
”Good reputation is more valuable than money”
(Publilius Syrus)
Dalam waktu sekejap, suatu organisasi bisnis niscaya mengalami persoalan yang sangat serius ketika reputasi mereka hancur ’dimata dunia’. Bahkan mesti hengkang dari blantika arena percaturan bisnis begitu track record perusahaan sudah hancur dan tidak dapat terselamatkan lagi.
Apatah bagi dunia perbankan! Reputasi sungguh merupakan “barang mewah” --lebih berharga dari tumpukan pundi-pundi-- sebagaimana pendapat Publilius Syrus di atas. Karena bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan. Tidak ada satu bank-pun di kolong langit ini yang mampu bertahan dengan mengabaikan risiko reputasi, yaitu risiko yang timbul akibat adanya publikasi negatif berkaitan dengan operasional bank atau persepsi negatif terhadap sebuah bank. Oleh karena itu, perbankan nasional terus membangun, merawat dan menjaga reputasi industri agar senantiasa baik.
KENISCAYAAN MEDIASI PERBANKAN: Das Sein vs Das Sollen
Pelaksanaan mediasi perbankan yang gencar dikampanyekan oleh Bank Indonesia (BI) pada beberapa tahun terakhir merupakan salah satu wujud nyata upaya menjaga reputasi dimaksud. Untuk itu, BI telah meluncurkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 jo. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tentang Mediasi Perbankan dan PBI No. 7/7/PBI/2005 jo. Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/24/DPNP tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang secara tegas mengatur bagaimana segenap hal tersebut harus dilakukan. Tujuan BI adalah supaya seluruh bank aware di dalam menyelesaikan setiap dispute yang terjadi dengan nasabah mereka.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mediasi perbankan merupakan aspek penting dalam upaya menjaga reputasi dan kredibilitas bank di mata masyarakat sekaligus melindungi kepentingan dan posisi nasabah. Hal ini merupakan keniscayaan!!!. Tidak berlebihan jika BI menempatkan mediasi perbankan sebagai pilar ke enam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Karena, seiring dengan semakin agresifnya perbankan berinovasi dengan produk-produk andalan mereka -pada saat yang bersamaan- peluang terjadinya perselisihan antara perbankan versus nasabahnya semakin menganga. Coba perhatikan statistik pengaduan nasabah yang dikeluarkan oleh BI. Pada periode laporan triwulan I Tahun 2007, telah tercatat sebanyak 79.322 berbagai bentuk kasus persengketaan. Perbankan tidak dapat memandang "sebelah mata" perselisihan-perselisihan yang terjadi itu. Ongkos begitu mahal akan terbuang sia-sia jika hal tersebut benar-benar kerap terlupakan. Reputasi bank pasti hancur karenanya, lalu tergiring menuju tiang gantungan sejarah.
Dengan demikian, mudah untuk dipahami ketika Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan (FKDKP) (2007) menyatakan bahwa keberadaan mediasi perbankan terutama sangat diperlukan untuk membantu penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank secara murah, sederhana, cepat dan efisien, selain dapat menjaga kelangsungan hubungan antara nasabah dengan bank sehingga pada gilirannya mampu meningkatkan kredibilitas dan reputasi bank. Segenap hal tersebut memungkinkan sekali dapat diraih karena sesuai dengan konsepsi mediasi yang dijelaskan oleh Felix O. Soebagjo (2007) bahwa tujuan mediasi adalah membantu mencarikan alternative penyelesaian atas sengketa yang timbul diantara para pihak yang disepakati dan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Prosesnya melalui forward looking; bukan backward looking. Tegasnya adalah proses mediasi tidak mencari kebenaran dan/atau dasar hukum yang diterapkan namun lebih kepada penyelesaian masalah. The goal is not truth finding or law imposing, but problem solving (Lovenheim, 1996).
Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa melalui proses mediasi akan terjalin komunikasi yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa; para pihak dapat mendengar, memahami alasan/penjelasan/argumentasi yang menjadi dasar atau pertimbangan para pihak. Melalui pertemuan tatap muka, diharapkan dapat mengurangi rasa marah dan bermusuhan pihak-pihak yang bersengketa, selain memahami kekurangan/kelebihan/kekuatan masing-masing, sehingga dapat mendekatkan cara pandang dari pihak-pihak yang bersengketa, menuju suatu kompromi yang dapat diterima para pihak.
Terlebih lagi dari aspek aspek hukum, penyelesaian sengketa perdata melalui sarana mediasi merupakan hal yang sangat lazim. Dan yang tidak kalah pentingnya untuk dicamkan adalah tingkat keberhasilan mediasi jauh lebih tinggi lagi efektif dibandingkan penyelesaian dengan cara litigasi maupun arbitrase. Jadi, benang merah yang tegas dapat ditarik berdasarkan uraian ini adalah bahwa das sein, pelaksanaan mediasi perbankan sejatinya mampu mendatangkan keuntungan signifikan bagi industri perbankan, Das sollen, apa yang terjadi di lapangan? Jauh panggang dari api bukan? Berdasarkan data pengaduan nasabah dan permohonan penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diajukan oleh masyarakat (nasabah bank) kepada BI periode Januari 2006 s/d Juli 2007 baru tercatat sebanyak 151 sengketa dimana hanya sekitar 85 persen yang dapat diselesaikan dengan baik, sisanya masih dalam proses.
KENDALA PELAKSANAAN MEDIASI PERBANKAN
Mengapa pelaksanaan mediasi perbankan masih belum menunjukkan tanda-tanda sebagaimana yang diharapkan? Menurut hemat penulis, biang keroknya dapat ditelusuri dari kendala-kendala yang muncul ketika pelaksanaan mediasi perbankan tersebut dilaksanakan sehari-hari, yang menurut BI (2007) dapat dikelompokan menjadi beberapa hal dan atau dari beberapa sisi, yaitu:
Kendala dari sisi perbankan nasional: Sebagai pemeran utama, perbankan nasional jamak melakukan hal-hal yang sangat mempersulit pelaksanaan mediasi perbankan. Mulai dari teknis operasional yang sifatnya sangat sederhana seperti tidak melakukan koordinasi yang baik dengan BI berkenaan dengan person in charge (PIC) di bank yang menangani suatu kasus karena masih banyak bank yang belum memberikan daftar contact person atau adanya perubahan contact person yang tidak diberitahukan kepada BI, selain mengirimkan delegasi/wakil yang tidak memiliki kewenangan untuk memutus sebagaimana dipersyaratkan sehingga menghambat kelancaran proses mediasi, hingga pada hal-hal yang sangat mendasar dimana masih terdapat sebagian petugas/pejabat bank yang belum mengetahui ketentuan tentang Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan yang tercermin dari kurang sesuai-nya informasi yang diberikan kepada nasabah;
Kendala dari sisi nasabah: Banyak nasabah yang masih ’buta’ akan pengetahuan dan pemahaman berkenaan dengan pelaksanaan mediasi perbankan sehingga mereka kurang memahami kasus posisi yang sebenarnya, tidak memberikan dokumen yang lengkap, tidak mencantumkan nomor telepon yang dapat dihubungi sehingga menghambat proses klarifikasi;
Lain-lain: Terdapat pihak lain yang turut mempengaruhi para pihak baik dari sisi nasabah maupun bank. Hal ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Susanti Adi Nugroho (2007) yang menyatakan bahwa terdapat keengganan pengacara atau pihak yang berkepentingan untuk mendukung proses mediasi. Fenomena yang menunjukkan bahwa pengacara/penasehat hukum lebih suka untuk memperpanjang proses perkara dengan motivasi tertentu seperti menunda eksekusi dan atau mengenakan fee tambahan dan mereka cenderung tidak menyarankan melakukan mediasi kepada kliennya mempertegas apa yang diidenfikasi BI tersebut bukalah sekedar isapan jempol belaka .
Al-hasil, proses mediasi belum memasyarakat. Jangankan cita-cita mewujudkan Lembaga Mediasi Perbankan Independen (LMPI) yang mampu berkiprah luas untuk mensukseskan pelaksanaan mediasi perbankan segera dapat menjadi kenyataan , pelatihan bagi calon mediator saja belum memadai karena insitusi penyedia pendidikan mediator tidak mencukupi. Meskipun keberadaan LMPI sudah menjadi keharusan mengingat BI -yang mengemban tugas sebagai lembaga mediasi perbankan saat ini- memiliki banyak sekali keterbatasan. Baik dari sisi sumber daya manusia yang mengelolanya maupun sumberdaya lainnya seperti kantor cabang yang ada sangat tidak memungkinkan untuk menangani semua kasus persengketaan antara nasabah dan bank yang demikian banyak terjadi.
Demikianhalnya persoalan keberadaan mediator yang membantu menyelesaikan sengketa diantara para pihak merupakan syarat mutlak. Bahkan, para mediator itu, tidak hanya harus mempunyai kemampuan dan keahlian sehubungan dengan bidang masalah yang disengketakan , lebih dari itu mediator juga tidak boleh mempunyai benturan kepentingan/ hubungan afiliasi dengan pihak-pihak dalam sengketa dan atau masalah yang disengketakan .
Selain hal-hal di atas, peraturan BI mengenai pelaksanaan mediasi perbankan beserta perangkat hukum lainnya masih memunculkan sejumlah tanda tanya besar. Sebagai contoh, Felix O. Soebagjo (2007) menyoroti Angka 1.4 Peraturan Bank Indonesia (“PBI”) No.8/5/PBI/2006 yang merumuskan: “Sengketa adalah permasalahan yang diajukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah kepada penyelenggara mediasi perbankan, setelah melalui proses penyelesaian pengaduan oleh bank, sebagaimana diatur dalam PBI tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (PBI No. 7/7/PBI/2005).
Dari perumusan tersebut, ada kesan seolah-olah yang mempunyai sengketa hanyalah nasabah saja, sedangkan bank tidak mempunyai sengketa. Persepsi lain adalah bahwa yang tunduk untuk harus menyelesaikan sengketa melalui jalur mediasi hanyalah nasabah, sedangkan bank dapat dan bebas menggunakan jalur penyelesaian sengketa lain. Kalaupun bank kemudian mengajukan sengketa tersebut kepada penyelenggara mediasi perbankan, hal itu tidak akan dapat dilayani karena tidak termasuk dalam cakupan “Sengketa” seperti yang dimaksud PBI No. 8/5/PBI/2006.
Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah memang itu yang dimaksud ? Jika jawabannya “Ya”, perlu dipertanyakan mengapa Bank Indonesia (“BI”) menerapkan kebijakan mendua? Jika jawabannya “bukan”, maka perlu peninjauan ulang atas beberapa perumusan dalam PBI No.8/5/PBI/2006, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Kemudian adanya Unsur “Sengketa” diantara para pihak melalui perumusan “Sengketa” sebagaimana dimaksud Angka 1.4 PBI No.8/5/PBI/2006, dapat menimbulkan tafsir yang keliru.
Apakah setiap permasalahan itu sengketa? Mengapa hanya nasabah yang didefinisikan sebagai pihak dalam sengketa? Apakah bank merasa tidak perlu untuk ikut serta sebagai pihak dalam suatu sengketa, sebagai pihak yang mengajuan klaim? Jika pihak yang mengajukan permasalahan hanyalah nasabah, dan pihak bank merasa tidak mempunyai sengketa dan tidak bersedia menandatangani Agreement to Mediate, tujuan pembentukan lembaga mediasi perbankan akan sangat sulit dicapai. Belum lagi persoalan-persoalan seperti efektifitas akta kesepakatan hasil mediasi perbakan di pengadilan maupun diluar pengadilan; penyelesaian sengketa antar bank dan nasabah yang mengandung dan atau terkait dengan adanya tindak pidana di bidang perbankan dan sejumlah persoalan-persoalan lainnya masih berjalin berkelindan menyebabkan pelaksanaan mediasi perbankan saat ini belum dapat berjalan secara efektif/efisien.
Strategi Mengatasi Kendala
So what gitu loh? agar pelaksanaan mediasi perbankan benar-benar membumi dan mampu mendorong peningkatan kinerja perbankan serta memberikan manfaat yang luas kepada nasabah dan masyarakat secara keseluruhan? Absolutely, dibutuhkan strategi yang jitu. “Tanpa strategi, sebuah organisasi seperti sebuah kapal tanpa kemudi, berputar-berputar dalam lingkaran. Organisasi yang demikian seperti pengembara tanpa tujuan tertentu” (Joel Roes, 1997), tidak terkecuali didalam membumikan mediasi perbankan. Wujud kongkretnya? Berdasarkan uraian “Kendala Pelaksanaan Mediasi” di atas maka dapat ditarik benang merah yang sangat tegas:
1) Menetapkan perangkat hukum dengan prosedur penyelesaian sengketa yg informal, cepat, adil dan terjangkau dengan senantiasa melakukan penyempurnaan terhadap semua ketentuan dan atau membangun perangkat-perangkat hukum lainnya yang dibutuhkan mutlak dilakukan.
Namun demikian, langkah ini saja belum cukup. Karena keberhasilan dan efektivitas proses mediasi perbankan tidak semata-mata didasarkan pada kelengkapan pranata hukumnya. Tidak kalah pentingnya adalah diperlukan adanya suatu komitmen dan dukungan bersama dari segenap stakeholders (Muliaman D. Hadad, 2006) untuk secara bersungguh-sungguh mendorong pihak-pihak yang bersengketa sedapat mungkin menyelesaikan sengketa yang dihadapinya nasabah dengan bank melalui upaya-upaya penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi (Bapenas, 2007).
2) Dengan demikian -menurut penulis- langkah strategis yang harus ditempuh berikutnya adalah membangun dan menancapkan awareness kepada segenap pemangku kepentingan bahwa pelaksanaan mediasi perbankan is a must, dengan cara menggagas program edukasi dan sosialiasi secara efektif dan konsisten serta terintegrasi. Untuk itu, perlu ditetapkan indikator-indikator yang dapat menunjukkan keberhasilan program edukasi dan sosialisasi itu, seperti:
Indikator awareness perbankan nasional misalnya, minimal ditunjukkan dengan terjalinnya kerjasama yang baik dan atau dukungan dari pihak perbankan cq. Direktur Kepatuhan perbankan dan atau unit/fungsi/organ struktural di bank yang bertanggungjawab terhadap penyelesaian pengaduan nasabah, disamping mendorong semakin diterapkannya transparansi produk dan diseminasi ketentuan PBI No. 8/5/PBI/2006 jo. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tentang Mediasi Perbankan dan PBI No. 7/7/PBI/2005 jo. Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/24/DPNP tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah;
Sementara para nasabah bank semakin mengerti akan hak dan kewajiban mereka di dalam pelaksanaan mediasi perbankan yang ditunjukkan dari perilaku mereka yang taat prosedur dan senantiasa memenuhi semua persyaratan yang berlaku;
Sedangkan pemangku kepentingan lainnya (seperti asosiasi/lembaga terkait dengan segenap perihal yang berhubungan dengan perlindungan konsumen atau penyelenggara alternative dispute resolution maupun individu-individu seperti advokat dan pihak-pihak terkait lainnya), dengan segenap hati berupaya keras menjalin kerjasama dengan BI dan perbankan nasional berikut lembaga lainnya yang terkait. Hal ini terutama difokuskan pada upaya untuk mendirikan pusat mediasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa (LMPI ) dan terselenggaranya program pelatihan peningkatan ketrampilan para mediator;
The last but not least, memastikan ketersediaan informasi penyelenggaraan mediasi perbankan yang mudah dipahamami dan di akses secara luas merupakan hal yang urgent dan crucial, demi kesuksesas pelaksanaan program edukasi dan sosialisasi tersebut.
Aliansi Strategis: Solusi Jitu
Strategi mengatasi kendala pelaksanaan mediasi perbankan di atas memang bukan perkara mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Kata kunci yang diungkapkan oleh Muliaman D Hadad di atas bahwa pelaksanaan mediasi perbankan membutuhkan dukungan dan komitmen semua pemangku kepentingan harus diresapi benar-benar. Artinya, BI, perbankan nasional dan semua pemangku kepentingan tidak akan mampu mengatasi kendala pelaksanaan mediasi perbankan jika dilakukan sendiri-sendiri. Tegasnya adalah mendambakan program membangun awareness kepada semua stakeholders melalui edukasi dan sosialisasi dengan segenap ‘pernak-pernik’nya seperti uraian diatas dapat tercapai dengan baik tanpa adanya jalinan kerjasama yang solid dan terintegrasi, mimpi kali ye!.
Dengan ungkapan lain, strategi jitu mengatasi kendala pelaksanaan mediasi perbankan itu tidak akan dapat terlaksana sampai ‘lebaran kuda’, tanpa dibungkus dengan melakukan apa yang disebut sebagai aliansi strategis, yang dijelaskan oleh Watson (1996) sebagai hubungan strategis diantara organisasi-organisasi yang punya kesamaan minat atau suatu asosiasi yang punya tujuan membahas lebih lanjut kesamaan minat para aggotanya. Sangat logis jika segenap pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dan peduli terhadap pelaksanaan mediasi perbankan melakukan aliansi strategis dalam hal ini. Bukankah seluruh strakeholders memiliki kesamaan permasalahan itu, yaitu bagaimana membumikan mediasi perbankan sedemikian rupa sehingga mampu meningkatkan kinerja industri perbankan secara signifikan? Bahkan, meminjam analogi yang dikemukakan Shimp (2003) bahwa aliansi strategis niscaya akan mampu menghasilkan “suara” yang jauh lebih “merdu” dengan hasil yang sungguh-sungguh luar biasa.
Pepatah kuno “bersatu kita teguh-bercerai kita runtuh” dan “berat sama dipikul-ringan sama dijinjing” sangat relevan dalam konteks pelaksanaan mediasi perbankan.
Dengan demikian, sangat argumentatif jika penulis menyatakan dengan tegas bahwa aliansi strategis merupakan solusi jitu di dalam menerapkan dan atau melaksanakan strategi untuk mengatasi kendala pelaksanaan mediasi perbankan. Jika hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, niscaya pelaksanaan mediasi perbankan dapat berjalan dengan sebagaimana yang diharapkan. Wahai semua pemangku kepentingan, silahkan duduk bersama, merundingkan, mendiskusikan dan satu suara di dalam membangun serta melaksanakan “aliansi strategis” untuk menjalankan strategi mengatasi kendala pelaksanaan mediasi perbankan sehingga dapat membumi. Tunggu apa lagi? FFF
Pernah dimuat di Majalah Pengengembangan Perbankan
( Wilson Arafat, 28-02-2008 )