Beberapa prinsip umum dari aspek hubungan antar manusia berlaku bagi
setiap kejadian di mana dua atau lebih orang saling berhubungan satu
dengan yang lainnya. Hal ini terjadi juga dalam kegiatan audit intern,
antara auditor dan auditee.
Beberapa prinsip tersebut yang kiranya berlaku dan berpengaruh dalam kegiatan audit intern.
Apabila
kita perhatikan, kegiatan itu menempatkan orang-orang yang saling
berhubungan dalam posisi tertentu dan khusus. Bila kedua pihak tak mampu
membangun hubungannya secara baik, maka pintu konflik yang
berkepanjangan dan berakibat destruktif bagi organisasi makin terbuka.
Karenanya
kita perlu menempatkan masalah ini pada proporsi yang benar, sehingga
misi kerja dari para auditor dan auditeenya dapat tercapai serta memberi
kontribusi positif bagi organisasi.
Posisi semacam itulah yang
menuntut adanya perhatian dan kondisi tertentu dari aspek hubungan antar
manusia. Perlu dicatat bahwa pokok-pokok dalam tulisan ini tidak
mutlak, tetapi memerlukan adanya modifikasi dalam penerapannya.
Secara garis besar tentunya hal-hal ini dapat dipakai sebagai kerangka dalam melaksanakan tugas.
Menurut
Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPFAIB) organisasi bank
dalam kaitan adanya Satuan Kerja Audit Intern Bank adalah sebagai
berikut :
Audit Intern merupakan fungsi staf. Dengan kata lain dia
tidak melakukan fungsi eksekutif dalam kegiatannya. Tugas dan ruang
lingkupnya adalah :
* Menilai (appraisal)
* Analisis, dan
* Membuat laporan atas hasil kegiatan tersebut
Pusat kegiatan yang dikerjakannya lebih berorientasi pada kebijakan dan metode kegiatan operasional yang berlaku.
Struktur
organisasinya mencerminkan hubungan komunikasi pengawasan yang luas
antara auditor intern bank dengan Dewan Komisaris dan juga Direktur
Kepatuhan (Compliance Director). Seperti diketahui sesuai dengan PBI No.
1/6/PBI/99 tanggal 20 September 1999, Dalam jajaran direksi diwajibkan
adanya Direktur Kepatuhan. Yang mempunyai komunikasi dengan auditor
intern. Direktur Kepatuhan ini tugas utamanya adalah memastikan bahwa
bank telah melaksanakan segenap peraturan yang berlaku, terutama
tentunya melaksanakan prinsip kehati-hatian.
Tugas tersebut diharapkan memberikan hasil dalam bentuk perbaikan dari apa yang sudah ada.
Pengolahan
hasil penelitiannya lebih berorientasi pada akibat di masa yang akan
datang atas setiap macam keputusan yang diambil pimpinannya (top
management).
Dengan demikian masalah peningkatan efesiensi yang
mengarah pada perbaikan produktivitas kegiatan atau penerapan suatu
sistem harus merupakan pusat perhatiannya.
Untuk mencapai hasil
tersebut digunakan suatu prosedur sesuai Internal Audit Charter, Panduan
Audit Intern Bank, yang diharapkan secara konsepsual dapat memberi
hasil sebagaimana mestinya. Dalam melaksanakan prosedur audit inilah,
hubungan antar manusia mempunyai peranan dan pengaruhnya.
HUBUNGAN ANTARA INTERNAL AUDITOR DENGAN AUDITEE-NYA.
Perlu
kita fahami bahwa hubungan yang terjadi antara internal auditor dengan
auditee-nya adalah hubungan kerja biasa. Jadi tak perlu didramatisir
seperti hubungan antara jaksa dengan terdakwa. Hubungannya seperti
hubungan kerja antara satu bagian dengan bagian lainnya di bank.
Hubungan
ini mempunyai tujuan seperti apa yang diinginkan dalam SPFAIB adalah
menciptakan bank yang sehat dan berkembang secara wajar. Walaupun dari
pihak auditee terdapat perbedaan sudut pandang tapi pada hakekatnya
tujuannya adalah sama.
Karena posisi Internal Auditor (SKAI)
adalah Staf dari Pimpinan Puncak (Dirut). Ia tentunya diharapkan
memiliki pengetahuan dalam bidang :
• Teknis operasional bank.
• Teknis operasional bank auditing (SPFAIB)
• Hubungan antar manusia yang efektif.
Keberhasilan tugasnya secara konsepsional merupakan penjabaran dari apa yang dimilikinya itu.
Dengan demikian keberhasilan pelaksanaan tugasnya akan sangat dipengaruhi oleh :
1. Kemampuan mengolah masukan yang diperolehnya menjadi satu keluaran yang bermakna
2. Cara/metode/prosedur yang digunakan dalam pelaksanaan tugasnya.
3. Proses interaksi kerjasama yang terjadi antara dirinya dengan kelompok.
Jika
diperhatikan faktor ke 3 itu, maka hubungan yang terjadi memang
menjadi ikut berperan. Apalagi kalau diperhatikan bahwa selalu ada kesan
bahwa kegiatan audit seringkali disalah artikan sebagai kegiatan untuk
mencari kesalahan.
Hal tersebut harus selalu dicoba untuk
disingkirkan dan diganti dengan pengertian yang lebih positif. Ini hanya
bisa dibina jika terdapat kerjasama yang efektif antara kedua pihak
atau dapat dihindarkan timbulnya konflik yang merugikan.
Dengan
demikian pembinaan hubungan antar auditor dengan auditee harus
didasarkan pada sasaran kepentingan bersama dalam posisi mereka sebagai
anggota organisasi. Perbedaan yang ada secara fungsional tidak boleh
dijadikan titik tolak mempertentangkan posisi dalam kegiatan mencapai
sasaran tersebut. Hal ini dalam pelaksanaannya memang sulit, karena
pemahaman dari para pihak baik auditor maupun auditee yang sering kali
punya persepsi yang berbeda.
Tugas fungsional sedapat mungkin
diusahakan hanya untuk mencari dan menyediakan informasi secara
obyektif. Khusus bagi Auditor, maka pengolahan dan penilaian hasil harus
didasarkan pada standar dan penilaian yang profesional sifatnya dan hal
ini tentunya telah diatur dalam pedoman kerja para auditor intern.
Singkatnya
hubungan antara Auditor dengan Auditee-nya harus dikembangkan dalam
bentuk hubungan kerja. Pendekatan yang digunakan berorientasi pada
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan atas berbagai alternatif
dengan orentasi peningkatan/perbaikan bagi organisasi bank secara
menyeluruh.
Menempatkan hal-hal tersebut dalam bentuk konsep
seperti yang diuraikan diatas bukanlah perkara mudah. Perlu kematangan
kedua pihak buat memahami posisinya masing-masing dalam bentuk yang
lebih konkrit.
APA YANG DIPERANKAN DALAM TUGASNYA.
Tugas
pokok sebagai internal auditor harus dilaksanakan secara profesional,
menurut standar dan prosedur yang telah ditetapkan. Tetapi hal tersebut
memerlukan proses interaksi dalam pelaksanaanya. Ada beberapa peran yang
dapat dibawakan oleh para internal auditor :
a. Peran sebagai “Problem Solver”
Temuan
Audit pada hakekatnya adalah problem. Internal Auditor harus mampu
menggunakan metode problem solving yang rasional sifatnya.
Rangkaian
proses berfikir analisis yang standar perlu dikuasai secara mantap. Hal
ini juga sangat membantunya untuk cepat dalam mengambil
kesimpulan/keputusan. Informasi yang dikemukakan harus obyektif dan
benar-benar merupakan fakta. Pengembangan berbagai alternatif perbaikan
harus mampu pula dihasilkannya dan dapat diterapkan sesuai dengan
kondisinya.
Dalam kaitan ini maka sang auditor perlu memahami akar
permasalahan, serta mampu menganalisisnya, sehingga solusi yang
direkomadasikan menjadi valid. Disini auditor perlu memahami bagaimana
bobot temuan yang menjadi problem tersebut. Bagaimana intensitasnya. Dia
perlu menilai siklusnya, akibatnya, ramalan-ramalan kejadian sebagai
akibat yang akan terjadi dari temuan tersebut.
Jika hal tersebut
dilaksanakannya dengan baik, maka pemecahan “konflik”, yang tidak
mungkin dihindarkan akan dapat diselesaikan secara rasional dan
memuaskan bagi semua pihak.
b. Peran sebagai “Conflict Resolution”
Temuan
audit yang ada dari pelaksanaan audit bisa menjurus pada timbulnya
konflik bila seorang auditor kurang mampu untuk menyelesaikannya dengan
auditee.
Konflik itu sendiri adalah hubungan antara dua pihak atau
lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, sasaran-sasaran yang tidak
sejalan. (Christ Mitchell, Thr Structur Of International Conflict,
Macmillan. London,1981, Bab 1)
Dalam kaitan ini maka masalah
penyelarasan agar menjadi sejalan antara auditor dan auditee dalam
mencapai visi bank menjadi fokus utama. Penyelarasan ini berpijak pada
visi keinginan semua pihak di bank untuk melahirkan bank yang sehat dan
berkembang wajar adalah yang paling pokok.
Dalam praktiknya konflik ini bisa dilalui dengan jalan :
• Menghindari
• Membekukan
• Dikonfrontasikan
Menghindari
konflik, Auditor semacam ini cenderung menekan reaksi emosional dengan
mencari cara lain yang lebih enak atau bahkan mungkin dia minta pindah
atau keluar dari pekerjaan sebagai internal auditor. Hal ini
dimungkinkan pula bila si Auditor kurang punya kemampuan untuk
bernegosiasi secara efektif. Meskipun strategi menghindari bisa
mengatasi persoalan, namun sifatnya sementara saja. Karena pada
kesempatan lain persoalan itu dapat timbul dan si auditor tetap tidak
dapat mengatasinya.
Membekukan konflik, ini adalah suatu taktik
untuk menangguhkan tindakan. Strategi ini bisa digunakan Auditor untuk
mendinginkan situasi untuk sementara, sehingga usaha untuk konfrontasi
tetap tidak mungkin.
Konfrontasi konflik, artinya atas problem
atau temuan ini langsung dikonfrontasikan dengan auditee. Konfrontasi
bisa dilakukan dengan dengan dua jalan :
Dengan memakai kekerasan,
misalnya dipaksa dengan power dari Diektur Utama maka auditee harus
melaksanakan rekomendasi audit. Strategi ini dapat efektif, tapi auditee
dapat merasa kalah. Bila merasa kalah maka bisa timbul kebencian,
kekhawatiran, bahkan menjurus pada kerugian.
Dengan memakai strategi negosiasi, Strategi ini kedua pihak bisa menang.
Masing-masing langkah akan mengundang masalahnya sendiri.
Strategi
“Win-Win” harus dipakai sebagai dasar dalam kerangka pemecahan. Setiap
kegiatan dan keputusan yang diambil, dilakukan berdasar motif yang
konstruktif sifatnya. Teknik-teknik seperti kemampuan memahami orang
lain, komunikasi dan juga negosiasi perlu dimiliki.
Untuk itu maka, seorang Auditor perlu memiliki keterampilan bernegosiasi.
Menentukan
hakekat konflik : Untuk itu maka kita perlu bisa menentukan hakikat
konflik dengan mendiagonosa konflik melalui negosiasi. Apakah konflik
itu terjadi bersifat ideologis (nilai-nilai) atau konflik
sungguh-sungguh (tangible) atau mungkin kombinasi dari keduanya.
Konflik
yang mencakup nilai-nilai sulit untuk dinegosiasikan, karenanya perlu
toleransi. Tetapi bila konflik menyangkut hal-hal yang jelas nerpengaruh
nyata terhadap bank, terhadap auditor dan auditee maka unsur konflik
itu harus diatasi.
Efektivitas dalam memulai konfrontasi. Supaya
efektif, maka dalam melakukan konfrontasi atas konflik tidak dilakukan
dengan menyerang atau menyalahkan auditee atau pihak lain. Suatu reaksi
defensif pada salah satu pihak biasanya sangat menghambat penyelesaian
perbedaan-perbedaan. Cara yang paling efektif memulai konfrontasiadalah
menyatakan akibat yang nyata dari konflik tersebut.
Kemampuan
untuk mendengarkan pandangan orang lain (auditee). Setelah konfrontasi
dibuka, Auditor harus mampu mendengar pendapat atau pandangan auditee.
Pertanyaan-pertanyaan yang menggugah timbulnya argumentasi-argumentasi
harus dihindarkan. Auditor harus berusaha untuk tidak mempertahankan
diri, menuntut atau bahkan mengecam.
Kemampuan menggunakan proses pemecahan persoalan untuk mencapai konsesus. Ini berarti Auditor harus mampu :
Menjelaskan persoalan, menelorkan dan menilai sejumlah cara-cara pemecahan.
Menentukan
bersama (tidak dengan voting) pemecahan paling baik; harus memilih
pemecahan yang paling diterima oleh auditee dan auditor.
Merencanakan implementasi pemecahan masalah.
Menilai
hasil pemecahan setelah dilaksanakan untuk beberapa waktu; tahap ini
sangat penting karena kemungkinan besar pemecahan yang pertama adalah
tidak sempurna.
Dengan demikian strategi negosiasi dalam kegiatan
internal audit, paling tepat untuk mengatasi konflik. Hal ini menuntut
keterampilan sangat tinggi.Hanya dengan ini kita dapat memanfaatkan
konflik untuk sesuatu yang sifatnya konstruktif.
c. Peran “interviewer”
Komunikasi
yang akan dilakukan oleh Auditor, sering kali dalam bentuk wawancara.
Tujuannya adalah mencari fakta dan bukan opini. Karena itu internal
auditor harus faham mengenai ;
• Konteks dari wawancara yang dilakukan
• Isi dari bahan yang ingin dicarinya
Pola
interogasi harus dihindarkan. Hal ini mungkin terjadi jika keterampilan
wawancara kurang dikuasai dan pewawancara kurang mampu menggali
persoalan dengan memotivasi auditee.
Wawancara sebaiknya dimulai
dengan menentukan posisi kepercayaan (trust), baru kemudian diikuti
dengan penetapan berbagai aspek yang diperlukan dalam wawancara
(positioning) dan dilanjutkan dengan mengembangkan wawancara sendiri.
d. Peran “Negosiator” dan “Komunikator”
Kedua
peran ini juga dijumpai pada saat melakukan auditing. Mungkin peran
komunikator akan lebih menonjol dibanding dengan negosiator.
Dalam
peran negosiator, seseorang dituntut untuk terus menerus mampu menjual
“posisi auditor”, program sang auditor ataupun ide-ide -nya. Karena itu
kriteria dan materi yang harus disampaikan haruslah masuk akal.
Sebaiknya
jangan memandang remeh orang lain, karena keberhasilan seorang
negosiator adalah jika ia berhasil menciptakan kondisi dimana semua
fihak dapat terpenuhi keinginannya.
Tetaplah berpegang pada
sasaran dan sebaiknya diusahakan hubungan tidak tegang. Lebih baik
diciptakan situasi agak longgar, tetapi nantinya tidak menyesal.
Usahakan mendapat hasil yang positif dalam setiap proses, walaupun mungkin belum tentu dapat mencapai apa yang diharapkan.
Dalam
peran komunikator, posisi auditor agak berbeda. Ingatlah bahwa sebagian
besar konflik dan ketidak setujuan itu datangnya karena saling kurang
fahamnya fihak-fihak yang berkepentingan. Komunikasi bukan barang baru
bagi kita. Tetapi mendapatkan yang efektif bukanlah hal yang mudah.
Selama
kumunikasi berlangsung fahamilah lawan bicara. Tetapkan strategi atas
reaksinya. Jangan cepat-cepat sampai pada kesimpulan. Berpikirlah
positif dan sikap yang terkendali merupakan sarana pentingyang harus
kita jaga. Kuasailah bahan yang dibicarakan dan berdasarkan pada fakta
atas informasi nyata.
Berbagai peran tersebut perlu difahami
karena bisa jadi dalam berhadapan dengan berbagai anggota manajemen,
diperlukan langkah-langkah khusus. Perlu dicatat bahwa keberhasilan dari
hubungan antar manusia ini juga ditentukan oleh peran kepribadian sang
auditor sendiri.
Sifat keterbukaan, tepat waktu, tidak menjatuhkan
orang dimuka umum, bertanya secara bijak dengan wawasan yang luas dan
lain-lainnya juga sangan menentukan pengembangan hubungan yang ada.
Perlu
dicatat juga pada akhirnya, walaupun auditor sudah berbuat sebaik
mungkin dengan melaksanakan hal-hal yang disarankan atau auditor memang
sudah memiliki sendiri hal-hal tersebut, namun perlu juga diingat :
•
Auditor perlu mendengarkan orang lain, karena wawancara adalah seni
mendengarkan orang lain. Jika itu dilakukan, jelas tidak mungkin dapat
tahu apa kata akhir yang telah diucapkan oleh lawan bicara.
• Telitilah kembali hal-hal yang sudah diperoleh dan konfirmasikan oleh lawan bicara kita.
PENUTUP
Komunikasi
yang efektif antara auditor dan auditee merupakan suatu hal yang harus
dibina oleh auditor dan dipahami oleh auditee. Kontribusi kedua pihak
untuk menjadikan pekerjaannya bermanfaat bagi organisasi adalah
merupakan titik awal bermulanya sukses bagi semua pihak. Segala kendala
yang terjadi bisa ditekan sedemikian rupa bila pemahaman bersama telah
terbentuk. Ini memang perjalanan yang perlu ditempuh para anggota
organisasi dalam mencapai kedewasaan.
No comments:
Post a Comment