Monday, November 17, 2014

Bukan Watchdog, Konsultan, Juga Bukan Katalis! Tapi Pengawas Intern

http://www.itjen.kemenkeu.go.id/page/detil.aspx?id=81

Bukan Watchdog, Konsultan, Juga Bukan Katalis! Tapi Pengawas Intern

Rabu, 10 Agustus 2011
 
Penulis : Alexander Zulkarnain (Auditor Madya Inspektorat VII)
 
“Pertarungan ideologi” antara peran auditor internal sebagai watchdog dan konsultan mungkin bukan hal yang baru. Meskipun sejatinya keduanya sama dalam memainkan peran auditor internal, namun nampak adanya kesenjangan yang cukup tajam antara keduanya. Namun, sebelum berpolemik lebih jauh, ada baiknya pembahasan dikembalikan kepada “dalil” yang ada.
 
Definisi dan Pengertian

The Institute of Internal Auditor (IIA, 2001) mendefinisikan internal auditing sebagai “aktivitas independen dalam menetapkan tujuan dan merancang aktivitas konsultasi (consulting activity) yang bernilai tambah (value added) dan meningkatkan operasi perusahaan.” Ditambahkan pula bahwa internal auditing membantu organisasi dalam mencapai tujuan dengan cara pendekatan yang terarah dan sistematis untuk menilai dan mengevaluasi efektivitas manajemen resiko (risk management) melalui pengendalian (control) dan proses tata kelola yang baik (governance processes).
 
Adapun dedengkot-nya internal auditing, Sawyer (2005), mendefinisikan internal auditing sebagai “sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan auditor internal terhadap operasi dan kontrol yang berbeda-beda dalam organisasi untuk menentukan apakah: (1) informasi keuangan dan operasi telah akurat dan dapat diandalkan; (2) risiko yang dihadapi perusahaan telah diidentifikasi dan diminimalisasi; (3) peraturan eksternal serta kebijakan dan prosedur internal yang bisa diterima telah diikuti; (4) kriteria operasi yang memuaskan telah dipenuhi; (5) sumber daya telah digunakan secara efisien dan ekonomis; dan (6) tujuan organisasi telah dicapai secara efektif.”
 
Dari kedua uraian di atas, kiranya dapat ditangkap dengan cukup jelas mengenai bagaimana internal auditing (sebagai sebuah proses) yang ideal dan seharusnya dilaksanakan oleh auditor internal (sebagai subyek). Beberapa poin penting yang patut disimak yaitu: adanya aktivitas konsultansi yang bertujuan memberikan nilai tambah bagi organisasi; serta pelaksanaan evaluasi (dan/atau penilaian) terhadap proses-proses berupa manajemen risiko, pengendalian, tata kelola yang baik (kepatuhan, efektivitas, efisiensi dan ekonomis dalam aktivitas operasi) dan akurasi data dan informasi (terutama keuangan).
 
Dalam konteks internal auditing di kalangan pemerintahan di Indonesia, kiranya belumlah lengkap apabila tidak menggunakan kerangka PP 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dalam menganalisis permasalahan ini. Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “Pengendalian internal merupakan sebuah sistem yang bertujuan untuk memberikan keyakinan memadai atas: (1) tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien; (2) keandalan pelaporan keuangan; (3) pengamanan aset negara; dan (4) ketaatan peraturan perundang-undangan.”
 
Selanjutnya, dalam pasal 1 angka 3 disebutkan juga bahwa “Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.” Untuk itu, aparat pengawas internal dibentuk dalam rangka memperkuat dan menunjang efektivitas pengendalian intern (pasal 47 ayat (2)).
 
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aparat pengawas intern (auditor internal pemerintah) memiliki fungsi dan tujuan untuk memperkuat efektivitas sistem pengendalian internal pemerintah. Lebih lanjut, sistem pengendalian internal pemerintah itu sendiri bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai atas efektivitas dan efisiensi operasi, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset, serta ketaatan terhadap peraturan. Poin penting dari pemahaman ini adalah, pengawas intern (dalam kerangka PP SPIP) secara khusus diharapkan mampu memberikan keyakinan yang memadai untuk tercapainya pelaksanaan kegiatan yang memenuhi aspek efektivitas dan efisiensi, yang pada akhirnya mampu mendorong tata kepemerintahan yang baik. Adapun secara umum, pengawas intern diharapkan mampu menjadi katalis dalam pencapaian tujuan sistem pengendalian itu sendiri.
 
Dulu Watchdog, Lalu Konsultan, Kini Katalis?

Dalam menjalankan peran dan fungsinya, auditor internal pada awalnya berperan selayaknya watchdog. Sebagaimana terminologinya, peran yang dijalankan oleh auditor internal selaku watchdog meliputi aktivitas inspeksi, observasi, perhitungan, cek & ricek yang bertujuan untuk memastikan ketaatan / kepatuhan terhadap ketentuan, peraturan atau kebijakan yang telah ditetapkan. Audit yang dilakukan adalah compliance audit dan apabila terdapat penyimpangan dapat dilakukan koreksi terhadap sistem pengendalian manajemen. Peran watchdog biasanya menghasilkan saran / rekomendasi yang mempunyai impact jangka pendek, misalnya perbaikan sistem & prosedur atau internal control (Ongkowijoyo, 2009; Simbolon, 2010). Dari segi pendekatan pengendalian, dalam perannya selaku watchdog, auditor internal menekankan pada pengendalian detektif (detective control), yaitu mengidentifikasi masalah yang sudah terjadi, lalu mencoba memberikan saran untuk mengatasinya.  Selain itu, dalam perspektif ini, auditor internal berfokus pada kelemahan dan penyimpangan yang ada dengan mengacu pada kebijakan dan policy. Ketidak sesuaian dengan policy pada umumnya dipersepsikan sebagai “masalah”.
 
Karakter ini juga melekat dalam pelaksanaan peran pengawas intern di lingkungan pemerintah selaku auditor internal, termasuk di lingkungan Itjen Kemenkeu. Beranjak dari karakter ini, aspek yang umum menjadi “indikator kinerja” dalam pelaksanaan tugas aparat adalah nilai dan jumlah temuan. Dalam banyak situasi, karakter dan peran seperti ini nampaknya masih dibutuhkan dalam pelaksanaan peran pengawas intern di lingkungan pemerintahan. Hal ini ditandai dengan masih relatif tingginya penyimpangan birokrasi. Salah satu indikator atas hal ini misalnya adalah indeks persepsi korupsi Indonesia yang masih di bawah angka 3.
 
Seiring perjalanan waktu, perubahan dan peningkatan tingkat kerumitan proses bisnis, ditambah lagi dengan persaingan dan perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi), auditor internal dipandang tidak cukup sekedar menjalankan peran sebagai watchdog. Auditor internal tidak lagi cukup menilai kepatuhan, fokus pada penyimpangan dan berorientasi pada audit. Auditor internal diharapkan dapat berperan lebih luas lagi, terutama dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi. Hal ini diejawantahkan dalam definisi “baru” auditor internal sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini.
 
Berbeda dengan peran terdahulunya, auditor internal “baru” difokuskan untuk memberikan nilai tambah, berupa peningkatan kinerja secara umum. Secara khusus, peran ini diejawantahkan dalam bentuk aktivitas konsultansi, serta evaluasi dan penilaian atas manajemen risiko, aktivitas pengendalian intern, tata kelola, serta akurasi informasi. Hal ini mengindikasikan berbagai perubahan dalam cara kerja auditor internal. Sebagai ilustrasi, dalam peran ini, pengendalian lebih ditekankan melalui preventive control, yang antara lain diterjemahkan secara praktis melalui evaluasi atas pelaksanaan manajemen risiko. Hal ini membantu auditee dalam mengantisipasi berbagai risiko yang mungkin mengancam pencapaian tujuan. Salah satu perbedaan yang cukup “radikal” adalah peralihan dari compliance audit, dengan segala karakteristiknya yang cenderung “kaku”, berorientasi pada aturan, fokus pada penyimpangan dari aturan, dsb menjadi aktivitas konsultansi, dengan memosisikan auditor internal dan auditee sebagai mitra yang saling bekerjasama, atau lebih jauh lagi, menjadi pemandu dalam perubahan organisasi (agent of change) yangfokus pada pencapaian tujuan organisasi dalam jangka panjang.
 
Lalu, Di Mana Itjen Kini dan Akan Ke Mana Nantinya?

Dari uraian pada bagian sebelumnya, dapat dilihat dengan jelas di mana peran aparat pengawas intern, yaitu untuk memberikan keyakina memadai (quality assurance) bahwa pengendalian intern telah berjalan. Pengendalian intern itu sendiri pada dasarnya merupakan tanggung jawab manajemen auditee. Sedikit lebih konkrit, peran ini dapat dilaksanakan dengan berbagai bentuk kegiatan yang muaranya adalah dapat meyakinkan bahwa pengendalian intern yang dijalankan oleh manajemen auditee sudah berjalan dengan baik. Dampak lanjutannya tentu adalah kinerja birokrasi yang lebih optimal, baik sebagai regulator, pelayanan publik, dan fungsi-fungsi lainnya. Apabila mengacu pada PP SPIP, pengendalian intern terutama ditujukan untuk 4 (empat) hal, yaitu: pencapaian tujuan, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset, serta ketaatan terhadap peraturan. Kemudian, pengawas intern berperan untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa tujuan-tujuan tersebut telah tercapai.
 
Yang juga perlu dicermati adalah, dari keempat butir tersebut di atas, terlihat bahwa, dengan segala komplikasinya, peran pengawas intern (auditor internal dalam konteks pemerintahan) tidak bisa dilepaskan dari ketiga karakteristik sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya. Sebagai watchdog, yang meskipun bisa dikata agak “kuno”, namun kenyataannya tetaplah dibutuhkan. Pemberian keyakinan yang memadai bahwa aset negara telah dikelola dengan aman, serta ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan, tentu mau tidak mau harus dilaksanakan dengan cara “mengawal” auditee agar senantiasa sesuai dengan kriteria “aset negara yang aman” dan “kesesuaian dengan peraturan”. 
 
Pun begitu, apabila dilihat secara kronologis atau berurutan, terlihat bahwa fungsi tersebut justru berada pada butir ketiga dan keempat. Butir pertama adalah pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan efisien, serta  butir kedua adalah keandalan laporan keuangan. Pada kedua butir ini, peran sebagai katalis dan konsultan tentu lebih dominan. Pengawas intern harus mampu membantu serta mendampingi auditee dalam usaha pencapaian tujuannya. Risiko yang mungkin muncul harus diantisipasi, serta kriteria operasi yang baik juga harus terus dikembangkan. Salah satu langkah penting yang telah dirintis dan seharusnya terus dikembangkan adalah komunikasi dengan jajaran pimpinan serta manajemen dari auditee itu sendiri, terutama terkait dengan tujuan yang hendak dicapai. Penyamaan persepsi atas tujuan tersebut, dapat menjadi pijakan bagi pengawas intern untuk menentukan tindakan apa yang bisa diperbuat dalam rangka membantu mewujudkan tujuan tersebut.
 
Adapun tantangan yang secara nyata dihadapi saat ini oleh Kementerian, tergerusnya citra aparat Kementerian Keuangan karena kasus-kasus yang marak terjadi. Di balik permasalah “citra” tersebut, penting untuk didalami apakah “citra” tersebut melekat dan secara nyata mencerminkan “substansi”, yakni perilaku aparat secara umum, atau “citra” tersebut hanyalah “setitik nila” diantara “sebelangga susu”. Tentu keduanya memiliki konsekuensi yang berbeda dalam merumuskan tindakan penanganannya. Isu lainnya yang juga senantiasa mengemuka misalnya terkait penyerapan anggaran. Bagaimana Itjen mampu memetakan permasalahan terkait “selalu terlambatnya” penyerapan anggaran, baik karena masalah teknis, atau justru bisa jadi karena informasi yang kurang akurat yang diterima publik. Sekali lagi, keduanya memiliki konsekuensi berbeda dalam merumuskan tindakan penanganannya.
 
Selain kedua isu umum di atas, tentunya masih terdapat “bergudang-gudang” (bukan hanya segudang) permasalahan yang menanti solusi yang bisa ditawarkan pengawas intern. Untuk itu, dengan berbagai “wajah” yang dimilikinya, pengawas intern (Itjen) dapat terus memainkan peran-peran tersebut sesuai proporsi dan keperluan. Muaranya adalah, sekali lagi, pencapaian tujuan organisasi (Kementerian Keuangan) yang efektif dan efisien, laporan keuangan yang andal, keamanan aset negara, serta operasional yang taat terhadap peraturan perundang-undangan. 
 
Daftar Referensi

No comments: