Bukan Watchdog, Konsultan, Juga Bukan Katalis! Tapi Pengawas Intern
Rabu, 10 Agustus 2011
Penulis : Alexander Zulkarnain (Auditor Madya Inspektorat VII)
“Pertarungan ideologi” antara peran auditor internal sebagai watchdog
dan konsultan mungkin bukan hal yang baru. Meskipun sejatinya keduanya
sama dalam memainkan peran auditor internal, namun nampak adanya
kesenjangan yang cukup tajam antara keduanya. Namun, sebelum berpolemik
lebih jauh, ada baiknya pembahasan dikembalikan kepada “dalil” yang ada.
The Institute of Internal Auditor (IIA, 2001) mendefinisikan internal auditing sebagai “aktivitas independen dalam menetapkan tujuan dan merancang aktivitas konsultasi (consulting activity) yang bernilai tambah (value added) dan meningkatkan operasi perusahaan.” Ditambahkan pula bahwa internal auditing
membantu organisasi dalam mencapai tujuan dengan cara pendekatan yang
terarah dan sistematis untuk menilai dan mengevaluasi efektivitas
manajemen resiko (risk management) melalui pengendalian (control) dan proses tata kelola yang baik (governance processes).
Adapun dedengkot-nya internal auditing, Sawyer (2005), mendefinisikan internal auditing
sebagai “sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan
auditor internal terhadap operasi dan kontrol yang berbeda-beda dalam
organisasi untuk menentukan apakah: (1) informasi keuangan dan operasi
telah akurat dan dapat diandalkan; (2) risiko yang dihadapi perusahaan
telah diidentifikasi dan diminimalisasi; (3) peraturan eksternal serta
kebijakan dan prosedur internal yang bisa diterima telah diikuti; (4)
kriteria operasi yang memuaskan telah dipenuhi; (5) sumber daya telah
digunakan secara efisien dan ekonomis; dan (6) tujuan organisasi telah
dicapai secara efektif.”
Dari kedua uraian di atas, kiranya dapat ditangkap dengan cukup jelas mengenai bagaimana internal auditing
(sebagai sebuah proses) yang ideal dan seharusnya dilaksanakan oleh
auditor internal (sebagai subyek). Beberapa poin penting yang patut
disimak yaitu: adanya aktivitas konsultansi yang bertujuan memberikan nilai tambah bagi organisasi; serta pelaksanaan evaluasi (dan/atau penilaian) terhadap proses-proses berupa manajemen risiko, pengendalian, tata kelola yang baik (kepatuhan, efektivitas, efisiensi dan ekonomis dalam aktivitas operasi) dan akurasi data dan informasi (terutama keuangan).
Dalam konteks internal auditing
di kalangan pemerintahan di Indonesia, kiranya belumlah lengkap apabila
tidak menggunakan kerangka PP 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah dalam menganalisis permasalahan ini. Pasal 1 angka 1
menyebutkan bahwa “Pengendalian internal merupakan sebuah sistem yang
bertujuan untuk memberikan keyakinan memadai atas: (1) tercapainya
tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien; (2)
keandalan pelaporan keuangan; (3) pengamanan aset negara; dan (4)
ketaatan peraturan perundang-undangan.”
Selanjutnya, dalam pasal 1 angka 3 disebutkan juga bahwa “Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam
rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah
dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara
efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan
tata kepemerintahan yang baik.” Untuk itu, aparat pengawas internal
dibentuk dalam rangka memperkuat dan menunjang efektivitas pengendalian
intern (pasal 47 ayat (2)).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aparat pengawas intern (auditor internal pemerintah) memiliki fungsi dan tujuan untuk memperkuat efektivitas sistem pengendalian internal
pemerintah. Lebih lanjut, sistem pengendalian internal pemerintah itu
sendiri bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai atas
efektivitas dan efisiensi operasi, keandalan laporan keuangan,
pengamanan aset, serta ketaatan terhadap peraturan. Poin penting dari
pemahaman ini adalah, pengawas intern (dalam kerangka PP SPIP) secara
khusus diharapkan mampu memberikan keyakinan yang memadai untuk
tercapainya pelaksanaan kegiatan yang memenuhi aspek efektivitas dan
efisiensi, yang pada akhirnya mampu mendorong tata kepemerintahan yang
baik. Adapun secara umum, pengawas intern diharapkan mampu menjadi
katalis dalam pencapaian tujuan sistem pengendalian itu sendiri.
Dalam menjalankan peran dan fungsinya, auditor internal pada awalnya berperan selayaknya watchdog. Sebagaimana terminologinya, peran yang dijalankan oleh auditor internal selaku watchdog meliputi
aktivitas inspeksi, observasi, perhitungan, cek & ricek yang
bertujuan untuk memastikan ketaatan / kepatuhan terhadap ketentuan,
peraturan atau kebijakan yang telah ditetapkan. Audit yang dilakukan
adalah compliance audit dan apabila terdapat penyimpangan dapat dilakukan koreksi terhadap sistem pengendalian manajemen. Peran watchdog biasanya menghasilkan saran / rekomendasi yang mempunyai impact jangka pendek, misalnya perbaikan sistem & prosedur atau internal control (Ongkowijoyo, 2009; Simbolon, 2010). Dari segi pendekatan pengendalian, dalam perannya selaku watchdog, auditor internal menekankan pada pengendalian detektif (detective control),
yaitu mengidentifikasi masalah yang sudah terjadi, lalu mencoba
memberikan saran untuk mengatasinya. Selain itu, dalam perspektif ini,
auditor internal berfokus pada kelemahan dan penyimpangan yang ada
dengan mengacu pada kebijakan dan policy. Ketidak sesuaian dengan policy pada umumnya dipersepsikan sebagai “masalah”.
Karakter ini juga melekat dalam
pelaksanaan peran pengawas intern di lingkungan pemerintah selaku
auditor internal, termasuk di lingkungan Itjen Kemenkeu. Beranjak dari
karakter ini, aspek yang umum menjadi “indikator kinerja” dalam
pelaksanaan tugas aparat adalah nilai dan jumlah temuan. Dalam banyak
situasi, karakter dan peran seperti ini nampaknya masih dibutuhkan dalam
pelaksanaan peran pengawas intern di lingkungan pemerintahan. Hal ini
ditandai dengan masih relatif tingginya penyimpangan birokrasi. Salah
satu indikator atas hal ini misalnya adalah indeks persepsi korupsi
Indonesia yang masih di bawah angka 3.
Seiring perjalanan waktu, perubahan dan
peningkatan tingkat kerumitan proses bisnis, ditambah lagi dengan
persaingan dan perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi),
auditor internal dipandang tidak cukup sekedar menjalankan peran sebagai
watchdog. Auditor internal tidak lagi cukup menilai kepatuhan,
fokus pada penyimpangan dan berorientasi pada audit. Auditor internal
diharapkan dapat berperan lebih luas lagi, terutama dalam rangka
meningkatkan kinerja organisasi. Hal ini diejawantahkan dalam definisi
“baru” auditor internal sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini.
Berbeda dengan peran terdahulunya,
auditor internal “baru” difokuskan untuk memberikan nilai tambah, berupa
peningkatan kinerja secara umum. Secara khusus, peran ini
diejawantahkan dalam bentuk aktivitas konsultansi, serta evaluasi dan
penilaian atas manajemen risiko, aktivitas pengendalian intern, tata
kelola, serta akurasi informasi. Hal ini mengindikasikan berbagai
perubahan dalam cara kerja auditor internal. Sebagai ilustrasi, dalam
peran ini, pengendalian lebih ditekankan melalui preventive control, yang antara lain diterjemahkan secara praktis melalui evaluasi atas pelaksanaan manajemen risiko. Hal ini membantu auditee
dalam mengantisipasi berbagai risiko yang mungkin mengancam pencapaian
tujuan. Salah satu perbedaan yang cukup “radikal” adalah peralihan dari compliance audit,
dengan segala karakteristiknya yang cenderung “kaku”, berorientasi pada
aturan, fokus pada penyimpangan dari aturan, dsb menjadi aktivitas
konsultansi, dengan memosisikan auditor internal dan auditee sebagai
mitra yang saling bekerjasama, atau lebih jauh lagi, menjadi pemandu
dalam perubahan organisasi (agent of change) yangfokus pada pencapaian tujuan organisasi dalam jangka panjang.
Dari uraian pada bagian sebelumnya, dapat
dilihat dengan jelas di mana peran aparat pengawas intern, yaitu untuk
memberikan keyakina memadai (quality assurance) bahwa pengendalian intern telah berjalan. Pengendalian intern itu sendiri pada dasarnya merupakan tanggung jawab manajemen auditee.
Sedikit lebih konkrit, peran ini dapat dilaksanakan dengan berbagai
bentuk kegiatan yang muaranya adalah dapat meyakinkan bahwa pengendalian
intern yang dijalankan oleh manajemen auditee sudah berjalan
dengan baik. Dampak lanjutannya tentu adalah kinerja birokrasi yang
lebih optimal, baik sebagai regulator, pelayanan publik, dan
fungsi-fungsi lainnya. Apabila mengacu pada PP SPIP, pengendalian intern
terutama ditujukan untuk 4 (empat) hal, yaitu: pencapaian tujuan,
keandalan laporan keuangan, pengamanan aset, serta ketaatan terhadap
peraturan. Kemudian, pengawas intern berperan untuk memberikan keyakinan
yang memadai bahwa tujuan-tujuan tersebut telah tercapai.
Yang juga perlu dicermati adalah, dari
keempat butir tersebut di atas, terlihat bahwa, dengan segala
komplikasinya, peran pengawas intern (auditor internal dalam konteks
pemerintahan) tidak bisa dilepaskan dari ketiga karakteristik
sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya. Sebagai watchdog,
yang meskipun bisa dikata agak “kuno”, namun kenyataannya tetaplah
dibutuhkan. Pemberian keyakinan yang memadai bahwa aset negara telah
dikelola dengan aman, serta ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan, tentu mau tidak mau harus dilaksanakan dengan cara
“mengawal” auditee agar senantiasa sesuai dengan kriteria “aset negara yang aman” dan “kesesuaian dengan peraturan”.
Pun begitu, apabila dilihat secara
kronologis atau berurutan, terlihat bahwa fungsi tersebut justru berada
pada butir ketiga dan keempat. Butir pertama adalah pencapaian tujuan
organisasi secara efektif dan efisien, serta butir kedua adalah
keandalan laporan keuangan. Pada kedua butir ini, peran sebagai katalis
dan konsultan tentu lebih dominan. Pengawas intern harus mampu membantu
serta mendampingi auditee dalam usaha pencapaian tujuannya.
Risiko yang mungkin muncul harus diantisipasi, serta kriteria operasi
yang baik juga harus terus dikembangkan. Salah satu langkah penting yang
telah dirintis dan seharusnya terus dikembangkan adalah komunikasi
dengan jajaran pimpinan serta manajemen dari auditee itu
sendiri, terutama terkait dengan tujuan yang hendak dicapai. Penyamaan
persepsi atas tujuan tersebut, dapat menjadi pijakan bagi pengawas
intern untuk menentukan tindakan apa yang bisa diperbuat dalam rangka membantu mewujudkan tujuan tersebut.
Adapun tantangan yang secara nyata
dihadapi saat ini oleh Kementerian, tergerusnya citra aparat Kementerian
Keuangan karena kasus-kasus yang marak terjadi. Di balik permasalah
“citra” tersebut, penting untuk didalami apakah “citra” tersebut melekat
dan secara nyata mencerminkan “substansi”, yakni perilaku aparat secara
umum, atau “citra” tersebut hanyalah “setitik nila” diantara
“sebelangga susu”. Tentu keduanya memiliki konsekuensi yang berbeda
dalam merumuskan tindakan penanganannya. Isu lainnya yang juga
senantiasa mengemuka misalnya terkait penyerapan anggaran. Bagaimana
Itjen mampu memetakan permasalahan terkait “selalu terlambatnya”
penyerapan anggaran, baik karena masalah teknis, atau justru bisa jadi
karena informasi yang kurang akurat yang diterima publik. Sekali lagi,
keduanya memiliki konsekuensi berbeda dalam merumuskan tindakan
penanganannya.
Selain kedua isu umum di atas, tentunya
masih terdapat “bergudang-gudang” (bukan hanya segudang) permasalahan
yang menanti solusi yang bisa ditawarkan pengawas intern. Untuk itu,
dengan berbagai “wajah” yang dimilikinya, pengawas intern (Itjen) dapat
terus memainkan peran-peran tersebut sesuai proporsi dan keperluan.
Muaranya adalah, sekali lagi, pencapaian tujuan organisasi (Kementerian
Keuangan) yang efektif dan efisien, laporan keuangan yang andal,
keamanan aset negara, serta operasional yang taat terhadap peraturan
perundang-undangan.
- PP 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
- http://csatria.blogspot.com/2009/02/paradigma-baru-internal-auditor.html, diakses pada 31 Januari 2011
- http://akuntansibisnis.wordpress.com/2010/11/03/paradigma-baru-internal-audit/, diakses pada 31 Januari 2011
- http://beritasore.com/2010/10/26/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-stagnan/diakses pada 31 Januari 2011
- Janzeddin, Yonas. 2010. Inspektorat Jenderal Kemenkeu dari Watchdog Menuju Guardian Angel Suatu Perspektif. Majalah Auditoria Vol IV 21. Jakarta.