skandal letter of credit (L/C) fiktif dengan nilai triliunan rupiah terungkap tahun 2003. Akan tetapi, fenomena adanya kecurangan pada setiap tahun bukan hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara, kecurangan terjadi setiap tahun, dan terjadi pada berbagai industri, pada perusahaan besar maupun kecil. Risiko kecurangan dihadapi tidak hanya oleh bank, tetapi juga perusahaan pada industri lain.

Industri perbankan adalah industri yang menjual kepercayaan. Tidak satu pihak pun bersedia menempatkan uangnya di bank apabila tidak mempercayai bank tersebut. Menempatkan uang di bank adalah sebuah tindakan yang memberi potensi keuntungan berupa bunga sekaligus risiko kehilangan uang itu. Berbeda dengan jenis perusahaan lainnya yang dana untuk usahanya terutama berasal dari para pemilik, sumber dana terbesar untuk mendanai kegiatan usaha bank pada umumnya bukan merupakan komponen modal yang disetorkan para pemilik, melainkan berasal dari dana berbagai pihak yang ditempatkan di bank. Karena sifat bank di mana pada umumnya total dana pihak ketiga lebih besar daripada modal yang disetorkan, maka kecurangan pada bank tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak manajemen dan pegawai, tetapi juga oleh pemilik.

Kerugian dari kecurangan

Pada umumnya kecurangan yang terjadi pada perusahaan jenis apa pun sulit dihitung total kerugian yang ditimbulkannya karena beberapa alasan. Pertama, banyak kecurangan yang tidak terungkap. Kedua, meskipun kecurangan diungkap, tidak seluruh perusahaan melaporkannya kepada yang berwajib, terutama dengan pertimbangan menghindari risiko reputasi bagi perusahaan bersangkutan. Ketiga, ada dampak kecurangan yang sulit untuk dihitung nilainya, seperti turunnya motivasi pegawai, hilangnya reputasi, serta hilangnya potensi pasar.

Pada kecurangan yang dialami bank, dampaknya dapat meluas ke bank lain yang sejenis atau bahkan ke sistem perbankan secara keseluruhan. Kecurangan pada bank BUMN, misalnya, dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat tidak hanya kepada bank bersangkutan, tetapi juga kepada bank BUMN lainnya. Dampak kecurangan dapat meluas ke sistem perbankan secara keseluruhan apabila bank yang bersangkutan memiliki kewajiban kepada bank lainnya dan tidak mampu memenuhi kewajibannya karena merugi atau pailit akibat kecurangan.

Risiko gangguan sistemik baik karena hilangnya kepercayaan masyarakat pada perbankan atau sekelompok bank akibat kecurangan pada salah satu bank, maupun gangguan sistemik karena adanya kaitan bayar-membayar antarbank, merupakan bahaya yang lebih besar akibat kecurangan, karena dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Penyebab kecurangan

Hingga saat ini ada satu teori yang dikenal untuk menjelaskan terjadinya kecurangan, yakni teori atau model Segitiga Kecurangan (The Fraud Triangle). Dijelaskan, ada tiga faktor yang secara bersama-sama menyebabkan kecurangan: 1) motive atau pressure; 2) perceived opportunity; dan 3) rasionalisasi atau kemampuan pelaku kecurangan untuk mencari alasan pembenar atas kecurangan (Peterson, BK, 2004; Wolfe, DT & Hermanson, DR, 2004).

Motive atau pressure adalah faktor psikologis pada seseorang yang muncul karena adanya kebutuhan yang mendesak atau perasaan yang timbul dalam hubungan antara seseorang dan tempatnya bekerja. Motive atau pressure bisa berupa kebutuhan keuangan yang mendesak atau keinginan balas dendam yang ditujukan kepada perusahaan tempat bekerja.

Perceived opportunity atau adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan umumnya diasosiasikan dengan faktor yang melekat pada organisasi. Lemahnya kontrol internal atau budaya kerja yang terlalu memercayai seseorang adalah contoh dari adanya peluang. Meski demikian, dalam kasus kecurangan pada bank kesempatan berbuat curang juga dapat disebabkan oleh faktor di luar bank, misalnya lemahnya pengawasan atas bank, tidak adanya law enforcement atas pelaku, atau ketiadaan pengaturan yang membatasi ruang gerak yang memungkinkan terjadinya kecurangan.

Rasionalisasi adalah kemampuan seseorang untuk membenarkan tindakannya. Dari perbincangan terhadap pelaku kecurangan, para ahli menyimpulkan bahwa umumnya pelaku mengatakan bahwa tindakannya bukanlah suatu tindak kejahatan, antara lain karena pelaku merasa telah berjasa pada perusahaan, atau karena merasa bahwa yang sedang dilakukannya adalah meminjam uang perusahaan.

Mengenal pelaku

Kecurangan dapat dilakukan oleh orang di dalam perusahaan (insider fraud) atau di luar perusahaan (outsider fraud). Pelaku kejahatan dari dalam umumnya dibedakan atas pihak manajemen (pimpinan) atau pegawai, sedangkan pelaku outsider fraud biasanya pihak rekanan (vendor) atau konsumen. Namun, dalam kasus kecurangan pada bank, sebagaimana kita jumpai, pelaku insider fraud tidak hanya manajemen dan pegawai, tetapi juga pemiliknya.

Data empiris menunjukkan bahwa pelaku kecurangan sebagian besar adalah orang di dalam (Wolfe & Hermanson, 2004). Survei oleh Ernst & Young atas 10.000 organisasi dalam 30 industri di 15 negara menyimpulkan: 82 persen dari responden menyatakan bahwa semua kecurangan yang akhirnya terungkap melibatkan pegawai di dalam perusahaan; 28 persen melibatkan pihak manajemen (Ernst & Young, 2000). Dengan perkataan lain, data empiris menunjukkan sebagian besar pelaku adalah orang dalam perusahaan. Dikaitkan dengan model Segitiga Kecurangan, fakta ini relevan dengan teori, terjadinya kecurangan antara lain harus ada kesempatan. Kesempatan umumnya lebih dipahami oleh orang dalam.

Beberapa ahli menyatakan bahwa semua orang dapat menjadi pelaku kecurangan. Namun, berdasarkan pengamatan dan pengalaman menangani kecurangan, disimpulkan adanya kesamaan tertentu di antara pelaku.

Berdasarkan pengalamannya sebagai auditor selama 15 tahun, Wolfe dan Hermanson menyimpulkan bahwa pelaku kecurangan umumnya adalah seseorang yang: a) memiliki posisi atau fungsi di dalam organisasi yang memberi kesempatan untuk melakukan kecurangan; b) cukup cerdas untuk memahami adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan; c) memiliki ego yang kuat dan sangat percaya diri; dan d) memiliki kemampuan memaksa orang lain ikut melakukan atau menutupi kecurangan.

Pencegahan pada bank

Tampaknya kita tidak bisa berharap untuk bebas dari kecurangan. Selama ada orang- orang yang begitu membutuhkan uang, baik kebutuhan riil (need) atau keserakahan (greed), dan orang tersebut berada di bank serta beranggapan bahwa tindakan itu bukan kejahatan, tinggal dibutuhkan satu faktor untuk curang: sebuah kesempatan.

Pencegahan kecurangan pada bank hanya dapat dilakukan dengan meminimalkan kesempatan. Dari sisi bank sendiri sebagai sebuah organisasi, hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan standard operating procedure yang menutup celah kecurangan, pengamanan pada teknologi informasi, budaya kerja penuh kehati-hatian, dan audit internal yang tajam dan punya integritas.

Dapatkah nasabah penyimpan dana menaruh harapan pada bank saja? Sama sekali tidak. Audit internal pada bank, yang fungsinya sebagai unit yang diharapkan pertama kali akan mendeteksi adanya kecurangan, pada kenyataannya tak akan mampu melakukan apa pun apabila kecurangan dilakukan oleh pihak manajemen, apalagi pemilik bank. Fenomena ini bukan khas Indonesia karena terjadi juga di beberapa negara.

Harapan untuk meminimalkan kecurangan diletakkan terutama pada otoritas pengawas bank dan lembaga penegak hukum. Ada banyak hal yang sudah dilakukan, tetapi masih banyak pula yang perlu disempurnakan. Pencegahan pertama adalah dengan fit and proper test. Seleksi memang sudah dilakukan saat para calon hendak memangku jabatan, tetapi mungkin perlu dilakukan evaluasi secara periodik.

Pengenaan hukuman kepada para pelaku kecurangan perbankan juga menjadi faktor penentu. Tanpa adanya penegakan hukum, setiap perbuatan curang akan menjadi pemacu bagi orang lain untuk melakukan kecurangan. Lemahnya penegakan hukum memunculkan lelucon bahwa bisnis yang paling menguntungkan adalah pembobolan bank.

Untuk meminimalkan dampak akal-akalan para pemilik bank yang memecah kepemilikannya sedemikan rupa, diperlukan kerja sama antara Bank Indonesia dan Bapepam untuk membuat basis data pemilik bank, sebagaimana telah dilakukan oleh Bank Sentral AS (The Fed). Belajar dari pengalaman terjadinya kecurangan dan bangkrutnya bank karena hubungan kekerabatan dalam kepemilikan bank.

Pada era transfer dana secara elektronis, di mana dana bisa dipindahkan dalam hitungan menit, sangat sulit untuk mengembalikan kerugian akibat kecurangan apabila telah terjadi. Maka tidak ada pilihan lain selain tidak memberi kesempatan untuk terjadinya kecurangan.

Farida Peranginangin Mahasiswa S-3 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Kompas, Senin, 14 Februari 2005

Pola Hubungan Komposisi Kepemilikan Bank dengan Jenis Kecurangan

Pola Hubungan Komposisi Kepemilikan Bank dengan Jenis Kecurangan

oleh : Djoko Retnadi

UNTUK kesekian kalinya, industri perbankan kita dinodai perilaku tidak terpuji dari pemiliknya sehingga Bank Indonesia akhirnya harus mencabut izin operasional dua bank, yaitu Bank Dagang Bali dan Bank Asiatic. Jika melihat kasusnya, sebenarnya tidak canggih karena BI dapat mendeteksi permasalahannya sudah sejak lama. Dengan demikian, yang patut dan menarik dipertanyakan, mengapa perilaku tidak terpuji pemilik bank masih saja dapat terjadi di tengah gencarnya seruan implementasi manajemen risiko dan tata kelola perusahaan yang baik.

TINDAKAN Bank Indonesia (BI) mencabut izin dua bank itu jelas merupakan edukasi yang luar biasa bagi pemilik maupun pengurus bank untuk lebih serius dan hati-hati dalam mengelola bank. Juga bagi deposan agar lebih selektif menerima tawaran menyimpan uang di bank.

Penyebab di balik terjadinya perilaku yang tidak terpuji pada kedua bank tersebut disinyalir karena didorong adanya kepemilikan saham mayoritas di satu tangan pada kedua bank tersebut (I Gusti Made Oka pemegang saham 85-90 persen Bank Dagang Bali dan Tong Muk Keng menguasai 80-90 persen saham Bank Asiatic).

Pada tahun 2003, perbankan kita sempat diguncang mega skandal surat kredit (L/C ekspor) di Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun dan kecurangan di Bank BRI yang berpotensi menimbulkan kerugian sekitar Rp 294 miliar. Modus operandi di kedua bank BUMN itu pada dasarnya sama, kolusi antara pegawai bank yang berniat melakukan korupsi dan pihak ketiga di luar bank.

Adapun motif kecurangan yang terjadi di BDB dan Bank Asiatic baru-baru ini agak berbeda. Kecurangan yang dilakukan pemilik bank bermotif untuk menilep dana pihak ketiga melalui rekayasa pemberian kredit dengan jaminan negotiable certificate deposit atau melalui pembelian obligasi yang diterbitkan perusahaan satu grup. Tujuan transaksinya untuk menutupi pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) kepada perusahaan satu grup (Kompas, 10/4).

Jika dicermati, komposisi kepemilikan saham dengan jenis kecurangan yang sering timbul di masing-masing bank dapat ditarik suatu pola hubungan keterkaitan, sebagaimana diuraikan di dalam tabel.

Walaupun dua modus kecurangan di bank BUMN dan bank swasta dilakukan dua pihak yang berbeda (di satu sisi dilakukan pegawai bank dan di sisi lain pemilik bank), kerugian yang ditimbulkan mungkin relatif sama saja. Jika dilihat dari tabel, kecurangan di bank BUMN umumnya dilakukan pegawai bank yang berkolusi dengan pihak ketiga di luar bank. Pegawai di bank BUMN cenderung tidak terlalu peduli dengan kekuasaan yang dimiliki pemegang saham karena pada dasarnya Menteri Keuangan selaku pemilik bank BUMN bukanlah principal (pemilik), namun lebih banyak sebagai quasi agent (Mohamad Iksan, Kompas 13/3). Akhirnya, di bank BUMN kurang dirasakan eksistensi pressure group (kelompok penekan) yang diharapkan mampu mendorong pegawai bank melaksanakan tata kelola perusahaan secara baik.

Di bank swasta (baik yang telah tercatat di bursa maupun yang belum) yang mayoritas sahamnya dimiliki satu pihak, pada umumnya kecurangan yang timbul justru dilakukan pemilik bank. Pada bank tersebut, pemilik saham mayoritas dapat berperan sekaligus sebagai direksi maupun debitor bank. Begitu dominannya kekuatan pemegang saham mayoritas di bank itu, tak satu pun kekuatan internal yang dapat mencegah perilaku jahat pemilik, termasuk dalam menilep uang nasabah penyimpan.

Kecurangan perbankan paling jarang terjadi di bank yang telah listed dan distribusi kepemilikannya cukup menyebar. Pada bank seperti itu proses penunjukan pengurus bank pada umumnya dilakukan secara profesional sehingga sistem dan prosedur operasional perbankan dapat ditegakkan dengan baik. Jika masih terjadi kecurangan di bank semacam itu, biasanya dilakukan dengan teknik sangat canggih yang tidak dapat dideteksi pihak internal bank secara dini.

Beberapa pemikiran

Menghadapi berbagai bentuk kecurangan perbankan pada berbagai kategori bank, kiranya perlu dirumuskan kembali upaya-upaya untuk mencegah terulangnya kasus kecurangan perbankan melalui berbagai cara. Misalnya, pertama, perlu segera ditetapkan batas maksimum kepemilikan saham bank di satu tangan.

Sudah saatnya bagi BI segera memberlakukan batas kepemilikan saham oleh satu pihak di perbankan. Pembatasan ini bukanlah hal baru bagi perbankan di beberapa negara. Munculnya kekhawatiran akan gagalnya proses divestasi saham perbankan nasional jika BI memberlakukan pembatasan kepemilikan saham sebenarnya merupakan hal yang dibesar-besarkan. Komposisi kepemilikan saham yang cukup tersebar pada berbagai pihak jelas akan efektif mencegah terjadinya moral hazard pemilik bank untuk campur tangan dalam operasional perbankan serta akan menciptakan saling kontrol di antara pemegang saham (built in control).

Kedua, pengawasan BI harus lebih diperkuat, khususnya pengawasan melalui tim on site supervision (OSP) yang selama ini dirasakan sebagai cara efektif untuk mencegah terjadinya kecurangan di perbankan.

Ketiga, pengenaan premi penjaminan simpanan wajib diikuti bank-bank yang berisiko tinggi, namun pengenaan tingkat preminya yang berbeda-beda. Pengenaan premi tinggi untuk bank yang berisiko tinggi diharapkan menjadi stimulus bagi bank tersebut untuk terus berusaha memperbaiki profil risiko banknya.

Keempat, perbankan harus mulai menumbuhkan budaya kontrol, khususnya terhadap lingkungan sesama pegawai. Jika di suatu unit kerja terjadi kecurangan (khususnya KKN), hendaknya pegawai berusaha mencegah perbuatan itu agar bank terhindar dari kerugian. Harus ditanamkan kepada seluruh pegawai bank bahwa kecurangan yang diperbuat oleh seorang pegawai akan berdampak pada kerugian yang akan menyebabkan seluruh pegawai menderita. Contohnya di Bank Asiatic dan BDB, terjadi PHK.

Kelima, bank-bank harus didorong untuk segera go public, salah satu cara mendorong perbankan untuk menerapkan tata kelola perusahaan dengan benar, sekaligus menyebar komposisi kepemilikan saham. Namun, go public ini bukan sekadar kosmetik, menjual saham ke masyarakat dengan porsi kurang dari 50 persen.

Bank adalah lembaga kepercayaan yang diperkenankan hidup dengan tingkat leverage sangat tinggi sehingga kepentingan masyarakat penabung harus mendapatkan perlindungan agar terhindar dari kecurangan yang dilakukan para pelaku yang terlibat dalam pengurusan bank.

Djoko Retnadi Pengamat dan Praktisi Perbankan

Kompas, Selasa, 13 April 2004

Friday, September 13, 2013

Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet

Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet

Harga: Rp59.800,00
Rp50.830,00
Anda Hemat: 15.00%
Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet
PESAN BUKU INI VIA EMAIL

Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet
Penerbit      :  Elex Media Komputindo
Pengarang  :  Iswi Hariyani, S.H., M.H
Halaman      :  332 hal.
ISBN              :  9789792781861



Restrukturisasi dan penghapusan kredit macet telah lazim dilakukan di dunia perbankan. Akan tetapi, dalam praktiknya masih ada diskriminasi karena fasilitas semacam ini lebih banyak diberikan kepada debitur besar. Debitur mikro dan debitur kecil yang kebanyakan nilai agunannya jauh lebih besar dibandingkan nilai kreditnya justru sering kali tidak diberi fasilitas tersebut.

Mereka lebih sering dipaksa melunasi kredit yang macet secara tunai atau melalui pelelangan agunan yang dipaksakan. Hal tersebut seharusnya tidak boleh terjadi.
Dalam penjelasan Pasal 8 Ayat (2) huruf e UU 10/ 1998 tentang Perbankan, secara jelas diatur tentang larangan diskriminasi dalam pemberian kredit perbankan. Restrukturisasi kredit-sesuai PBI 7/ 2005 Pasal 1 angka 25-merupakan upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui: (a) penurunan suku bunga kredit, (b) perpanjangan jangka waktu kredit, (c) pengurangan tunggakan bunga kredit, (d) pengurangan tunggakan pokok kredit, (e) penambahan fasilitas kredit, dan (f) konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.

Restrukturisasi kredit umumnya diarahkan untuk menyelamatkan kredit bermasalah (kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet). Kebanyakan nasabah debitur, khususnya debitur mikro dan debitur kecil, tidak tahu tentang seluk-beluk pemberian fasilitas restrukturisasi dan penghapusan kredit macet di perbankan. Akibatnya mereka memiliki kedudukan yang lebih lemah dan sering kali kesulitan mengakses fasilitas tersebut. Padahal, kedua fasilitas tersebut telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia atau PBI 7/ 2005. Di samping itu, Pemerintah juga telah mengeluarkan PP 14/ 2005 dan PP 33/ 2006 yang antara lain mengatur program penghapusan kredit macet di bank BUMN. Melalui PP 14/ 2005 dan PMK 31/ 2005, debitur UMKM di bank BUMN mendapatkan fasilitas hapus tagih disertai pemberian potongan pokok utang hingga 50% (jika masih punya jaminan kebendaan) dan 15% (jika sudah tidak punya jaminan kebendaan). Pimpinan bank BUMN juga menjanjikan potongan pokok hutang 25% bagi debitor kredit macet yang harus diselesaikan melalui PP 33/ 2006. Penyelesaian kredit macet di bank BUMN melalui PP 14/ 2005 menggunakan �mekanisme negara� sehingga masih melibatkan PUPN. Di lain pihak, PP 33/ 2006 sudah menggunakan �mekanisme korporasi� sehingga bank BUMN dapat menyelesaikan kredit macet secara mandiri tanpa melibatkan PUPN.

Restrukturisasi dan penghapusan kredit macet merupakan tindakan yang sudah lazim dilakukan di kalangan perbankan untuk menurunkan rasio kredit bermasalah (non- performing loan) agar tingkat kesehatan bank tetap terjaga dengan baik. Meskipun demikian, program restrukturisasi dan penghapusan kredit macet harus dilaksanakan secara benar sesuai aturan hukum yang berlaku agar tidak sampai menimbulkan moral hazard yang dapat merugikan pihak bank, debitor, dan masyarakat. Di masa kini, restrukturisasi dan penghapusan kredit macet secara umum telah diatur secara jelas dalam UU Perbankan (UU 10/1998), Peraturan Bank Indonesia (PBI 7/2005), dan dalam pedoman perkreditan di masing-masing bank. Penghapusan (write-off) terhadap kredit macet adalah bagian tak terpisahkan dari manajemen risiko penyaluran kredit perbankan.

Penghapusan kredit macet terdiri atas dua tahap, yaitu : (a) Hapus buku atau penghapusan secara bersyarat atau conditional write-off, dan (b) Hapus tagih atau penghapusan secara mutlak atau absolute write-off. Dalam program hapus buku, portofolio kredit macet dikeluarkan dari pembukuan bank, namun pihak bank masih tetap melakukan penagihan atas kredit macet tersebut. Jika program hapus buku tidak berhasil dan proses penagihan sulit dilakukan, maka manajemen bank dapat membuat program hapus tagih sehingga portofolio kredit macet tersebut tidak perlu ditagih lagi. Hapus buku dan hapus tagih terhadap kredit macet baru boleh dilaksanakan jika pihak bank telah berupaya keras 

Monday, September 9, 2013

Booklet Perbankan 2013

http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C2A26001-FCC3-4783-A397-1FECE3A89599/28714/BOOKLETPERBANKANINDONESIATAHUN2015.pdfhttp://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C2A26001-FCC3-4783-A397-1FECE3A89599/28714/BOOKLETPERBANKANINDONESIATAHUN2015.pdf


PENGANTAR
Booklet Perbankan Indonesia edisi penerbitan Tahun 2013 ini
merupakan media publikasi yang menyajikan informasi singkat
mengenai perbankan Indonesia. Dari booklet ini, diharapkan pembaca
akan memperoleh informasi singkat mengenai arah kebijakan
perbankan tahun 2013 dan peraturan di bidang perbankan yang
dikeluarkan Bank Indonesia dalam periode tahun 2012.
Dalam Booklet edisi ini informasi ketentuan terbaru yang disajikan
antara lain mengenai (a) kegiatan usaha bank berupa penitipan
dengan pengelolaan/trust, (b) kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti bank, (c) penerapan kebijakan produk
pembiayaan kepemilikan rumah dan pembiayaan kendaraan
bermotor bagi bank umum Syariah dan UUS, (d) kepemilikan saham
bank umum, (e) kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil
risiko dan Pemenuhan Capital Equaivalency Maintained Assets (CEMA)
dan (f) beberapa perubahan ketentuan perbankan sebelumnya.
Selanjutnya, apabila diperlukan kejelasan dan pengertian
mendalam terkait dengan ketentuan-ketentuan perbankan, pembaca
dapat mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan BI yang antara lain
dapat diperoleh melalui website BI (www.bi.go.id).
Dengan keterbatasan informasi yang tersedia dalam Booklet
Perbankan Indonesia ini, kami tetap berharap agar informasi yang
disajikan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi pembaca.
 Jakarta, April 2013
 Bank Indonesia
 Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan

Booklet Perbankan 2012

Booklet Perbankan 2012
Booklet Perbankan Indonesia Edisi Tahun 2012 ini merupakan media publikasi
yang menyajikan informasi singkat mengenai perbankan Indonesia. Dari booklet ini,
diharapkan pembaca akan memperoleh informasi singkat mengenai kebijakan dan
peraturan di bidang perbankan yang dikeluarkan Bank Indonesia sampai dengan Maret
2012.
Dalam Booklet edisi ini informasi terbaru yang disajikan antara lain Kebijakan
Perbankan Tahun 2012, Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum yang Melakukan
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain, Penerapan Strategi
Anti Fraud Bagi Bank Umum, Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Umum yang
Melakukan Layanan Nasabah Prima, Pedoman Perhitungan ATMR Risiko Kredit dengan
Menggunakan Pendekatan Standar, Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit,
Fungsi Kepatuhan Bank Umum Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang
Melakukan Aktivitas Pemberian Kredit Kepemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan
Bermotor, dan beberapa perubahan ketentuan perbankan sebelumnya.
Selanjutnya, apabila diperlukan kejelasan dan pengertian mendalam terkait
dengan ketentuan-ketentuan perbankan, pembaca dapat mengacu pada ketentuan
yang dikeluarkan BI yang antara lain dapat diperoleh melalui website BI (www.bi.go.id).
Dengan keterbatasan informasi yang tersedia dalam Booklet Perbankan Indonesia
ini, kami tetap berharap agar informasi yang disajikan dapat memberikan manfaat yang
optimal bagi pembaca


Monday, August 26, 2013

http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/se_132811.htm

Ringkasan:
Latar Belakang Pengaturan:
  1. Penguatan sistem pengendalian intern Bank dan sebagai pelaksanaan lebih lanjut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
  2. Terungkapnya berbagai kasus Fraud di sektor perbankan yang merugikan nasabah dan/atau Bank maka perlu diatur ketentuan mengenai penerapan strategi anti Fraud.
  3. Mengarahkan Bank dalam melakukan pengendalian Fraud melalui upaya-upaya yang tidak hanya ditujukan untuk pencegahan, namun juga untuk mendeteksi dan melakukan investigasi serta memperbaiki sistem sebagai bagian dari strategi yang bersifat integral dalam mengendalikan Fraud.
Substansi Pengaturan:
Pokok-pokok pengaturan dalam Surat Edaran/SE ini adalah sebagai berikut:
  1. Bank wajib memiliki dan menerapkan strategi anti Fraud yang disesuaikan dengan lingkungan internal dan eksternal, kompleksitas kegiatan usaha, potensi, jenis, dan risiko Fraud serta didukung sumber daya yang memadai. Strategi anti Fraud merupakan bagian dari kebijakan strategis yang penerapannya diwujudkan dalam sistem pengendalian Fraud.
  2. Bank yang telah memiliki strategi anti Fraud, namun belum memenuhi acuan minimum, wajib menyesuaikan dan menyempurnakan strategi anti Fraud yang telah dimiliki.
  3. Dalam rangka mengendalikan risiko terjadinya Fraud, Bank perlu menerapkan Manajemen Risiko dengan penguatan pada beberapa aspek, yang paling kurang mencakup Pengawasan Aktif Manajemen, Struktur Organisasi dan Pertanggungjawaban, serta Pengendalian dan Pemantauan.
  4. Strategi anti Fraud yang dalam penerapannya berupa sistem pengendalian Fraud, memiliki 4 (empat) pilar, sebagai berikut:
    1. Pencegahan
      Memuat perangkat-perangkat dalam rangka mengurangi potensi risiko terjadinya Fraud, yang paling kurang mencakup anti Fraud awareness, identifikasi kerawanan, dan know your employee.
    2. Deteksi
      Memuat perangkat-perangkat dalam rangka mengidentifikasi dan menemukan kejadian Fraud dalam kegiatan usaha Bank, yang mencakup paling kurang kebijakan dan mekanisme whistleblowing, surprise audit, dan surveillance system.
    3. Investigasi, Pelaporan, dan Sanksi
      Memuat perangkat-perangkat dalam rangka menggali informasi, sistem pelaporan, dan pengenaan sanksi atas kejadian fraud dalam kegiatan usaha Bank, yang paling kurang mencakup standar investigasi, mekanisme pelaporan, dan pengenaan sanksi.
    4. Pemantauan, Evaluasi, dan Tindak Lanjut
      Memuat perangkat-perangkat dalam rangka memantau dan mengevaluasi kejadian Fraud serta tindak lanjut yang diperlukan, berdasarkan hasil evaluasi, yang paling kurang mencakup pemantauan dan evaluasi atas kejadian Fraud serta mekanisme tindak lanjut.
  5. Dalam rangka memantau penerapan strategi anti Fraud, Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia:
    1. Bank wajib menyampaikan Strategi anti Fraud paling lambat 6 (enam) bulan setelah berlakunya SE ini,
    2. Laporan penerapan strategi anti Fraud setiap semester yang berlaku sejak laporan Juni 2012, dan
    3. Laporan kejadian Fraud yang diperkirakan berdampak negatif secara signifikan terhadap bank, paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Bank mengetahui.
  6. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan sanksi administratif sesuai PBI No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Akuntasi Forensik & Audit Investigatif

Sinopsis buku ini :

Minat terhadap akuntansi forensik dan audit investigatif berkembang pesat, terutama di kalangan aparat penegak hukum dan mahasiswa program profesi akuntansi. Pemberitaan media massa menambah keingintahuan masyarakat mengenai upaya pencegahan dan penindakan terhadap korupsi, dan secara tidak langsung, mengenai investigasi dan audit investigatif. Di dalam negeri, terdapat pemberitaan yang bertubi-tubi mengenai: • Penyuapan kepada oknum penegak hukum, oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, oknum pimpinan pemerintah pusat dan daerah, oknum komisioner, dan lain sebagainya. • Berbagai kasus korupsi yang melibatkan petinggi Bank Indonesia. • Kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan beberapa anggotanya, rekaman percakapan telepon dalam sidang terbuka Mahkamah Konstitusi, Pansus Dewan Perwakilan Rakyat mengenai kasus Bank Century, pengungkapan mafia peradilan oleh Komjen Pol. Susno Duadji, dan permintaan keterangan oleh KPK mengenai Bank Century. Sementara itu, di luar negeri ada pemberitaan tentang Bernard (“Bernie”) Madoff dan Ponzi scheme-nya yang sejak 2001 terendus oleh akuntan forensik (Harry Marcopoulos) dan jurnalis investigatif (Erin Arvedlund). U.S. SEC dan FBI mengetahuinya dari pengakuan Madoff delapan tahun kemudian. Fraud yang diperkirakan telah berjalan 30 tahun dengan kerugian U.S. $65 miliar, menarik perhatian praktisi keuangan, akuntansi, dan penegak hukum. Akuntansi forensik dan audit investigatif dalam bentuk yang paling sederhana merupakan perpaduan antara disiplin akuntansi, audit, dan hukum. Aspek hukumnya meliputi berbagai bidang seperti hukum pidana umum maupun khusus (seperti pidana korupsi, pidana perbankan, pidana pencucian uang, dan lain-lain), hukum perdata, hukum acara (pidana dan perdata), arbitrase, dan penyelesaiaan sengketa. Bahkan ada undang-undang di luar negeri yang dapat menyeret pejabat negara Indonesia, seperti U.S. Foreign Corrupt Practices Act. Dalam pengertian yang luas, akuntansi forensik meliputi disiplin lain seperti sosiologi dan antropologi (Bab 10), teknologi informasi (Bab18), ilmu kepolisian dan psikologi (Bab 19), serta kriminologi dan viktimologi (Bab 30). Seluruh lingkupa kuntansi forensik dan audit investigatif dibahas dalam buku ini. Kasus-kasus yang disebutkan di atas menjadi ilustrasi buku ini

Monday, June 24, 2013

PENCEGAHAN DAN PENDETEKSIAN KECURANGAN OLEH INTERNAL AUDITOR

http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/investigasi/files/Gambar/PDF/cegah_deteksi.pdfPENCEGAHAN DAN PENDETEKSIAN KECURANGAN
OLEH INTERNAL AUDITOR
Oleh :
Amrizal, Ak, MM, CFE
I. Pendahuluan
Internal auditing adalah suatu penilaian, yang dilakukan oleh pegawai
perusahaan yang terlatih mengenai ketelitian, dapat dipercayainya,
efisiensi, dan kegunaan catatan-catatan (akutansi) perusahaan, serta
pengendalian intern yang terdapat dalam perusahaan. Tujuannya adalah
untuk membantu pimpinan perusahaan (manajemen) dalam
melaksanakan tanggungjawabnya dengan memberikan analisa, penilaian,
saran, dan komentar mengenai kegiatan yang di audit.
Untuk mencapai tujuan tersebut, internal auditor melakukan kegiatan–
kegiatan berikut:
– Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan
sistem pengendalian manajemen, struktur pengendalian intern, dan
pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan
pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal,
– Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedurprosedur
yang telah ditetapkan oleh manajemen
– Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan
dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian,
kecurangan dan penyalahgunaan
– Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam
organisasi dapat dipercaya
– Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang
diberikan oleh manajemen
– Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka
meningkatkan efisensi dan efektifitas
Prepared by Amz 2
Dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya tersebut dapat disimpulkan
bahwa internal auditor antara lain memiliki peranan dalam :
a. Pencegahan Kecurangan (Fraud Prevention),
b. Pendeteksian Kecurangan (Fraud Detection), dan
c. Penginvestigasian Kecurangan (Fraud Investigation).
II. Kecurangan dan jenis kecurangan
Untuk lebih berhasilnya peran auditor dalam pencegahan dan
pendeteksian adanya kecurangan, sebaiknya internal auditor perlu
memahami kecurangan dan jenis-jenis kecurangan yang mungkin terjadi
dalam perusahaan. G.Jack Bologna, Robert J.Lindquist dan Joseph
T.Wells mendifinisikan kecurangan “ Fraud is criminal deception intended
to financially benefit the deceiver ( 1993,hal 3 )” yaitu kecurangan adalah
penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan
kepada si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan serius
yang dilakukan dengan maksud jahat. Dan dari tindakan jahat tersebut ia
memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara financial.
Biasanya kecurangan mencakup tiga langkah yaitu (1) tindakan/the act.,
(2) Penyembunyian/theconcealment dan (3) konversi/the conversion
Misalnya pencurian atas harta persediaan adalah tindakan, kemudian
pelaku akan menyembunyikan kecurangan tersebut misalnya dengan
membuat bukti transaksi pengeluaran fiktif. Selanjutnya setelah perbuatan
pencurian dan penyembunyian dilakukan, pelaku akan melakukan
konversi dengan cara memakai sendiri atau menjual persediaan tersebut.
Pada dasarnya terdapat dua tipe kecurangan, yaitu eksternal dan internal.
Kecurangan eksternal adalah kecurangan yang dilakukan oleh pihak luar
terhadap suatu perusahaan/entitas, seperti kecurangan yang dilakukan
pelanggan terhadap usaha; wajib pajak terhadap pemerintah. Kecurangan
internal adalah tindakan tidak legal dari karyawan, manajer dan eksekutif
terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Dalam tabel berikut tipe
kecurangan menurut Albrecht .W.Steve ( Fraud Examination ) :
Prepared by Amz 3
Type of Fraud Victim Perpetrator Explanation
Employee
embezzlement or
occupational fraud
Employers Employees Employees directly
or indirectly steal
from ther employers
Management fraud Stockolders, and
other who rely on
financial statements
Top management Top management
provides
misrepresentation,
usualy in financial
information
Investment scams Investors Individuals Individuals trick
investors into putting
money into frodulent
investments.
Vendor fraud Organizations that
buy goods or
services
Organizations or
individual that sell
goods or services
Organizations
overcharge for
goods or service or
nonshipment of
goods, even though
payment is made.
Customers fraud Organizations that
sell goods or
services
customers Customers deceive
seller into giving
customers
something they
should not have or
charging them less
than they should.
Sumber : Fraud Examination ( page ;8 )
Berkaitan dengan itu Association of Certified Fraud Examinations (ACFE-
2000), salah satu asosiasi di USA yang mendarmabaktikan kegiatannya
dalam pencegahan dan pemberantasan kecurangan, mengkategorikan
kecurangan dalam tiga kelompok sebagai berikut:
a. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud),
Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai
kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji
material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan kreditor.
Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial.
Prepared by Amz 4
b. Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation),
Penyalahagunaan aset dapat digolongkan ke dalam ‘Kecurangan Kas’
dan ‘Kecurangan atas Persediaan dan Aset Lainnya’, serta
pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent
disbursement).
c. Korupsi (Corruption),
Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE,
bukannya pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan TPK di
Indonesia. Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan
kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal
(illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion).
III. Pencegahan Kecurangan
Peran utama dari internal auditor sesuai dengan fungsinya dalam
pencegahan kecuarangan adalah berupaya untuk menghilangkan atau
mengeleminir sebab- sebab timbulnya kecurangan tersebut. Karena
pencegahan terhadap akan terjadinya suatu perbuatan curang akan lebih
mudah daripada mengatasi bila telah terjadi kecurangan tersebut.
Pada dasarnya kecurangan sering terjadi pada suatu suatu entitas apa
bila :
a. Pengendalian intern tidak ada atau lemah atau dilakukan dengan
longgar dan tidak efektif.
b. Pegawai dipekerjakan tanpa memikirkan kejujuran dan integritas
mereka.
c. Pegawai diatur, dieksploitasi dengan tidak baik, disalahgunakan atau
ditempatkan dengan tekanan yang besar untuk mencapai sasaran dan
tujuan keuangan yang mengarah tindakan kecurangan.
d. Model manajemen sendiri melakukan kecurangan, tidak efsien dan
atau tidak efektif serta tidak taat terhadap hukum dan peraturan yang
berlaku..
e. Pegawai yang dipercaya memiliki masalah pribadi yang tidak dapat
dipecahkan , biasanya masalah keuangan, kebutuhan kesehatan
keluarga, gaya hidup yang berlebihan.
f. Industri dimana perusahaan menjadi bagiannya, memiliki sejarah atau
tradisi kecurangan
Prepared by Amz 5
Pencegahan kecurangan pada umumnya adalah aktivitas yang
dilaksanakan manajemen dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan
prosedur yang membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan
sudah dilakukan dewan komisaris, manajemen, dan personil lain
perusahaan untuk dapat memberikan keyakinan memadai dalam
mencapai 3 ( tiga ) tujuan pokok yaitu ; keandalan pelaporan keuangan,
efektivitas dan efisiensi operasi serta kepatuhan terhadap hukum &
peraturan yang berlaku. ( COSO: 1992)
Untuk hal tersebut , kecurangan yang mungkin terjadi harus dicegah
antara lain dengan cara –cara berikut :
1) Membangun struktur pengendalian intern yang baik
Dengan semakin berkembangnya suatu perusahaan, maka tugas
manajemen untuk mengendalikan jalannya perusahaan menjadi
semakin berat. Agar tujuan yang telah ditetapkan top manajemen dapat
dicapai, keamanan harta perusahaan terjamin dan kegiatan operasi
bisa dijalankan secara efektif dan efisien, manajemen perlu
mengadakan struktur pengendalian intern yang baik dan efektif
mencegah kecurangan.
Dalam memperkuat pengendalian intern di perusahaan, COSO (The
Committee of Sponsoring Organizations of The Treadway Commission)
pada bulan September 1992 memperkenalkan suatu rerangka
pengendalian yang lebih luas daripada model pengendalian akuntansi
yang tradisional dan mencakup menejemen risiko, yaitu pengendalian
intern terdiri atas 5 ( lima ) komponen yang saling terkait yaitu :
(1) Lingkungan pengendalian ( control environment ) menetapkan
corak suatu organisasi, mempengaruhi kesadaran pengendalian
orang-orangnya. Lingkungan pengendalian merupakan dasar untuk
semua komponen pengendalian intern, menyediakan disiplin dan
struktur.
Lingkungan pengendalian mencakup :
a. Integritas dan nilai etika
b. Komitmen terhadap kompetensi
c. Partisipasi dewan komisaris atau komite audit
d. Filosofi dan gaya operasi manajemen
e. Struktur organisasi
Prepared by Amz 6
f. Pemberian wewenang dan tanggungjawab
g. Kebijakan dan praktik sumber daya manusia
(2) Penaksiran risiko ( risk assessment ) adalah identifikasi entitas dan
analisis terhadap risiko yang relevan untuk mencapai tuuannya,
membentuk suatu dasar untuk menenetukan bagaimana risiko
harus dikelola.
Risiko dapat timbul atau berubah karena keadaan berikut :
a. Perubahan dalam lingkungan operasi
b. Personel baru
c. Sistem informasi yang baru atau diperbaiki
d. Teknologi baru
e. Lini produk, produk atau aktivitas baru
f. Operasi luar negeri
g. Standar akuntansi baru
(3) Standar Pengedalian ( control activities ) adalah kebijakan dari
prosedur yang membantu menjamin bahwa arahan manajemen
dilaksanakan.
Kebijakan dan prosedur yang dimaksud berkaitan degan:
a. Penelaahan terhadap kinerja
b. Pengolahan informasi
c. Pengendalian fisik
d. Pemisahan tugas
(4) Informasi dan komunikasi ( information and communication )
adalah pengidentifikasian, penangkapan, dan pertukaran informasi
dalam suatu bentuk dari waktu yang memungkinkan orang
melaksanakan tanggungjawab mereka.
Sistem imformasi mencakup sistem akuntansi, terdiri atas metode
dan catatan yang dibangun untuk mencatat, mengolah, meringkas,
dan melaporkan transaksi entitas dan untuk memelihara
akuntabiltas bagi aktiva, utang dan ekuitas.
Komunikasi mencakup penyediaan suatu pemahaman tentang
peran dan tanggung jawab individual berkaitan dengan
pengendalian intern terhadap pelaporan keuangan.
Prepared by Amz 7
(5) Pemantauan ( monitoring ) adalah proses menentukan mutu kinerja
pengendalian intern sepanjang waktu. Pemantauan mencakup
penentuan disain dan operasi pengendalian yang tepat waktu dan
pengambilan tindakan koreksi.
2) Mengefektifkan aktivitas pengendalian
(1) Review Kinerja
Aktivitas pengendalian ini mencakup review atas kinerja
sesungguhnya dibandingkan dengan anggaran, prakiraan, atau
kinerja priode sebelumnya, menghubungkan satu rangkaian data
yang berbeda operasi atau keuangan satu sama lain, bersama
dengan analisis atas hubungan dan tindakan penyelidikan dan
perbaikan; dan review atas kinerja fungsional atau aktivitas
seseorang manajer kredit atas laporan cabang perusahaan
tentang persetujuan dan penagihan pinjaman.
(2) Pengolahan informasi
Berbagai pengendalian dilaksanakan untuk mengecek ketepatan,
kelengkapan, dan otorisasi transaksi. Dua pengelompokan luas
aktivitas pengendalian sistem informasi adalah pengendalian
umum ( general control ) dan pengendalian aplikasi ( application
control). Pengendalian umum biasanya mencakup pengendalian
atas operasi pusat data, pemerosesan dan pemeliharaan
perangkat lunak sistem, keamanan akses, pengembangan dan
pemeliharaan sistem aplikasi. Pengendalian ini berlaku untuk
maiframe, minicomputer dan lingkungan pemakai akhir (end-user ).
Pengendalian ini membantu menetapkan bahwa transaksi adalah
sah, diotorisasi semestinya, da n diolah secara lengkap dan akurat.
(3) Pengengendalian fisik
Aktivitas pengendalian fisik mencakup keamanan fisik aktiva,
penjagaan yang memadai terhadap fasilitas yang terlindungi dari
akses terhadap aktiva dan catatan; otorisasi untuk akses ke
program komputer dan data files; dan perhitungan secara periodik
dan pembandingan dengan jumlah yang tercantum dalam catatan
pengendali.
Prepared by Amz 8
(4) Pemisahan tugas
Pembebanan tanggungjawab ke orang yang berbeda untuk
memberikan otorisasi, pencatatan transaksi, menyelenggarakan
penyimpanan aktiva ditujukan untuk mengurangi kesempatan bagi
seseorang dalam posisi baik untuk berbuat kecurangan dan
sekaligus menyembunyikan kekeliruan dan ketidakberesan dalam
menjalankan tugasnya dalam keadaan normal
.
3) Meningkatkan kultur organisasi
Meningkatkan kultur organisasi dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance
(GCG) yang saling terkait satu sama lain agar dapat mendorong kinerja
sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasikan nilai
ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang
saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.
Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah (menurut Saifuddien Hasan,
2000) :
(1) Keadilan ( Fairness )
Melidungi kepentingan pemegang saham minoritas dan
steakholders lainnnya dari rekayasa transaksi yang bertentangan
dengan peraturan peraturan yang berlaku
(2) Transparansi
Keterbukaan ( disclosure ) bagi steakholder yang terkait untuk
melihat dan memahami proses suatu pengambilan keputusan
/pengelolaan suatu perusahaan. Dalam hal ini terkait pula
kewajiban perusahaan untuk mengungkapkan informasi material
kepada pemegang saham /publik dan pemerintah secara benar,
akurat, teratur dan tepat waktu.
(3) Akuntabilitas ( Accountability )
Menciptakan sistem pengawasan yang efektif didasarkan atas
distribusi dan keseimbangan kekuasaan antar anggota direksi,
komisaris, pemegang saham dan pengawas. Di sini menyangkut
pula proses pertanggungjawaban para pengurus perusahaan atas
keputusan – keputusan yang dibuat dan kinerja yang dicapai.
Prepared by Amz 9
(4) Tanggung jawab ( Responsibility )
Perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mematuhi hukum dan
ketentuan/peraturan yang berlaku termasuk tanggap terhadap
lingkungan di mana perusahaan berada
(5) Moralitas
Manajemen dan seluruh individu dalam perusahaan wajib
menjunjung tinggi moralitas, di dalam prinsip ini terkandung unsurunsur
kejujuran, kepekaan sosial dan tanggug jawab individu
(6) Kehandalan ( Reliability )
Pihak manajemen/pengelola perusahaan dituntut untuk memiliki
kompetensi dan profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan
(7) Komitmen
Pihak manajemen/pengelola perusahaan dituntut untuk memiliki
komitmen penuh untuk selalu meningkatkan nilai perusahaan , dan
bekerja untuk mengoptimalkan nilai pemegang sahamnnya ( duty
of loyalty ) serta menurunkan risiko perusahaan
Dalam pedoman GCG yang disusun oleh The National Committee on
Coprporate Governance (Maret 2000) telah disarankan dengan jelas
bagi perusahaan untuk memenuhi 13 (tiga belas) aspek penting yang
harus diperhatikan manajemen perusahaan yaitu :
Pemegang Saham, Dewan Komisaris, Direksi, Sistem Audit, Sekretaris
Perusahaan, Pihak-pihak yang berkepentingan (steakholders),
Keterbukaan,Kerahasiaan, Informasi Orang Dalam, Etika Barusaha
dan Anti Korupsi, Donasi, Kepatuhan pada Peraturan Perundangundangan
(Proteksi Kesehatan, Keselamatan Kerja , Pelestarian
Lingkungan serta Kesempatan Kerja yang sama)
4) Mengefektifkan fungsi internal audit
Walaupun internal auditor tidak dapat menjamin bahwa kecurangan
tidak akan terjadi, namun ia harus menggunakan kemahiran
jabatannya dengan saksama sehingga diharapkan mampu mendeteksi
terjadinya kecurangan dan dapat memberikan saran-saran yang
bermafaat kepada manajemen untuk mencegah terjadinya kecurangan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh manajemen agar fungsi
internal audit bisa efektif membantu manajemen dalam
Prepared by Amz 10
melaksanakan tanggungjawabnya dengan memberikan analisa,
penilaian, saran dan komentar mengenai kegiatan yang diperiksanya
adalah :
(1) Internal audit departemen harus mempunyai kedudukan yang
independen dalam organisasi perusahaan dalam artikata ia tidak
boleh terlibat kegiatan operasional perusahaan dan
bertanggungjawab kepada atau melaporkan kegiatannya kepada
top manajemen
(2) Internal audit departemen harus mempunyai uraian tugas secara
tertulis, sehingga setiap auditor mengetahui dengan jelas apa yang
menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawabnya.
(3) Internal audit harus mempunyai internal audit manual yang
berguna untuk :
􀂾 mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas
􀂾 menentukan standar yang berguna untuk mengukur dan
meningkatkan performance
􀂾 memberi keyakinan bahwa hasil akhir internal audit departemen
sesuai dengan requirement dari internal audit director
(4) Harus ada dukungan yang kuat dari top manajemen kepada
internal audit departemen . Dukungan tersebut dapat berupa :
􀂾 penempatan internal audit departemen dalam posisi yang
independen
􀂾 penempatan audit staf dengan gaji yang cukup menarik
􀂾 penyediaan waktu yang cukup dari top manajemen untuk
membaca, mendengarkan dan mempelajari laporan –laporan
internal audit departemen dan respon yang cepat dan tegas
terhadap saran-saran perbaikan yang diajukan oleh internal
auditor
(5) Internal audit departemen harus memiliki sumber daya yang
profesional, capable, bisa bersikap objective dan mempunyai
integritas serta loyalitas yang tinggi
(6) Internal auditor harus bisa bekerjasama dengan akuntan publik
Jika internal auditor sudah bisa bekerja secara efisien dan efektif
dan bisa bekerjasama dengan akuntan publik, maka audit fee yang
harus dibayar kepada KAP bisa ditekan menjadi lebih rendah
Prepared by Amz 11
karena hasil kerja internal auditor bisa mempercepat dan
mempermudah penyelesaian pekerjaan KAP
5) Menciptakan struktur pengajian yang wajar dan pantas
6) Mengadakan Rotasi dan kewajiban bagi pegawai untuk mengambil
hak cuti
7) Memberikan sanksi yang tegas kepada yang melakukan kecurangan
dan berikan penghargaan kepada mereka yang berprestasi
8) Membuat program bantuan kepada pegawai yang mendapatkan
kesulitan baik dalam hal keuangan maupun non keuangan
9) Menetapkan kebijakan perusahaan terhadap pemberian-pemberian
dari luar harus diinformasikan dan dijelaskan pada orang-orang yang
dianggap perlu agar jelas mana yang hadiah dan mana yang berupa
sogokan dan mana yang resmi
10) Menyediakan sumber-sumber tertentu dalam rangka mendeteksi
kecurangan karena kecurangan sulit ditemukan dalam pemeriksaan
yang biasa-biasa saja
11) Menyediakan saluran saluran untuk melaporkan telah terjadinya
kecurangan hendaknya diketahui oleh staf agar dapat diproses pada
jalur yang benar
IV. Pendeteksian Kecurangan
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, resiko yang dihadapi
perusahaan diantaranya adalah Integrity risk, yaitu resiko adanya
kecurangan oleh manajemen atau pegawai perusahaan, tindakan illegal,
atau tindak penyimpangan lainnya yang dapat mengurangi nama baik /
reputasi perusahaan di dunia usaha, atau dapat mengurangi kemampuan
perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Adanya
resiko tersebut mengharuskan internal auditor untuk menyusun tindakan
pencegahan / prevention untuk menangkal terjadinya kecurangan
sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya.
Prepared by Amz 12
Namun, pencegahan saja tidaklah memadai, internal auditor
harus memahami pula bagaimana cara mendeteksi secara dini terjadinya
kecurangan-kecurangan yang timbul. Tindakan pendeteksian tersebut
tidak dapat di generalisir terhadap semua kecurangan. Masing-masing
jenis kecurangan memiliki karakteristik tersendiri, sehingga untuk dapat
mendeteksi kecurangan perlu kiranya pemahaman yang baik terhadap
jenis-jenis kecurangan yang mungkin timbul dalam perusahaan.
Sebagian besar bukti-bukti kecurangan merupakan bukti-bukti
tidak sifatnya langsung. Petunjuk adanya kecurangan biasanya
ditunjukkan oleh munculnya gejala-gejala (symptoms) seperti adanya
perubahan gaya hidup atau perilaku seseorang, dokumentasi yang
mencurigakan, keluhan dari pelanggan ataupun kecurigaan dari rekan
sekerja. Pada awalnya, kecurangan ini akan tercermin melalui timbulnya
karakteristik tertentu, baik yang merupakan kondisi / keadaan lingkungan,
maupun perilaku seseorang. Karakterikstik yang bersifat kondisi / situasi
tertentu, perilaku / kondisi seseorang personal tersebut dinamakan Red
flag (Fraud indicators).
Meskipun timbulnya red flag tersebut tidak selalu merupakan
indikasi adanya kecurangan, namun red flag ini biasanya selalu muncul di
setiap kasus kecurangan yang terjadi.
Pemahaman dan analisis lebih lanjut terhadap Red flag tersebut
dapat membantu langkah selanjutnya untuk memperoleh bukti awal atau
mendeteksi adanya kecurangan. Berikut adalah gambaran secara garis
besar pendeteksian kecurangan berdasar penggolongan kecurangan oleh
ACFE tersebut di atas.
1. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud).
Kecurangan dalam penyajian laporan keuangan umumnya dapat
dideteksi melalui analisis laporan keuangan sebagai berikut:
– analisis vertikal, yaitu teknik yang digunakan untuk menganalisis
hubungan antara item-item dalam laporan laba rugi, neraca, atau
Laporan arus kas dengan menggambarkannya dalam persentase.
Sebagai contoh, adanya kenaikan persentase hutang niaga dengan
total hutang dari rata-rata 28% menjadi 52% dilain pihak adanya
penurunan persentase biaya penjualan dengan total penjualan dari
Prepared by Amz 13
20% menjadi 17% mungkin dapat menjadi satu dasar adanya
pemeriksaan kecurangan.
– analisis horizontal, yaitu teknik untuk menganalisis persentasepersentase
perubahan item laporan keuangan selama beberapa
periode laporan. Sebagai contoh adanya kenaikan penjualan
sebesar 80% sedangkan harga pokok mengalami kenaikan 140%.
Dengan asumsi tidak ada perubahan lainnya dalam unsur-unsur
penjualan dan pembelian, maka hal ini dapat menimbulkan
sangkaan adanya pembelian fiktif, penggelapan, atau transaksi
illegal lainnya.
– analisis rasio, yaitu alat untuk mengukur hubungan antara nilai-nilai
item dalam laporan keuangan. Sebagai contoh adalah current ratio,
adanya penggelapan uang atau pencurian kas dapat menyebabkan
turunnya perhitungan rasio tersebut.
2. Asset Misappropriation (Penyalahgunaan aset).
Teknik untuk mendeteksi kecurangan-kecurangan kategori ini sangat
banyak variasinya. Namun, pemahaman yang tepat atas
pengendalian intern yang baik dalam pos-pos tersebut akan
sangat membantu dalam melaksanakan pendeteksian kecurangan.
Dengan demikian, terdapat banyak sekali teknik yang dapat
dipergunakan untuk mendeteksi setiap kasus penyalahgunaan aset.
Masing-masing jenis kecurangan dapat dideteksi melalui beberapa
teknik yang berbeda.
Misalnya, untuk mendeteksi kecurangan dalam pembelian ada
beberapa metode deteksi yang dapat digunakan. Metode-metode
tersebut akan sangat efektif bila digunakan secara kombinasi
gabungan, setiap metode deteksi akan menunjukkan anomalies /
gejala penyimpangan yang dapat diinvestigasi lebih lanjut untuk
menentukan ada tidaknya kecurangan. Selain itu, metode-metode
tersebut akan menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam
pengendalian intern dan mengingatkan / memberi peringatan pada
auditor akan adanya potensi terjadinya kecurangan di masa
mendatang.
Prepared by Amz 14
Analytical review
Suatu review atas berbagai akun yang mungkin menunjukkan ketidak
biasaan atau kegiatan-kegiatan yang tidak diharapkan. Sebagai contoh
adalah perbandingan antara pembelian barang persediaan dengan
penjualan bersihnya yang dapat mengindikasikan adanya pembelian
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah biala dibandingkan dengan
tingkat penjualannya. Metode analitis lainnya adalah perbandingan
pembelian persediaan bahan baku dengan tahun sekarang yang
mungkin mengindikasikan adanya kecurangan overbilling scheme atau
kecurangan pembelian ganda.
Statistical sampling
Sebagaimana persediaan, dokumen dasar pembelian dapat diuji
secara sampling untuk menentukan ketidakbiasaan (irregularities),
metode deteksi ini akan efektif jika ada kecurigaan terhadap satu
attributnya, misalnya pemasok fiktif. Suatu daftar alamat PO BOX akan
mengungkapkan adanya pemasok fiktif
Vendor or outsider complaints
Komplain / keluhan dari konsumen, pemasok, atau pihak lain
merupakan alat deteksi yang baik yang dapat mengarahkan auditor
untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Site visit – observation
Observasi ke lokasi biasanya dapat mengungkapkan ada tidaknya
pengendalian intern di lokasi-lokasi tersebut. Observasi terhadap
bagaimana transaksi akuntansi dilaksanakan kadangkala akan
memberi peringatan pada CFE akan adanya daerah-daerah yang
mempunyai potensi bermasalah
Dalam banyak kasus kecurangan, khususnya kasus pencurian dan
penggelapan aset, biasanya terdapat tiga faktor, yaitu:
a. ada satu tekanan pada seseorang, seperti kebutuhan keuangan,
b. adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan dan
menyembunyikan kecurangan yang dilakukan,
c. adanya cara pembenaran perilaku tersebut yang sesuai dengan
tingkatan integritas pelakunya,
Prepared by Amz 15
Ada tiga elemen dalam struktur pengendalian intern yang perlu
diperhatikan dengan baik, yaitu Lingkungan pengendalian, Sistem
akuntansi, dan prosedur pengendalian, dengan rincian sebagai berikut:
Control Environment
Accounting System Control Procedures
1. Management Philosophy and
style
1. Validity 1. Separation of duties
2. Organization Structure 2. Authorization 2. Proper procedures for
authorization
3. Audit Committee 3. Completeness 3. Adequate documents and
records
4. Communication methods 4. Valuation 4. Physical control over
asssets and records
5. Internal audit function 5. Classification 5. Independent checks on
performance
6. Personnel policies and
procedures
6. Timing
Jika struktur internal control sudah ditempatkan dan berjalan dengan
baik, peluang adanya kecurangan yang tak terdeteksi akan banyak
berkurang. Pemeriksa kecurangan harus mengenal dan memahami
dengan baik setiap elemen dalam struktur pengendalian intern agar
dapat melakukan evaluasi dan mencari kelemahannya.
3. Corruption (Korupsi),
Sebagian besar kecurangan ini dapat dideteksi melalui keluhan dari
rekan kerja yang jujur, laporan dari rekan, atau pemasok yang tidak
puas dan menyampaikan komplain ke perusahaan. Atas sangkaan
terjadinya kecurangan ini kemudian dilakukan analisis terhadap
tersangka atau transaksinya. Pendeteksian atas kecurangan ini dapat
dilihat dari karakteristik (Red flag) si penerima maupun si pemberi.
Orang-orang yang menerima dana korupsi ataupun penggelapan dana
pada umumnya mempunyai karakteristik (red flag) sebagai berikut:
• The Big Spender
• The Gift taker
• The Odd couple
Prepared by Amz 16
• The Rule breaker
• The Complainer
• The Genuine need
Sedangkan orang yang melakukan pembayaran mempunyai
karakteristik (red flag) sebagai berikut:
• The Sleaze factor
• The too Succesful bidder
• Poor quality, higher prices
• The one-person operation
V. Simpulan
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, perusahaan senantiasa
menghadapi berbagai resiko yang dinamakan resiko bisnis (bussiness
risk). Termasuk diantaranya adalah resiko terjadinya kecurangan (fraud)
yang tergolong dalam resiko integritas (Integrity Risk). Menurut ACFE,
kecurangan yang terjadi dapat digolongkan ke dalam tiga kategori
kecurangan, kecurangan laporan keuangan (Financial Statement Fraud),
penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation), dan korupsi (Corruption).
Tanda-tanda awal (symptoms) biasanya muncul dalam kasus
kecurangan, walau demikian munculnya symptoms tersebut belum berarti
telah terjadi kecurangan. Symptoms ini dikenal dengan nama Red flag,
yang seyogyanya dipahami dan digunakan oleh internal auditor dalam
melakukan analisis dan evaluasi lebih lanjut untuk mendeteksi adanya
kecurangan yang mungkin timbul sebelum dialakuakan investigasi.
Setelah memahami jenis-jenis kecurangan, internal auditor perlu
memahami secara tepat struktur pengendalian intern yang baik agar
dapat melakukan upaya-upaya untuk