Saturday, May 31, 2008

Know Your Employee


”Kenalilah dirimu niscaya engkau akan mengenal siapa Tuhanmu”. Ajaran dari ’langit’ tersebut begitu singkat, namun sarat makna. Intinya, jika umat manusia ingin selamat didalam mengarungi samaudera kehidupan di dunia fana ini maka haruslah mengenal diri sendiri sehingga dapat mengenal siapa Tuhan penguasa bumi menuju insan yang hakiki.

Dengan demikian, mengenali diri wajib kita lakukan ketika meniti segenap sendi-sendi kehidupan. Di medan pertempuran misalnya, kita juga perlu mengenali siapa diri kita. Seperti halnya Sun Tzu pernah berkata: ”Kenalilah dirimu, kenalilah musuh-musuhmu maka engkau akan memenangkan semua pertempuran”. Elaborasi buah pemikiran Sun Tzu tersebut di dunia bisnis dapat terlihat pada aplikasi analisis SWOT, dimana setiap organisasi bisnis harus mengenali kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (ooportunities) dan ancaman (treaths) yang akan dihadapi didalam menjalankan roda bisnis.

Bagaimana dengan dunia perbankan? Tidak terkecuali!. Lebih spesifik lagi, bisnis perbankan harus mengenali nasabah bank dengan baik sebagai salah satu kewajiban perbankan didalam menjalankan fungsi kepatuhan, jika dan hanya jika tidak ingin dikibuli oleh para penjahat yang memanfaatkan bank sebagai media tempat mencuci uang dari hasil-hasil pekerjaan hitam. Untuk itu, dunia perbankan telah menabuh genderang perang terhadap money laundering yang telah dikumandangkan beberapa tahun terakhir.

Prinsip-prinsip know your customer (KYC) gencar dikampanyekan. Upaya tersebut nampaknya menunjukkan hasil. Sudah banyak pencuci uang yang terjaring, kendatipun belum optimal. Paling tidak mampu mempersulit ruang gerak mereka. Bahkan Republik ini telah terbebas dari status negara yang tidak kooperatif menangani pencucian uang. Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) dalam sidangnya tanggal 9-11 Februari 2005 di Paris memutuskan bahwa Negara Indonesia telah keluar dari daftar Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs).

Pertanyaannya adalah cukupkah hanya dengan menjalankan prinsip-prinsip KYC maka fungsi kepatuhan perbankan akan dapat dijalankan secara ’paripurna’? Absolutely no way! Buktinya? Fakta ’berbicara’!. Menurut data BI sebagaimana yang diungkapkan oleh Sundarie Arie bahwa pada kurun waktu 1999 sampai September 2005 telah terjadi skandal tindak pidana perbankan sebanyak 482 kasus yang terjadi pada 254 bank. Dari kasus-kasus tersebut jenis tindak pidana yang terjadi berupa rekayasa kredit untuk menghindari ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan diikuti dengan pelanggaran yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang oleh pemegang saham, komisaris, direksi dan pejabat bank, rekayasa pencatatan dan laporan keuangan, pelanggaran komitmen terhadap cease and desist order/CDO serta pembiayaan ekspor fiktif dengan usance L/C.

Lalu, mengapa skandal-skandal ’kejahatan’ perbankan terus berulang? Perbankan nasional masih ’mengabaikan’ fenomena bahwa setiap kasus kejahatan yang terjadi dikolong langit ini sebagian besar melibatkan orang dalam disebuah institusi sebagai lakon utama. Sebagaimana Wolfe & Hermanson menyatakan bahwa pelaku kecurangan sebagian besar adalah orang dalam. Demikian halnya hasil Survei Ernst & Young atas 10.000 organisasi yang meliputi 30 industri dan tersebar di 15 negara menyimpulkan bahwa 82 persen dari responden menyatakan bahwa semua kecurangan yang akhirnya terungkap melibatkan pegawai disuatu perusahaan; 28 persen melibatkan pihak manajemen.

Begitu pula yang terjadi didunia perbankan. Seperti yang diungkapkan oleh Susidarto bahwa kasus-kasus yang terjadi didunia perbankan disebabkan oleh orang dalam bank. Itu artinya, industri perbankan senantiasa dihadapkan pada fenomena oknum bankir sontoloyo yang sekaligus berprofesi sebagai pembobol bank. Terlepas apakah porsi dan peran para bankir gadungan ini kecil atau besar, semuanya bermuara pada kesimpulan bahwa setiap petugas bank pada dasarnya berpotensi untuk menjadi bankir amoral. Adagium ini terbukti dengan mencuatnya beberapa kasus pembobolan bank belakangan ini yang senantiasa melibatkan oknum orang dalam. Sehingga betapapun paripurna sebuah sistem dan mekanisme yang dibangun oleh dunia perbankan fungsi kepatuhan tidak akan berfungsi dengan baik jika the man behin the gun masih dibiarkan secara leluasa berbisnis secara hanky panky. Karenanya, harus diredam.

Berangkat dari persoalan terakhir ini maka sangat argumentatif jika penulis dengan tegas menyatakan bahwa untuk membumikan fungsi kepatuhan didunia perbankan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan prinsip-prinsip KYC sebagai senjata pamungkas, perlu juga dibumikan prinsip-prinsip mengenal pegawai (Know Your Employee [KYE]). Sudah cukup banyak bukti, kasus dan skandal perbankan yang mempertegas perlunya diterapkan KYE. Data-data di atas kembali mempertegas bahwa kendatipun prinsip-prinsip KYC telah dijalankan, ketidakpatuhan oknum orang dalam bank masih saja terus berlangsung. Oleh karena itu, bank harus mengenal betul semua pegawai mereka, dari level atas hingga bawah, termasuk level direksi dan komisaris. Jangan lagi dibiarkan, misalnya, ada pegawai yang kaya mendadak, padahal sebelumnya kere; menjalani gaya hidup yang serba ’wah’ padahal penghasilannya tidak memungkinkan untuk menjalankan kehidupan yang serba mewah tersebut; dan lain sebagainya, lolos dari pengamatan bank dan dipastikan bahwa hal tersebut mereka dapatkan dari cara-cara halal. Pengalaman di dalam menerapkan prinsip-prinsip KYC dapat dijadikan modal utama untuk menggagas ketentuan yang berkenaan dengan KYE secara cerdas dan bijak.

(Artikel pernah di muat di Harian Investor Daily)FFF*KCIA

No comments: