Monday, November 17, 2014

Bukan Watchdog, Konsultan, Juga Bukan Katalis! Tapi Pengawas Intern

http://www.itjen.kemenkeu.go.id/page/detil.aspx?id=81

Bukan Watchdog, Konsultan, Juga Bukan Katalis! Tapi Pengawas Intern

Rabu, 10 Agustus 2011
 
Penulis : Alexander Zulkarnain (Auditor Madya Inspektorat VII)
 
“Pertarungan ideologi” antara peran auditor internal sebagai watchdog dan konsultan mungkin bukan hal yang baru. Meskipun sejatinya keduanya sama dalam memainkan peran auditor internal, namun nampak adanya kesenjangan yang cukup tajam antara keduanya. Namun, sebelum berpolemik lebih jauh, ada baiknya pembahasan dikembalikan kepada “dalil” yang ada.
 
Definisi dan Pengertian

The Institute of Internal Auditor (IIA, 2001) mendefinisikan internal auditing sebagai “aktivitas independen dalam menetapkan tujuan dan merancang aktivitas konsultasi (consulting activity) yang bernilai tambah (value added) dan meningkatkan operasi perusahaan.” Ditambahkan pula bahwa internal auditing membantu organisasi dalam mencapai tujuan dengan cara pendekatan yang terarah dan sistematis untuk menilai dan mengevaluasi efektivitas manajemen resiko (risk management) melalui pengendalian (control) dan proses tata kelola yang baik (governance processes).
 
Adapun dedengkot-nya internal auditing, Sawyer (2005), mendefinisikan internal auditing sebagai “sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan auditor internal terhadap operasi dan kontrol yang berbeda-beda dalam organisasi untuk menentukan apakah: (1) informasi keuangan dan operasi telah akurat dan dapat diandalkan; (2) risiko yang dihadapi perusahaan telah diidentifikasi dan diminimalisasi; (3) peraturan eksternal serta kebijakan dan prosedur internal yang bisa diterima telah diikuti; (4) kriteria operasi yang memuaskan telah dipenuhi; (5) sumber daya telah digunakan secara efisien dan ekonomis; dan (6) tujuan organisasi telah dicapai secara efektif.”
 
Dari kedua uraian di atas, kiranya dapat ditangkap dengan cukup jelas mengenai bagaimana internal auditing (sebagai sebuah proses) yang ideal dan seharusnya dilaksanakan oleh auditor internal (sebagai subyek). Beberapa poin penting yang patut disimak yaitu: adanya aktivitas konsultansi yang bertujuan memberikan nilai tambah bagi organisasi; serta pelaksanaan evaluasi (dan/atau penilaian) terhadap proses-proses berupa manajemen risiko, pengendalian, tata kelola yang baik (kepatuhan, efektivitas, efisiensi dan ekonomis dalam aktivitas operasi) dan akurasi data dan informasi (terutama keuangan).
 
Dalam konteks internal auditing di kalangan pemerintahan di Indonesia, kiranya belumlah lengkap apabila tidak menggunakan kerangka PP 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dalam menganalisis permasalahan ini. Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “Pengendalian internal merupakan sebuah sistem yang bertujuan untuk memberikan keyakinan memadai atas: (1) tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien; (2) keandalan pelaporan keuangan; (3) pengamanan aset negara; dan (4) ketaatan peraturan perundang-undangan.”
 
Selanjutnya, dalam pasal 1 angka 3 disebutkan juga bahwa “Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.” Untuk itu, aparat pengawas internal dibentuk dalam rangka memperkuat dan menunjang efektivitas pengendalian intern (pasal 47 ayat (2)).
 
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aparat pengawas intern (auditor internal pemerintah) memiliki fungsi dan tujuan untuk memperkuat efektivitas sistem pengendalian internal pemerintah. Lebih lanjut, sistem pengendalian internal pemerintah itu sendiri bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai atas efektivitas dan efisiensi operasi, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset, serta ketaatan terhadap peraturan. Poin penting dari pemahaman ini adalah, pengawas intern (dalam kerangka PP SPIP) secara khusus diharapkan mampu memberikan keyakinan yang memadai untuk tercapainya pelaksanaan kegiatan yang memenuhi aspek efektivitas dan efisiensi, yang pada akhirnya mampu mendorong tata kepemerintahan yang baik. Adapun secara umum, pengawas intern diharapkan mampu menjadi katalis dalam pencapaian tujuan sistem pengendalian itu sendiri.
 
Dulu Watchdog, Lalu Konsultan, Kini Katalis?

Dalam menjalankan peran dan fungsinya, auditor internal pada awalnya berperan selayaknya watchdog. Sebagaimana terminologinya, peran yang dijalankan oleh auditor internal selaku watchdog meliputi aktivitas inspeksi, observasi, perhitungan, cek & ricek yang bertujuan untuk memastikan ketaatan / kepatuhan terhadap ketentuan, peraturan atau kebijakan yang telah ditetapkan. Audit yang dilakukan adalah compliance audit dan apabila terdapat penyimpangan dapat dilakukan koreksi terhadap sistem pengendalian manajemen. Peran watchdog biasanya menghasilkan saran / rekomendasi yang mempunyai impact jangka pendek, misalnya perbaikan sistem & prosedur atau internal control (Ongkowijoyo, 2009; Simbolon, 2010). Dari segi pendekatan pengendalian, dalam perannya selaku watchdog, auditor internal menekankan pada pengendalian detektif (detective control), yaitu mengidentifikasi masalah yang sudah terjadi, lalu mencoba memberikan saran untuk mengatasinya.  Selain itu, dalam perspektif ini, auditor internal berfokus pada kelemahan dan penyimpangan yang ada dengan mengacu pada kebijakan dan policy. Ketidak sesuaian dengan policy pada umumnya dipersepsikan sebagai “masalah”.
 
Karakter ini juga melekat dalam pelaksanaan peran pengawas intern di lingkungan pemerintah selaku auditor internal, termasuk di lingkungan Itjen Kemenkeu. Beranjak dari karakter ini, aspek yang umum menjadi “indikator kinerja” dalam pelaksanaan tugas aparat adalah nilai dan jumlah temuan. Dalam banyak situasi, karakter dan peran seperti ini nampaknya masih dibutuhkan dalam pelaksanaan peran pengawas intern di lingkungan pemerintahan. Hal ini ditandai dengan masih relatif tingginya penyimpangan birokrasi. Salah satu indikator atas hal ini misalnya adalah indeks persepsi korupsi Indonesia yang masih di bawah angka 3.
 
Seiring perjalanan waktu, perubahan dan peningkatan tingkat kerumitan proses bisnis, ditambah lagi dengan persaingan dan perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi), auditor internal dipandang tidak cukup sekedar menjalankan peran sebagai watchdog. Auditor internal tidak lagi cukup menilai kepatuhan, fokus pada penyimpangan dan berorientasi pada audit. Auditor internal diharapkan dapat berperan lebih luas lagi, terutama dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi. Hal ini diejawantahkan dalam definisi “baru” auditor internal sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini.
 
Berbeda dengan peran terdahulunya, auditor internal “baru” difokuskan untuk memberikan nilai tambah, berupa peningkatan kinerja secara umum. Secara khusus, peran ini diejawantahkan dalam bentuk aktivitas konsultansi, serta evaluasi dan penilaian atas manajemen risiko, aktivitas pengendalian intern, tata kelola, serta akurasi informasi. Hal ini mengindikasikan berbagai perubahan dalam cara kerja auditor internal. Sebagai ilustrasi, dalam peran ini, pengendalian lebih ditekankan melalui preventive control, yang antara lain diterjemahkan secara praktis melalui evaluasi atas pelaksanaan manajemen risiko. Hal ini membantu auditee dalam mengantisipasi berbagai risiko yang mungkin mengancam pencapaian tujuan. Salah satu perbedaan yang cukup “radikal” adalah peralihan dari compliance audit, dengan segala karakteristiknya yang cenderung “kaku”, berorientasi pada aturan, fokus pada penyimpangan dari aturan, dsb menjadi aktivitas konsultansi, dengan memosisikan auditor internal dan auditee sebagai mitra yang saling bekerjasama, atau lebih jauh lagi, menjadi pemandu dalam perubahan organisasi (agent of change) yangfokus pada pencapaian tujuan organisasi dalam jangka panjang.
 
Lalu, Di Mana Itjen Kini dan Akan Ke Mana Nantinya?

Dari uraian pada bagian sebelumnya, dapat dilihat dengan jelas di mana peran aparat pengawas intern, yaitu untuk memberikan keyakina memadai (quality assurance) bahwa pengendalian intern telah berjalan. Pengendalian intern itu sendiri pada dasarnya merupakan tanggung jawab manajemen auditee. Sedikit lebih konkrit, peran ini dapat dilaksanakan dengan berbagai bentuk kegiatan yang muaranya adalah dapat meyakinkan bahwa pengendalian intern yang dijalankan oleh manajemen auditee sudah berjalan dengan baik. Dampak lanjutannya tentu adalah kinerja birokrasi yang lebih optimal, baik sebagai regulator, pelayanan publik, dan fungsi-fungsi lainnya. Apabila mengacu pada PP SPIP, pengendalian intern terutama ditujukan untuk 4 (empat) hal, yaitu: pencapaian tujuan, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset, serta ketaatan terhadap peraturan. Kemudian, pengawas intern berperan untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa tujuan-tujuan tersebut telah tercapai.
 
Yang juga perlu dicermati adalah, dari keempat butir tersebut di atas, terlihat bahwa, dengan segala komplikasinya, peran pengawas intern (auditor internal dalam konteks pemerintahan) tidak bisa dilepaskan dari ketiga karakteristik sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya. Sebagai watchdog, yang meskipun bisa dikata agak “kuno”, namun kenyataannya tetaplah dibutuhkan. Pemberian keyakinan yang memadai bahwa aset negara telah dikelola dengan aman, serta ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan, tentu mau tidak mau harus dilaksanakan dengan cara “mengawal” auditee agar senantiasa sesuai dengan kriteria “aset negara yang aman” dan “kesesuaian dengan peraturan”. 
 
Pun begitu, apabila dilihat secara kronologis atau berurutan, terlihat bahwa fungsi tersebut justru berada pada butir ketiga dan keempat. Butir pertama adalah pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan efisien, serta  butir kedua adalah keandalan laporan keuangan. Pada kedua butir ini, peran sebagai katalis dan konsultan tentu lebih dominan. Pengawas intern harus mampu membantu serta mendampingi auditee dalam usaha pencapaian tujuannya. Risiko yang mungkin muncul harus diantisipasi, serta kriteria operasi yang baik juga harus terus dikembangkan. Salah satu langkah penting yang telah dirintis dan seharusnya terus dikembangkan adalah komunikasi dengan jajaran pimpinan serta manajemen dari auditee itu sendiri, terutama terkait dengan tujuan yang hendak dicapai. Penyamaan persepsi atas tujuan tersebut, dapat menjadi pijakan bagi pengawas intern untuk menentukan tindakan apa yang bisa diperbuat dalam rangka membantu mewujudkan tujuan tersebut.
 
Adapun tantangan yang secara nyata dihadapi saat ini oleh Kementerian, tergerusnya citra aparat Kementerian Keuangan karena kasus-kasus yang marak terjadi. Di balik permasalah “citra” tersebut, penting untuk didalami apakah “citra” tersebut melekat dan secara nyata mencerminkan “substansi”, yakni perilaku aparat secara umum, atau “citra” tersebut hanyalah “setitik nila” diantara “sebelangga susu”. Tentu keduanya memiliki konsekuensi yang berbeda dalam merumuskan tindakan penanganannya. Isu lainnya yang juga senantiasa mengemuka misalnya terkait penyerapan anggaran. Bagaimana Itjen mampu memetakan permasalahan terkait “selalu terlambatnya” penyerapan anggaran, baik karena masalah teknis, atau justru bisa jadi karena informasi yang kurang akurat yang diterima publik. Sekali lagi, keduanya memiliki konsekuensi berbeda dalam merumuskan tindakan penanganannya.
 
Selain kedua isu umum di atas, tentunya masih terdapat “bergudang-gudang” (bukan hanya segudang) permasalahan yang menanti solusi yang bisa ditawarkan pengawas intern. Untuk itu, dengan berbagai “wajah” yang dimilikinya, pengawas intern (Itjen) dapat terus memainkan peran-peran tersebut sesuai proporsi dan keperluan. Muaranya adalah, sekali lagi, pencapaian tujuan organisasi (Kementerian Keuangan) yang efektif dan efisien, laporan keuangan yang andal, keamanan aset negara, serta operasional yang taat terhadap peraturan perundang-undangan. 
 
Daftar Referensi

Internal Audit Berbagi Permasalahan Internal Audit

http://internalaudit-karmacon.blogspot.com/2010/02/internal-audit-tangan-kanan-top.html

Selasa, 09 Februari 2010

Internal Audit 'tangan kanan' Top Manajemen

Masalah-masalah di perusahaan
Sangat kita sadari bahwa perubahan berlari begitu cepat. Dalam dunia bisnis, perkembangan teknologi, budaya, gaya hidup, semakin berdampak terhadap persaingan dan risiko yang dihadapi perusahaan semakin luas. Sementara disatu sisi, manajemen perusahaan-perusahaan masih sering dihadapkan pada permasalahan-permasalahan internal yang mengganggu dan menghambat daya saing yang dimilikinya, misalnya terkait dengan masalah SDM, teknis produksi (efisiensi dan produktivitas), strategi (efektivitas), keuangan dan sistem informasi. Sehingga muncul masalah-masalah seperti terjadi fraud yang sulit dideteksi, kendala efisiensi dan produktivitas, pengamanan aset perusahaan yang kurang memadai, laporan-laporan keuangan yang kurang mendukung pengambilan keputusan strategik, atau masalah-malalah lain yang timbul karena lemahnya pengendalian intern.
Lemahnya struktur pengendalian intern memiliki porsi terbesar sebagai akar permasalahan-permasalahan di perusahaan, mulai dari masalah yang bersifat administratif sampai dengan masalah fraud. Hal yang umum terjadi adalah manajemen mengetahui masalah-masalah yang terjadi di dalam perusahaan, namun masalah tersebut masih sering terjadi berulang-ulang dan belum mendapatkan perhatian secara serius. Hal tersebut dapat terjadi antara lain karena:
• Porsi waktu, tenaga dan pikiran manajemen puncak/pemilik (owner) lebih teralokasi/terfokus/terkonsentrasi pada kegiatan yang lebih bersifat strategis (pengembangan perusahaan, perluasan operasi, penetrasi pasar, diferensiasi produk, dll) sehingga kurang perhatian terhadap masalah-masalah yang dianggap kecil/sepele.
Manajemen puncak/owner tidak memiliki 'partner' strategis yang memiliki sudut pandang lebih obyektif dan independent dalam membantu pengambilan keputusan dan mengatasi masalah yang bersifat strategis.
• Perusahaan tidak memiliki tenaga (auditor intern) untuk mengevaluasi struktur pengendalian intern, menangani masalah fraud, evaluasi efisiensi, efektivitas dan produktifitas serta evaluasi pencapaian/realisasi rencana kerja (business plan).
• Perusahaan memiliki divisi/bagian audit/pengawasan intern, namun belum berfungsi dan berperan secara optimal karena keterbatasan sumber daya dan keterbatasan kontribusi terhadap kinerja perusahaan.
• Solusi pemecahan masalah umumnya bersifat curative dan kurang bersifat forward-looking terhadap akar penyebab permasalahan, sehingga berpotensi terjadi pengulangan permasalahan.

Masalah-masalah yang dianggap kecil/sepele namun tidak mendapatkan perhatian serius tanpa disadari akan menjadi suatu pola, kebiasaan yang mempengaruhi budaya kerja, integritas dan etika sebagai faktor pembentuk lingkungan pengendalian. Dampak lain adalah sumber daya perusahaan tidak berfungsi secara optimal karena sebagian sumber daya teralokasi sebagai penyebab dan akibat dari permasalahan-permasalahan tersebut. Masalah tersebut juga mempengaruhi mutu kerja/operasional, pelayanan dan mutu produk, produktivitas dan profitabilitas. Pada akhirnya dampak-dampak tersebut mempengaruhi nilai (value) dan daya saing perusahaan.

'Tangan kanan' manajemen puncak
Manajemen perusahaan tentunya sangat menyadari bahwa persaingan usaha dimulai dari hal-hal yang kecil/detail sampai dengan persaingan efisiensi, kualitas operasional dan produk hingga meluas ke masalah yang menurut perusahaan luput dari perhatian perusahaan-perusahaan pesaingnya. Dalam persaingan usaha ini, seluruh aspek perusahaan tetap menjadi perhatian manajemen puncak (owner). Permasalahan timbul karena manajemen puncak (owner) sebagai penentu arah strategik perusahaan, memiliki keterbatasan untuk mengendalikan seluruh aspek perusahaan. Manajemen puncak memerlukan 'tangan kanan' yang obyektif dan independen terhadap seluruh permasalahan perusahaan.
'Tangan kanan' ini berfungsi untuk memastikan bahwa pengendalian intern perusahaan telah berfungsi sebagaimana mestinya, manajemen risiko telah memadai, seluruh operasional dan strategi perusahaan berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan. 'Tangan kanan' ini melaksan akan kegiatan assurance dan konsultasi yang independen dan obyektif, yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan operasi organisasi. Pada akhirnya, 'tangan kanan' ini sebagai strategic partner yang membantu organisasi untuk mencapai tujuannya, melalui suatu pendekatan yang sistematis dan teratur untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko, pengendalian intern dan proses governance.
Pertanyaannya adalah siapa yang berfungsi sebagai 'tangan kanan' itu. Kita sebut saja fungsi itu dilaksanakan oleh internal audit. Mengapa internal audit sebagai 'tangan kanan'? Karena paradigma internal audit saat ini telah mengalami perubahan. Internal audit yang dulu dianggap sebagai 'watchdog' yang ditakuti karena selalu menemukan kesalahan-kesalahan, saat ini telah berubah menjalankan kegiatan assurance dan konsultasi yang memberikan kontribusi perbaikan (improvement), berorientasi memberikan nilai tambah untuk pencapaian perusahaan.

Ruang lingkup internal audit
Ruang lingkup internal audit antara lain meliputi evaluasi terhadap aktivitas pengendalian, sistem informasi, dan risk assessment, yaitu antara lain:
• Evaluasi terhadap kecukupan struktur organisasi, kebijakan dan prosedur yang menggambarkan sikap manajemen puncak dan direksi dalam membentuk lingkungan pengendalian perusahaan.
• Evaluasi terhadap business plan dan kecukupan perencanaan operasi serta penetapan strategi yang akan dilaksanakan oleh perusahaan.
• Penelaahan Kinerja (Performance Appraisal), melalui evaluasi terhadap pelaksanaan rencana kerja serta strategi yang telah dilaksanakan.
• Evaluasi pengolahan informasi (Information Processing), melalui evaluasi terhadap laporan-laporan intern (keuangan dan non keuangan) untuk mendeteksi adanya kesalahan, penyimpangan, pelanggaran dan fraud serta untuk mengevaluasi reliabilitas laporan tersebut dalam pengambilan keputusan manajemen.
• Evaluasi terhadap pengendalian fisik (Physical Controls), meliputi pengamanan yang memadai, seperti fasilitas yang diamankan, otorisasi terhadap akses informasi dan fasilitas yang diamankan, dokumentasi, perhitungan berkala, dan perbandingan dengan catatan pengendalian.
• Evaluasi terhadap pemisahan fungsi (Segregation of Duties) untuk menilai kecukupan pemisahan fungsi antara otorisasi transaksi, pencatatan transaksi, dan penyimpanan aktiva yang berkaitan.
• Audit kepatuhan (Compliance Audit) terhadap peraturan, ketentuan, kebijakan intern, manual dan standard operating procedures yang ada.
• Aktivitas pemantauan (Continuous Monitoring), yang dilaksanakan melalui pengawasan terhadap tindak lanjut hasil audit, perbaikan dan improvement yang dilaksanakan.

Internal audit outsourcing

Seiring perkembangan paradigma internal audit dan semakin pentingnya peranan internal audit di dalam perusahaan, berkembang pula kecenderungan untuk melaksanakan fungsi internal audit di dalam perusahaan melalui penggunaan jasa pihak eksternal (outsourcing). Hal ini karena selain internal audit outsourcing memiliki tingkat independensi dan obyektifitas yang relatif lebih baik dalam menjalankan fungsi internal audit, internal audit service secara outsourcing juga memberikan beberapa manfaat tambahan terhadap perusahaan antara lain, memiliki kompetensi dan pengalaman dalam 'benchmarking' serta wawasan terhadap management best practices. Tenaga internal audit outsourcing juga memiliki fasilitas dan lingkungan yang memungkinkan untuk selalu meningkatkan kompetensi, skill dan profesionalismenya. Selain itu, dengan cara outsourcing memungkinkan terjadinya transfer of knowledge dari tenaga outsourcing kepada staf-staf preusan dan mengurangi kegiatan administrasi intern serta memberikan suasana baru bagi kegiatan internal audit di dalam perusahaan.
Alasan yang terpenting adalah bahwa dengan cara outsourcing pelaksanaan internal audit di dalam perusahaan akan lebih efisien dan efektif. Biaya akan bersifat variable dan relatif lebih murah serta jasa outsourcing dapat disesuaikan dengan kebutuhan top manajemen. Jenis-jenis jasa internal audit ini antara lain:
a. Full outsourcing – Pelaksanaan seluruh aktivitas internal audit, termasuk risk assessment, evaluasi pengendalian intern, perencanaan audit, pelaksanaan audit, komunikasi dan pelaporan hasil audit.
b. Cosourcing – Pendekatan yang lebih fleksibel dan collaborative dengan tujuan untuk membantu membangun fungsi internal audit yang telah ada diperusahaan/klien melalui konsultasi dan benchmarking.
c. Third party compliance – Kegiatan untuk menilai, menganalisa dan memberikan rekomendasi terhadap suatu proses kegiatan dan mereview laporan keuangan.
d. Loss prevention services – Membantu perusahaan dalam aspek-aspek perlindungan asset (asset protection), termasuk penilaian risiko dan penetapan kebijakan dan prosedur prefentif.
e. Quality assessment service – Membantu manajemen dalam evaluasi pelaksanaan fungsi internal audit perusahaan. Tidak hanya kesesuaian fungsi internal audit dengan Standar Institute of Internal Auditors, namun juga faktor-faktor penting lainnya misalnya selaras dengan risk profile dan sasaran perusahaan.
f. Risk assessment – Didesain untuk menghubungkan keselarasan sumber daya internal audit dengan kebutuhan dan harapan dari manajemen terhadap area berisiko tinggi. Proses ini membantu dalam penyusunan rencana audit dengan mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko bisnis dan pengendalian yang memadai.
g. Other Internal Projects – Proyek-proyek khusus lain misalnya evaluasi internal control, Special audit/ investigasi Fraud, dan proyek lainnya yang terkait dengan risk management.
Namun demikian, tidak sedikit hambatan internal yang perlu diperhatikan oleh top manajemen sehingga mempengaruhi efektivitas pelaksanaan internal audit outsourcing. Kendala rahasia perusahaan, hal-hal yang dianggap rahasia perusahaan diproteksi oleh manajemen sehingga tidak diketahui oleh pihak internal audit outsourcing. Hal ini terjadi karena pihak manajemen tidak sepenuhnya 'percaya' dan berkomitmen bahwa internal audit outsourcing merupakan strategic management partner yang bekerja secara profesional, memiliki kode etik dan integritas. Internal Audit Charter dan tujuan internal audit terkadang tidak sepenuhnya dipahami oleh manajemen dan karyawan perusahaan, sehingga dalam proses audit, pihak internal audit outsourcing menghadapi kendala kerjasama, conflict of interest dan pembatasan pemeriksaan. Misalnya sebagian karyawan menganggap kegiatan internal audit outsourcing bukan merupakan kepentingan perusahaan. Kendala efektivitas internal audit outsourcing lainnya muncul dari hasil audit yang tidak mendapat perhatian dan dukungan tindak lanjut secara serius karena dianggap kurang efektif, tidak sesuai dengan kondisi perusahaan, bahkan merepotkan.
Agar internal audit outsourcing menjadi efektif, maka hambatan-hambatan tersebut perlu dihilangkan. Sehingga pada akhirnya internal audit outsourcing menjadi assurance and consulting center bagi top manajemen dalam mengkaji bussines plan, memantau pelaksanaan strategi, serta efektivitas pengendalian intern dan manajemen risiko.
Informasi lebih lengkap mengenai internal audit services dapat diperoleh melalui www.jtanzilco.com

Tuesday, February 25, 2014

PROBLEMATIK DALAM MENGAPLIKASIKAN STANDAR PERILAKU AUDITOR INTERNAL

Audit internal adalah kegiatan assurance dan konsultasi yang independen dan obyektif, yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan operasi organisasi. Audit Internal membantu operasi organisasi. Audit Internal membantu organisasi untuk mencapai tujuannya, melalui suatu pendekatan yang sistematis dan teratur untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko, pengendalian dan proses governance. Definisi yang dirumuskan Konsorsium Organisasi Profesi Auditor Internal dalam Standar Profesi Auditor Internal (SPAI) ini sudah sangat maju dibandingkan dengan definisi terdahulu terdahulu yang hanya lebih menekankan faktor kepatuhan pada ketentuan dalam pelaksanaan tugas auditor internal.

Banyak tuntutan atau harapan dari masyarakat dan fihak-fihak yang dilayani agar auditor internal ini dapat mengemban tanggung-jawab ini secara efektif. Untuk itu maka sebagai landasan kerja telah disusun Definisi, Kode Etik dan Standar yang merupakan pedoman utama serta penting bagi pelaksanaan praktik audit yang profesional dan sifatnya wajib untuk dipatuhi. Definisi audit internal yang terdapat dalam penerbitan ini sepenuhnya mengikuti difinisi yang dikembangkan oleh The Institute of Internal Auditors Inc (IIA). Kode Etik dan Standar merupakan adaptasi dari the code of ethics dan the Standars IIA, yang disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan di Indonesia. Standar Profesi Audit Internal telah melalui serangkaian proses review oleh tim yang mewakili Konsorsium Organisasi Profesi Audit Internal.

Dalam tulisan ini penulis akan membahas standar perilaku auditor internal mengingat dalam pengalaman praktik masalah ini sangatlah menentukan bagi keberhasilan tugasnya.
Kode etik ini memuat standar perilaku sebagai pedoman bagi seluruh auditor internal. Standar perilaku tersebut membentuk prinsip-prinsip dasar dalam menjalankan praktik audit internal. Para auditor internal wajib menjalankan tanggungjawab profesinya dengan bijaksana, penuh martabat dan kehormatan. Dalam menerapkan Kode Etik ini, auditor internal harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelanggaran terhadap standar perilaku yang ditetapkan dalam kode etik ini dapat mengakibatkan dicabutnya keanggotaan auditor internal dari organisasi profesinya.

Dalam standar tersebut disebutkan bahwa ada 10 butir yang harus dipatuhi para internal auditor yakni;
1. Auditor harus menunjukkan kejujuran, objektivitas dan kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan memenuhi tanggungjawab profesinya
2. Auditor internal harus menunjukkan loyalitas terhadap organisasinya atau terhadap pihak yang dilayani. Namun demikian, auditor internal tidak boleh secara sadar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menyimpang atau melanggar hukum
3. Auditor internal tidak boleh secara sadar terlibat dalam tindakan atau kegiatan yang dapat mendiskreditkan profesi audit internal atau mendiskreditkan organisasinya
4. Auditor internal harus menahan diri dari kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan konflik dengan kepentingan organisasinya, atau kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan prasangka yang meragukan kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas dan memenuhi tanggungjawab profesinya secara objective
5. Auditor internal tidak boleh menerima sesuatu dalam bentuk apapun dari karyawan, klien, pelanggan, pemasok, ataupun mitra bisnis organisasinya yang dapat atau patut diduga dapat mempengaruhi pertimbangan profesionalnya.
6. Auditor internal hanya melakukan jasa-jasa yang dapat diselesaikan dengan menggunakan kompetensi profesional yang dimilikinya
7. Auditor internal harus mengusahakan berbagai upaya agar senantiasa memenuhi Standar Profesi Audit internal
8. Auditor internal harus bersikap hari-hati dan bijaksana dalam menggunakan informasi yang diperolehnya dalam pelaksanaan tugasnya. Auditor Internal tidak boleh menggunakan informasi rahasia untuk dapat mendapatkan keuntungan pribadi, secara melanggar hukum atau yang dapat menimbulkan kerugian terhadap organisasinya
9. Dalam melaporkan hasil pekerjaannya, auditor internal harus mengungkapkan semua fakta-fakta penting yang diketahuinya yaitu fakta-fakta yang jika tidak diungkap dapat mendistorsi laporan atas kegiatan yang di review atau menutupi adanya praktik yang melanggar hukum
10. Auditor internal harus senantiasa meningkatkan serta efektivitas dan kualitas pelaksanaan tugasnya. Auditor internal wajib mengikuti pendidikan profesional berkelanjutan.

Permasalahan
Sekarang marilah kita telaah permasalahan yang sering muncul dalam kegiatan internal audit tersebut berkaitan dengan standar tersebut.
Pertama. Konsorsium menyadari bahwa organisasi-organisasi profesi yang tergabung dalam konsorsium tidak memiliki mekanisme formal yang dapat digunakan untuk mewajibkan penerapan standar ini secara lebih luas. Oleh karenanya, konsorsium hanya bisa menghimbau agar lembaga otoritas yang terkait dapat memberikan persetujuan (endorsement) atau rujukan terhadap standar ini. Lembaga otoritas yang dapat mendorong penerapan standar ini, antara lain BPK , BI, Menkeu, Menteri BUMN, BPKP dan Bapepam. Yang sudah secara tegas lebih dahulu membuat standar untuk para internal audit hanyalah Bank Indonesia untuk perbankan dengan memberlakukan SPFAIB (Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank) sejak 1996, sedangkan instansi lain belum setegas Bank Indonesia.
Kedua. Banyak dikalangan para auditor internal yang kurang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dan efektif dengan auditee-nya. Padahal pengetahuan yang dituntut dalam pelaksanaan tugas audit internal disamping pengetahuan tentang operasi perusahaan dan pengetahuan auditnya, adalah mutlak seorang auditor internal harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan auditeenya. Hubungan keduanya bukanlah seperti hubungan antara jaksa dan pesakitan, namun keduanya melakukan hubungan kerja biasa yang tujuannya sesuai Standar Audit Intern untuk menciptakan perusahaan sehat dan berkembang. Adapun terjadi perbedaan sudut pandang antara auditor dan auditee adalah wajar saja, akan tapi hakikatnya tujuannya adalah sama untuk kepentingan perusahaan.
Ketiga. Masih saja ada kecenderungan, orang-orang yang tidak disukai bisa dimasukan untuk ditempatkan ke Departemen Audit Internal . Ini bisa menyebabkan degradasi terhadap loyalitas, kejujuran, objektivitas dan kesungguhan dalam melaksanakan tugas dalam memenuhi tanggungjawab profesinya.
Keempat. Bisa terjadi Auditor Internal tidak loyal, menyampaikan juga informasi temuan audit kepada perusahaan pesaing, orang yang tidak berhak atau instansi lain baik disengaja atau tidak disengaja seperti karena obrolan lepas yang berlebihan. Misalnya, perusahaan yang bersangkutan adalah perbankan. Justru Sang Internal Auditor ikut dalam kegiatan kelompok masyarakat yang sangat kritis mengomentari buruknya pelayanan bank yang bersangkutan dengan juga memanfaatkan data dari kegiatan auditnya.
Kelima. Dalam penempatan atau mutasi pejabat, biasa terjadi mutasi dari pejabat operasional dipindahkan menjadi Auditor Intern. Hal tersebut memungkinkan sang Auditor Internal yang bersangkutan memeriksa tempat dia bekerja semula. Hal ini bisa mengakibatkan tidak obyektifnya pelaksanaan audit tersebut.
Keenam. Penugasan Auditor Intern bisa terjadi auditeenya adalah pejabat yang mempunyai hubungan darah dengannya. Hal ini juga bisa menimbulkan conflict of interest dalam pelaksanaan tugas auditor tersebut.
Ketujuh Ada kebiasaan untuk memberi oleh-oleh kepada tamu yang datang, juga terhadap para auditor internal yang melakukan tugasnya. Masalah seperti ini sudah merupakan suatu kebiasaan di masyarakat kita dalam menghormati tamunya, namun dalam kegiatan audit internal maka masalah menjadi lain, karena bisa mengganggu obyektifitas pekerjaan, bahkan melanggar undang-undang tentang korupsi.
Kedelapan. Auditor intern melakukan tugas yang seharusnya bukan tugasnya, seperti pembuatan buku pedoman, membukukan transaksi, melakukan koreksi pembukuan, memecat pegawai dsb.
Adanya tugas seperti ini mungkin terjadi karena ketidakpahaman. Misalnya dalam mengemukakan pendapat dalam suatu meeting mengenai penyusunan sisdur atau pedoman kerja, bisa saja sang auditor nampak begitu piawai karena dia banyak melihat perbandingan pelaksanaan kerja para auditeenya. Pada akhirnya dia dianggap paling tahu dan dimintalah supaya auditor menjadi penyusun buku pedoman.
Dalam hal membukukan transaksi atau selisih pembukuan mungkin terjadi hal yang demikian pula. Pada saat dilakukan audit, sang auditor internal sudah menemukan berbagai kesalahan pembukuan yang ujung-ujungnya harus dikoreksi. Karena ingin cepat dan praktis, maka koreksinya dilakukan sendiri oleh sang auditor.
Demikian juga dalam soal pemecatan atau sanksi terhadap karyawan. Audit investigasi yang dilakukan auditor internal, dalam laporan akhirnya bisa terjadi dengan memasukan usulan sanksi kepada direksi terhadap pihak yang tertuduh. Bisa juga terjadi sang direksi menyetujui usul auditor internal ini. Mekanisme seperti ini sangat berbahaya. Karena dikhawatirkan usulan sanksi auditor belum membahas semua aspek, seperti aspek hukum ketenagakerjaan, hukum pidana dsb. Karenanya hal yang paling bijak usulan sanksi dibuat dan diusulkan kepada direksi oleh satu team/komite dengan berbagai bidang disiplin setelah mempelajari laporan audit investigasi dari auditor intern.
Kesembilan. Penempatan Organisasi Audit Intern ada yang masih belum menjamin independensi kegiatannya. Seperti diketahui, makin tinggi peletakan organisasi audit internal tersebut maka akan makin independen.
Kesepuluh. Beberapa unit kerja ,terutama di Kantor Pusat, tidak diaudit dengan berbagai alasan; sungkan, karena merasa sang auditor internal merasa selevel atau mungkin lebih rendah dengan pejabat pada unit kerja auditee ybs, atau Sang Auditor sebenarnya merasa belum mampu memeriksa unit kerja tsb.
Kesebelas. Bisa terjadi hal seperti issue dan rumors atas suatu kasus di suatu kantor yang menjadi “rahasia umum” justru sumbernya dari para auditor intern, karena merekalah yang sebenarnya banyak tahu tentang berbagai hal di perusahaan.
Keduabelas. Laporan audit sengaja dibuat tidak lengkap karena ada tujuan tertentu, atau dalam membuat ringkasan eksekutif tidak mencakup inti persoalannya, karena ketidak mampuan pelapor atau kesengajaan.
Ketigabelas. Auditor Internal kurang mengikuti pendidikan berkelanjutan karena berbagai alasan misalnya; Sibuk, banyak yg harus diperiksa, jadwal audit terlalu padat, uang perjalanan dinas dalam melakukan audit lebih menarik dari pada pelaksanan tugas audit, budget untuk pelatihan auditor terbatas atau memang auditor segan mengikuti training. Padahal keahlian yang tinggi dari kegiatan audit internal ini sangat dituntut. Auditor internal harus memiliki pengetahuan , keterampilan dan kompetensi lainnya yang dibutuhkan untuk melaksanakan tanggung jawab perorangan. Fungsi audit internal secara kolektif harus memiliki atau memperoleh pengetahuan, keterampilan dan kompetensi lainnya yang dibutuhkan untuk melaksanakan tanggung jawabnya.
Penanggungjawab Fungsi Audit Internal harus memperoleh saran dan asistensi dari pihak yang kompeten jika pengetahuan, keterampilan dan kompetensi dari staf auditor internal tidak memadai untuk pelaksanaan sebagian atau seluruh penugasannya.
Auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji adanya indikasi kecurangan.
Fungsi Audit Internal secara kolektif harus memiliki pengetahuan tentang risiko dan pengendalian yang penting dalam bidang teknologi informasi dan teknik-teknik audit berbasis teknologi informasi yang tersedia.

Penutup
Berbagai permasalahan yang muncul dalam kegiatan internal audit tersebut berkaitan dengan standar tersebut merupakan hal yang harus diatasi oleh semua pihak didalam perusahaan bila kita ingin membangun Auditor Internal yang tangguh serta mendorong pula lahirnya perusahaan Indonesia yang disegani dimasa depan dengan melaksanakan good corporate governance yang baik.

 Tjukria P. Tawaf. Managing Director Prima Consulting Group. Fokus pada studi dan pengembangan Audit Internal , Program Quality Assurance Fungsi Audit Internal
Disampaikan oleh ; Tjukria P. Tawaf, Pada Workshop "Maslah-Masalah Hukum Yang Harus Dipahami Oleh Internal Auditor" di Hotel Millenium Jakarta pada tanggal 3 Mei 2007.

Aspek Hubungan Antar Manusia Dalam Kegiatan Audit Intern Bank

Beberapa prinsip umum dari aspek hubungan antar manusia berlaku bagi setiap kejadian di mana dua atau lebih orang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Hal ini terjadi juga dalam kegiatan audit intern, antara auditor dan auditee.
Beberapa prinsip tersebut yang kiranya berlaku dan berpengaruh dalam kegiatan audit intern.

Apabila kita perhatikan, kegiatan itu menempatkan orang-orang yang saling berhubungan dalam posisi tertentu dan khusus. Bila kedua pihak tak mampu membangun hubungannya secara baik, maka pintu konflik yang berkepanjangan dan berakibat destruktif bagi organisasi makin terbuka.
Karenanya kita perlu menempatkan masalah ini pada proporsi yang benar, sehingga misi kerja dari para auditor dan auditeenya dapat tercapai serta memberi kontribusi positif bagi organisasi.

Posisi semacam itulah yang menuntut adanya perhatian dan kondisi tertentu dari aspek hubungan antar manusia. Perlu dicatat bahwa pokok-pokok dalam tulisan ini tidak mutlak, tetapi memerlukan adanya modifikasi dalam penerapannya.
Secara garis besar tentunya hal-hal ini dapat dipakai sebagai kerangka dalam melaksanakan tugas.

Menurut Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPFAIB) organisasi bank dalam kaitan adanya Satuan Kerja Audit Intern Bank adalah sebagai berikut :
Audit Intern merupakan fungsi staf. Dengan kata lain dia tidak melakukan fungsi eksekutif dalam kegiatannya. Tugas dan ruang lingkupnya adalah :

* Menilai (appraisal)
* Analisis, dan
* Membuat laporan atas hasil kegiatan tersebut

Pusat kegiatan yang dikerjakannya lebih berorientasi pada kebijakan dan metode kegiatan operasional yang berlaku.

Struktur organisasinya mencerminkan hubungan komunikasi pengawasan yang luas antara auditor intern bank dengan Dewan Komisaris dan juga Direktur Kepatuhan (Compliance Director). Seperti diketahui sesuai dengan PBI No. 1/6/PBI/99 tanggal 20 September 1999, Dalam jajaran direksi diwajibkan adanya Direktur Kepatuhan. Yang mempunyai komunikasi dengan auditor intern. Direktur Kepatuhan ini tugas utamanya adalah memastikan bahwa bank telah melaksanakan segenap peraturan yang berlaku, terutama tentunya melaksanakan prinsip kehati-hatian.

Tugas tersebut diharapkan memberikan hasil dalam bentuk perbaikan dari apa yang sudah ada.
Pengolahan hasil penelitiannya lebih berorientasi pada akibat di masa yang akan datang atas setiap macam keputusan yang diambil pimpinannya (top management).

Dengan demikian masalah peningkatan efesiensi yang mengarah pada perbaikan produktivitas kegiatan atau penerapan suatu sistem harus merupakan pusat perhatiannya.

Untuk mencapai hasil tersebut digunakan suatu prosedur sesuai Internal Audit Charter, Panduan Audit Intern Bank, yang diharapkan secara konsepsual dapat memberi hasil sebagaimana mestinya. Dalam melaksanakan prosedur audit inilah, hubungan antar manusia mempunyai peranan dan pengaruhnya.

HUBUNGAN ANTARA INTERNAL AUDITOR DENGAN AUDITEE-NYA.

Perlu kita fahami bahwa hubungan yang terjadi antara internal auditor dengan auditee-nya adalah hubungan kerja biasa. Jadi tak perlu didramatisir seperti hubungan antara jaksa dengan terdakwa. Hubungannya seperti hubungan kerja antara satu bagian dengan bagian lainnya di bank.
Hubungan ini mempunyai tujuan seperti apa yang diinginkan dalam SPFAIB adalah menciptakan bank yang sehat dan berkembang secara wajar. Walaupun dari pihak auditee terdapat perbedaan sudut pandang tapi pada hakekatnya tujuannya adalah sama.

Karena posisi Internal Auditor (SKAI) adalah Staf dari Pimpinan Puncak (Dirut). Ia tentunya diharapkan memiliki pengetahuan dalam bidang :

• Teknis operasional bank.
• Teknis operasional bank auditing (SPFAIB)
• Hubungan antar manusia yang efektif.

Keberhasilan tugasnya secara konsepsional merupakan penjabaran dari apa yang dimilikinya itu.
Dengan demikian keberhasilan pelaksanaan tugasnya akan sangat dipengaruhi oleh :

1. Kemampuan mengolah masukan yang diperolehnya menjadi satu keluaran yang bermakna

2. Cara/metode/prosedur yang digunakan dalam pelaksanaan tugasnya.

3. Proses interaksi kerjasama yang terjadi antara dirinya dengan kelompok.

Jika diperhatikan faktor ke 3 itu, maka hubungan yang terjadi memang menjadi ikut berperan. Apalagi kalau diperhatikan bahwa selalu ada kesan bahwa kegiatan audit seringkali disalah artikan sebagai kegiatan untuk mencari kesalahan.

Hal tersebut harus selalu dicoba untuk disingkirkan dan diganti dengan pengertian yang lebih positif. Ini hanya bisa dibina jika terdapat kerjasama yang efektif antara kedua pihak atau dapat dihindarkan timbulnya konflik yang merugikan.

Dengan demikian pembinaan hubungan antar auditor dengan auditee harus didasarkan pada sasaran kepentingan bersama dalam posisi mereka sebagai anggota organisasi. Perbedaan yang ada secara fungsional tidak boleh dijadikan titik tolak mempertentangkan posisi dalam kegiatan mencapai sasaran tersebut. Hal ini dalam pelaksanaannya memang sulit, karena pemahaman dari para pihak baik auditor maupun auditee yang sering kali punya persepsi yang berbeda.

Tugas fungsional sedapat mungkin diusahakan hanya untuk mencari dan menyediakan informasi secara obyektif. Khusus bagi Auditor, maka pengolahan dan penilaian hasil harus didasarkan pada standar dan penilaian yang profesional sifatnya dan hal ini tentunya telah diatur dalam pedoman kerja para auditor intern.

Singkatnya hubungan antara Auditor dengan Auditee-nya harus dikembangkan dalam bentuk hubungan kerja. Pendekatan yang digunakan berorientasi pada pemecahan masalah dan pengambilan keputusan atas berbagai alternatif dengan orentasi peningkatan/perbaikan bagi organisasi bank secara menyeluruh.

Menempatkan hal-hal tersebut dalam bentuk konsep seperti yang diuraikan diatas bukanlah perkara mudah. Perlu kematangan kedua pihak buat memahami posisinya masing-masing dalam bentuk yang lebih konkrit.

APA YANG DIPERANKAN DALAM TUGASNYA.

Tugas pokok sebagai internal auditor harus dilaksanakan secara profesional, menurut standar dan prosedur yang telah ditetapkan. Tetapi hal tersebut memerlukan proses interaksi dalam pelaksanaanya. Ada beberapa peran yang dapat dibawakan oleh para internal auditor :

a. Peran sebagai “Problem Solver”

Temuan Audit pada hakekatnya adalah problem. Internal Auditor harus mampu menggunakan metode problem solving yang rasional sifatnya.
Rangkaian proses berfikir analisis yang standar perlu dikuasai secara mantap. Hal ini juga sangat membantunya untuk cepat dalam mengambil kesimpulan/keputusan. Informasi yang dikemukakan harus obyektif dan benar-benar merupakan fakta. Pengembangan berbagai alternatif perbaikan harus mampu pula dihasilkannya dan dapat diterapkan sesuai dengan kondisinya.
Dalam kaitan ini maka sang auditor perlu memahami akar permasalahan, serta mampu menganalisisnya, sehingga solusi yang direkomadasikan menjadi valid. Disini auditor perlu memahami bagaimana bobot temuan yang menjadi problem tersebut. Bagaimana intensitasnya. Dia perlu menilai siklusnya, akibatnya, ramalan-ramalan kejadian sebagai akibat yang akan terjadi dari temuan tersebut.
Jika hal tersebut dilaksanakannya dengan baik, maka pemecahan “konflik”, yang tidak mungkin dihindarkan akan dapat diselesaikan secara rasional dan memuaskan bagi semua pihak.

b. Peran sebagai “Conflict Resolution”

Temuan audit yang ada dari pelaksanaan audit bisa menjurus pada timbulnya konflik bila seorang auditor kurang mampu untuk menyelesaikannya dengan auditee.
Konflik itu sendiri adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. (Christ Mitchell, Thr Structur Of International Conflict, Macmillan. London,1981, Bab 1)
Dalam kaitan ini maka masalah penyelarasan agar menjadi sejalan antara auditor dan auditee dalam mencapai visi bank menjadi fokus utama. Penyelarasan ini berpijak pada visi keinginan semua pihak di bank untuk melahirkan bank yang sehat dan berkembang wajar adalah yang paling pokok.

Dalam praktiknya konflik ini bisa dilalui dengan jalan :

• Menghindari
• Membekukan
• Dikonfrontasikan

Menghindari konflik, Auditor semacam ini cenderung menekan reaksi emosional dengan mencari cara lain yang lebih enak atau bahkan mungkin dia minta pindah atau keluar dari pekerjaan sebagai internal auditor. Hal ini dimungkinkan pula bila si Auditor kurang punya kemampuan untuk bernegosiasi secara efektif. Meskipun strategi menghindari bisa mengatasi persoalan, namun sifatnya sementara saja. Karena pada kesempatan lain persoalan itu dapat timbul dan si auditor tetap tidak dapat mengatasinya.

Membekukan konflik, ini adalah suatu taktik untuk menangguhkan tindakan. Strategi ini bisa digunakan Auditor untuk mendinginkan situasi untuk sementara, sehingga usaha untuk konfrontasi tetap tidak mungkin.

Konfrontasi konflik, artinya atas problem atau temuan ini langsung dikonfrontasikan dengan auditee. Konfrontasi bisa dilakukan dengan dengan dua jalan :
Dengan memakai kekerasan, misalnya dipaksa dengan power dari Diektur Utama maka auditee harus melaksanakan rekomendasi audit. Strategi ini dapat efektif, tapi auditee dapat merasa kalah. Bila merasa kalah maka bisa timbul kebencian, kekhawatiran, bahkan menjurus pada kerugian.
Dengan memakai strategi negosiasi, Strategi ini kedua pihak bisa menang.
Masing-masing langkah akan mengundang masalahnya sendiri.
Strategi “Win-Win” harus dipakai sebagai dasar dalam kerangka pemecahan. Setiap kegiatan dan keputusan yang diambil, dilakukan berdasar motif yang konstruktif sifatnya. Teknik-teknik seperti kemampuan memahami orang lain, komunikasi dan juga negosiasi perlu dimiliki.

Untuk itu maka, seorang Auditor perlu memiliki keterampilan bernegosiasi.
Menentukan hakekat konflik : Untuk itu maka kita perlu bisa menentukan hakikat konflik dengan mendiagonosa konflik melalui negosiasi. Apakah konflik itu terjadi bersifat ideologis (nilai-nilai) atau konflik sungguh-sungguh (tangible) atau mungkin kombinasi dari keduanya.
Konflik yang mencakup nilai-nilai sulit untuk dinegosiasikan, karenanya perlu toleransi. Tetapi bila konflik menyangkut hal-hal yang jelas nerpengaruh nyata terhadap bank, terhadap auditor dan auditee maka unsur konflik itu harus diatasi.

Efektivitas dalam memulai konfrontasi. Supaya efektif, maka dalam melakukan konfrontasi atas konflik tidak dilakukan dengan menyerang atau menyalahkan auditee atau pihak lain. Suatu reaksi defensif pada salah satu pihak biasanya sangat menghambat penyelesaian perbedaan-perbedaan. Cara yang paling efektif memulai konfrontasiadalah menyatakan akibat yang nyata dari konflik tersebut.

Kemampuan untuk mendengarkan pandangan orang lain (auditee). Setelah konfrontasi dibuka, Auditor harus mampu mendengar pendapat atau pandangan auditee. Pertanyaan-pertanyaan yang menggugah timbulnya argumentasi-argumentasi harus dihindarkan. Auditor harus berusaha untuk tidak mempertahankan diri, menuntut atau bahkan mengecam.

Kemampuan menggunakan proses pemecahan persoalan untuk mencapai konsesus. Ini berarti Auditor harus mampu :
Menjelaskan persoalan, menelorkan dan menilai sejumlah cara-cara pemecahan.
Menentukan bersama (tidak dengan voting) pemecahan paling baik; harus memilih pemecahan yang paling diterima oleh auditee dan auditor.
Merencanakan implementasi pemecahan masalah.
Menilai hasil pemecahan setelah dilaksanakan untuk beberapa waktu; tahap ini sangat penting karena kemungkinan besar pemecahan yang pertama adalah tidak sempurna.

Dengan demikian strategi negosiasi dalam kegiatan internal audit, paling tepat untuk mengatasi konflik. Hal ini menuntut keterampilan sangat tinggi.Hanya dengan ini kita dapat memanfaatkan konflik untuk sesuatu yang sifatnya konstruktif.


c. Peran “interviewer”

Komunikasi yang akan dilakukan oleh Auditor, sering kali dalam bentuk wawancara. Tujuannya adalah mencari fakta dan bukan opini. Karena itu internal auditor harus faham mengenai ;
• Konteks dari wawancara yang dilakukan
• Isi dari bahan yang ingin dicarinya
Pola interogasi harus dihindarkan. Hal ini mungkin terjadi jika keterampilan wawancara kurang dikuasai dan pewawancara kurang mampu menggali persoalan dengan memotivasi auditee.
Wawancara sebaiknya dimulai dengan menentukan posisi kepercayaan (trust), baru kemudian diikuti dengan penetapan berbagai aspek yang diperlukan dalam wawancara (positioning) dan dilanjutkan dengan mengembangkan wawancara sendiri.

d. Peran “Negosiator” dan “Komunikator”

Kedua peran ini juga dijumpai pada saat melakukan auditing. Mungkin peran komunikator akan lebih menonjol dibanding dengan negosiator.
Dalam peran negosiator, seseorang dituntut untuk terus menerus mampu menjual “posisi auditor”, program sang auditor ataupun ide-ide -nya. Karena itu kriteria dan materi yang harus disampaikan haruslah masuk akal.
Sebaiknya jangan memandang remeh orang lain, karena keberhasilan seorang negosiator adalah jika ia berhasil menciptakan kondisi dimana semua fihak dapat terpenuhi keinginannya.

Tetaplah berpegang pada sasaran dan sebaiknya diusahakan hubungan tidak tegang. Lebih baik diciptakan situasi agak longgar, tetapi nantinya tidak menyesal.
Usahakan mendapat hasil yang positif dalam setiap proses, walaupun mungkin belum tentu dapat mencapai apa yang diharapkan.

Dalam peran komunikator, posisi auditor agak berbeda. Ingatlah bahwa sebagian besar konflik dan ketidak setujuan itu datangnya karena saling kurang fahamnya fihak-fihak yang berkepentingan. Komunikasi bukan barang baru bagi kita. Tetapi mendapatkan yang efektif bukanlah hal yang mudah.

Selama kumunikasi berlangsung fahamilah lawan bicara. Tetapkan strategi atas reaksinya. Jangan cepat-cepat sampai pada kesimpulan. Berpikirlah positif dan sikap yang terkendali merupakan sarana pentingyang harus kita jaga. Kuasailah bahan yang dibicarakan dan berdasarkan pada fakta atas informasi nyata.


Berbagai peran tersebut perlu difahami karena bisa jadi dalam berhadapan dengan berbagai anggota manajemen, diperlukan langkah-langkah khusus. Perlu dicatat bahwa keberhasilan dari hubungan antar manusia ini juga ditentukan oleh peran kepribadian sang auditor sendiri.
Sifat keterbukaan, tepat waktu, tidak menjatuhkan orang dimuka umum, bertanya secara bijak dengan wawasan yang luas dan lain-lainnya juga sangan menentukan pengembangan hubungan yang ada.

Perlu dicatat juga pada akhirnya, walaupun auditor sudah berbuat sebaik mungkin dengan melaksanakan hal-hal yang disarankan atau auditor memang sudah memiliki sendiri hal-hal tersebut, namun perlu juga diingat :


• Auditor perlu mendengarkan orang lain, karena wawancara adalah seni mendengarkan orang lain. Jika itu dilakukan, jelas tidak mungkin dapat tahu apa kata akhir yang telah diucapkan oleh lawan bicara.
• Telitilah kembali hal-hal yang sudah diperoleh dan konfirmasikan oleh lawan bicara kita.


PENUTUP

Komunikasi yang efektif antara auditor dan auditee merupakan suatu hal yang harus dibina oleh auditor dan dipahami oleh auditee. Kontribusi kedua pihak untuk menjadikan pekerjaannya bermanfaat bagi organisasi adalah merupakan titik awal bermulanya sukses bagi semua pihak. Segala kendala yang terjadi bisa ditekan sedemikian rupa bila pemahaman bersama telah terbentuk. Ini memang perjalanan yang perlu ditempuh para anggota organisasi dalam mencapai kedewasaan.