Wednesday, September 18, 2013

“Kekayaan Negara yang Dipisahkan : Apakah Tidak Termasuk Keuangan Negara?”

http://www.bpk.go.id/web/?p=15213



“Kekayaan Negara yang Dipisahkan : Apakah Tidak Termasuk Keuangan Negara?”

12/09/2013 – 15:29
Jakarta, Kamis (12 September 2013) – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) menyelenggarakan Diskusi  Terbatas dengan tema “Kekayaan Negara yang Dipisahkan : Apakah Tidak Termasuk Keuangan Negara?” di Ruang Auditorium BPK RI, Jakarta pada hari ini (12/9). Acara ini menghadirkan narasumber Wakil Ketua BPK RIHasan Bisri, S.E., M.M., Ketua Dewan Pers, Prof. Bagir Manan, S.H., MCL, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LLM., Mantan Anggota BPK RI, Drs. Baharudin Aritonang, M.Hum., Tenaga Ahli Bidang Keuangan Negara, Dr. Siswo Sujanto, DEA.. Moderator dalam acara tersebut adalah pakar komunikasi politik, Effendi Gazali Ph.D., MPS. ID. Diskusi terbatas ini dihadiri oleh para pejabat dari unsur aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, BUMN, lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pejabat di lingkungan BPK RI.
Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, dibentuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Pasal 2 UU Keuangan Negara menentukan ruang lingkup keuangan negara yang antara lain meliputi kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas berdasarkan pendekatan tersebut dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Masuknya kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara sebagai bagian dari keuangan negara di atas didasarkan pada gagasan pemikiran bahwa Pemerintah wajib menyelenggarakan pelayanan publik dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Di sisi lain, untuk mengatur mengenai BUMN, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN). Pasal 4 ayat (1) UU BUMN menyebutkan, modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam perkembangannya, ketentuan tersebut telah dipertentangkan oleh sebagian pihak yang berpendapat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN tidak lagi menjadi bagian dari keuangan negara.
Pendapat tersebut didasarkan pada teori badan hukum bahwa kekayaan negara yang telah dipisahkan tersebut menjadi milik BUMN sebagai badan hukum privat dan negara memperoleh saham atas modal yang telah disetorkan. Saham inilah yang dicatatkan sebagai kekayaan negara. Selanjutnya, keuangan BUMN tidak bisa diperlakukan sebagai keuangan negara karena secara alamiah mengelola keuangan negara beda dengan mengelola keuangan BUMN.
Fungsi BUMN tidak semata-mata untuk mencari keuntungan, namun juga sebagai agent of development,  sehingga sumber-sumber kekayaan negara yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh negara sebagian besar dikelola melalui BUMN.
Agar BUMN bisa berkembang, maka BUMN perlu diberikan otonomi dalam pengelolaannya, yaitu mengikuti kaidah-kaidah bisnis yang sehat, termasuk mengikuti ketentuan undang-undang perseroan terbatas. UU BUMN telah memberikan banyak otonomi dan keleluasaan kepada BUMN, agar dapat dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis yang sehat.
Diskusi terbatas ini diselenggarakan dengan tujuan untuk: (1) Menggali pendapat/gagasan/masukan dari pihak-pihak yang kompeten dalam bidang ketatanegaraan, hukum pidana, ekonomi, serta praktisi mengenai hakikat dan ruang lingkup keuangan negara; (2) Menggali pendapat/gagasan/masukan dari para ahli/pihak yang kompeten mengenai kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN serta perekonomian negara; (3) Mengetahui persepsi publik mengenai kerugian BUMN, kerugian negara pada BUMN, serta korupsi pada BUMN; dan (4) Menyamakan langkah antara pihak-pihak yang memilikiawareness pada pengelolaan BUMN yang bersih dengan instansi yang berwenang dalam penegakan hukum (tindak pidana korupsi) pada BUMN serta BPK sebagai lembaga yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

BIRO HUMAS DAN LUAR NEGERI

Tuesday, September 17, 2013

Pencegahan Tindak Kecurangan


PENDAHULUAN
Tindak kecurangan saat ini terus terjadi. Kecurangan atau yang sering disebut
fraud dilakukan dengan beragam modus dan semakin berkembang seiring
perkembangan zaman.
Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2011
menyebutkan bahwa untuk tahun 2011 saja, nilai kecurangan dari tindak pidana korupsi
yang berhasil diselamatkan KPK sebesar Rp152,96 triliun. Jumlah tersebut terdiri atas
penyelamatan keuangan negara dan kekayaan negara dari sektor hulu migas sebesar
Rp152,43 triliun dan penyelamatan potensi keuangan negara akibat pengalihan hak
barang milik negara (BMN) sebesar Rp532,20 miliar.1
Menurut KPK, nilai tersebut didapatkan bukanlah dengan penindakan, melainkan
melalui upaya-upaya pencegahan, koordinasi, dan sinergi dengan instansi pemerintah
yang terkait, seperti BP Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal ini semakin menasbihkan pentingnya upaya
pencegahan bersama tindakan-tindakan represif dalam pemberantasan fraud.
Kecurangan secara umum merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk
mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung
merugikan pihak lain. Orang awam seringkali mengasumsikan secara sempit bahwa
fraud sebagai tindak pidana atau perbuatan korupsi.
Korupsi telah merugikan masyarakat. Saat ini jamak diketahui bahwa untuk
mendapat pelayanan prima dari instansi pemerintah, masyarakat seringkali terpaksa
memberikan gratifikasi ke aparat pemerintah. Tanpa gratifikasi tersebut, aparat
pemerintah seringkali memperlambat pelayanannya kepada masyarakat dengan
berbagai alasan. Parahnya tingkat korupsi di Indonesia tercermin dari adanya 51,592
laporan yang diterima KPK pada tahun 2011.2

Lanjut .....
http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/06/Pencegahan-Tindak-Kecurangan.pdf

Membangun Budaya Patuh di Bank

membangun-budaya-patuh-di-bank/


Membangun Budaya Patuh di Bank

Ketatnya regulasi tidak serta-merta membuat budaya patuh bank-bank, padahal kepatuhan menjadi bagian penting dari budaya sebuah bank. Kepatuhan harus menjadi budaya agar kasus ataupun skandal tidak lagi melanda bank. Yulian Hadromi
Industri perbankan adalah industri yang sarat dengan ketentuan dan pengaturan (most heavily regulated industries) dibandingkan dengan industri lain.
Setiap aktivitas dan transaksinya diatur oleh suatu ketentuan dan di satu sisi Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral akan mengawasi perilaku bank-bank yang berada dalam pengawasannya.
Apakah dengan kondisi tersebut, budaya patuh “otomatis” sudah tercemin dalam aktivitas yang dilakukan setiap bank?
Di dalam Wikipedia, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) dan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, yang kesemuanya itu ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan hidup bermasyarakat.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “patuh” secara etimologi berarti taat, setia, saleh, dan penurut. Dapat disimpulkan, “budaya patuh” adalah suatu kondisi yang dalam hal ini perilaku manusia yang tunduk dan taat tercermin dalam perilaku, bahasa, organisasi, sosial, dan lain-lain yang kesemuanya itu ditujukan untuk melangsungkan hidup bermasyarakat.
Pentingnya kepatuhan perbankan ditandai dengan adanya kewajiban setiap bank untuk menugaskan salah satu direksi sebagai direktur kepatuhan yang tugas dan tanggung jawabnya antara lain memastikan bahwa bank memenuhi ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku dalam rangka prinsip kehati-hatiannya.
Akan tetapi, hematnya, kepatuhan dalam institusi perbankan bukan hanya tentang pentingnya mematuhi ketentuan dan prosedur, melainkan tentang cara berperilaku dan cara-cara memperlakukan klien dan pelanggan. Secara sederhana, kepatuhan adalah tentang melakukan hal yang benar dan membuat pilihan yang tepat. Semua orang diharapkan sepenuhnya memahami pentingnya integritas dan kepatuhan.
Kasus Bank Century (sekarang Bank Mutiara) merupakan contoh yang paling hangat dan tepat untuk menunjukkan betapa “kepatuhan” belum menjadi bagian dari budaya. Diketahui bahwa Bank Century dalam operasinya menjual reksa dana, padahal bank ini tidak terdaftar sebagai APERD (agen penjual efek reksa dana). Salah satu reksa dana yang dijual Bank Century merupakan reksa dana “bodong” alias dibuat tanpa seizin Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Hebatnya lagi, produk ini kabarnya sudah dijual sejak 2001. Padahal, jelas Peraturan Bank Indonesia (PBI) mensyaratkan reksa dana yang dijual adalah reksa dana yang telah terdaftar di Bapepam. Ketentuan Bapepam mensyaratkan bank yang akan menjual produk reksa dana harus terdaftar terlebih dahulu sebagai APERD di Bapepam.
Kasus menarik lain, yaitu kasus letter of credit (L/C) fiktif di Bank Negara Indonesia (BNI) yang diduga adanya internal dan eksternal fraud sehingga merugikan negara hampir Rp1,7 triliun. Dalam kasus BNI ini diindikasikan juga telah terjadi pelanggaran ketentuan internal bank tersebut.
Dari gambaran kasus di atas, ternyata heavily regulated tidak serta-merta membuat budaya patuh akan melekat dalam perilaku individu bank-bank. Membuat patuh menjadi budaya bukanlah pekerjaan yang mudah.
Dibutuhkan suatu kerja sama dan kesadaran antara unit kerja dalam suatu organisasi, termasuk keterlibatan manajemen dan seluruh stakeholder untuk mendukung dan menciptakan budaya patuh tersebut.
Dengan kata lain, kepatuhan bukan hanya tanggung jawab direktur kepatuhan ataupun divisi kepatuhan, melainkan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam menjalankan aktivitas, transaksi, dan bisnis bank tersebut. Beberapa pendekatan sebagai dasar untuk membangun budaya patuh di dalam organisasi bank, antara lain:
1. Transformasi Bisnis
Melakukan tata kelola yang baik dan pengawasan di organisasi membutuhkan transformasi bisnis yang luar biasa yang jauh melampaui fungsi audit, kepatuhan, dan fungsi manajemen risiko.
Setiap orang perlu mengenali dan menanggapi dampak risiko pada pengambilan keputusan sehari-hari. Melihat kepatuhan dan pengawasan sebagai alat yang dapat membantu menciptakan nilai daripada aturan-aturan dan kebijakan yang dipaksakan.
Ini memerlukan transformasi, yaitu suatu pergeseran dari pola pikir yang secara tradisional melihat risiko, audit, dan kepatuhan sebagai fragmentasicost centers ke pola pikir yang mengambil suatu pendekatan holistik bagaimana investasi di area tersebut dapat memperkaya kemampuan suatu organisasi untuk menciptakan value dan sebagai penggerak untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan (sustainable profit).
2. Peran Manajemen
Nilai-nilai dan sikap yang ditunjukkan manajemen mempunyai pengaruh terbesar pada budaya suatu organisasi bank. Jika manajemen tidak mempunyai komitmen dan memberikan contoh, mereka tidak akan dapat berharap banyak para karyawan di bawahnya akan melakukan hal yang diharapkan.
Selain itu, manajemen memiliki tanggung jawab untuk memperkenalkan struktur organisasi yang mendukung budaya patuh. Sering unit-unit kerja memandang dan memperlakukan kepatuhan sebagai kegiatan terpisah ketimbang bagaimana memasukkan kepatuhan dalam day to day aktivitas bisnis.
Komitmen dan kerja sama seluruh komponen yang ada dalam struktur organisasi bank, termasuk manajemen, unit bisnis, keuangan, operation, teknologi, dan human resources, untuk dapat menggabungkan antara kegiatan kepatuhan dan visi serta misi perusahaan diharapkan dapat meningkatkan keuntungan bagi perusahaan.
3. Peran Divisi Kepatuhan dan Compliance Awareness
Keterlibatan divisi kepatuhan untuk lebih proaktif memberikan programcompliance awareness ke unit-unit kerja lain dalam struktur organisasi sangat diperlukan. Melalui compliance manual, misalnya, dapat dijelaskan apa itu kepatuhan, mengapa dan bagaimana divisi kepatuhan dapat bekerja sama dengan unit kerja untuk menciptakan compliance value di bank.
Program ini dapat dilakukan melalui media pelatihan, tulisan, brosur,workshop, dan meeting dengan unit-unit kerja. Perlu juga diperhatikan pembuatan prosedur dan kebijakan dengan menggunakan bahasa yang lebihfriendly sehingga lebih mudah dibaca, dipahami, dan dimengerti.
Dengan bertambahnya pengetahuan unit-unit kerja mengenai regulasi, kebijakan, prosedur, kode etik, serta nilai-nilai kepatuhan, diharapkan unit-unit kerja tersebut dapat menjalankan aktivitasnya lebih confident dan efisien di dalam mencapai tujuan, visi, dan misi yang mereka tetapkan.
Untuk tercapainya sinergi yang baik dengan unit-unit kerja lain, divisi kepatuhan harus menempatkan diri sebagai business partner tanpa menghilangkan independensinya. Ini dapat ditunjukan melalui advise-advise-nya yang lebih inovatif dan tidak kaku.
Budaya patuh yang kuat hanya dapat terjadi dengan adanya hubungan partnership antara staf divisi kepatuhan dan unit bisnis. Solusinya adalah memastikan bahwa tujuan-tujuan antarkedua unit tersebut selaras bersama.
4. Pemantauan dan Pengawasan
Fungsi pemantauan dan pengawasan diperlukan untuk menjaga apa yang telah dicapai dan untuk mengingatkan unit-unit kerja bagaimana mereka harus bertindak. Fungsi pemantauan dan pengawasan dapat dilakukan oleh beberapa unit organisasi di bank, seperti unit kerja/bisnis terkait, unit audit, unit manajemen risiko, maupun unit kepatuhan sendiri.
Dari pendekatan-pendekatan yang disebutkan di atas, langkah yang harus diperhatikan bank untuk memastikan bahwa bank mempunyai program kepatuhan yang baik, termasuk dan tidak terbatas pada komponen-komponen di bawah ini:
•    Pengawasan oleh dewan direksi dan komunikasi yang bersifat top-down
 Kebijakan dan prosedur yang baik
•    Pemantauan dan pengawasan yang efektif
•    Analisis atas produk baru serta analisis proses risikonya
•    Tracking yang efektif terhadap ketentuan-ketentuan/peraturan yang baru dalam rangka penyesuaian dengan ketentuan internal bank
•    Audit yang independen
•    Code of conduct dan etika serta anti-fraud programs yang efektif, dan
•    Tersedianya sumber daya manusia yang cukup. (*)
Penulis adalah praktisi perbankan.

Saturday, September 14, 2013

Membebaskan Perbankan Nasional dari Kecurangan

Membebaskan Perbankan Nasional dari Kecurangan

oleh : Farida Peranginangin

SEPANJANG tahun 2004 ada beberapa berita yang mengungkapkan tentang kecurangan (fraud) yang terjadi pada bank. Ada kecurangan yang segera terungkap karena secara langsung merugikan nasabah penyimpan dana, karena dana tersebut ternyata tidak dicatat sebagai simpanan di bank, melainkan "disimpan" untuk kepentingan oknum, ada transfer yang dibelokkan, ada pula kecurangan yang akut oleh pejabat bank dalam bentuk laporan keuangan yang dipalsukan sebagai upaya untuk menutupi penyalahgunaan aset bank.

TAHUN sebelumnya juga Indonesia tak bebas dari kecurangan perbankan. Skandal letter of credit (L/C) fiktif dengan nilai triliunan rupiah terungkap tahun 2003. Akan tetapi, fenomena adanya kecurangan pada setiap tahun bukan hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara, kecurangan terjadi setiap tahun, dan terjadi pada berbagai industri, pada perusahaan besar maupun kecil. Risiko kecurangan dihadapi tidak hanya oleh bank, tetapi juga perusahaan pada industri lain.

Industri perbankan adalah industri yang menjual kepercayaan. Tidak satu pihak pun bersedia menempatkan uangnya di bank apabila tidak mempercayai bank tersebut. Menempatkan uang di bank adalah sebuah tindakan yang memberi potensi keuntungan berupa bunga sekaligus risiko kehilangan uang itu. Berbeda dengan jenis perusahaan lainnya yang dana untuk usahanya terutama berasal dari para pemilik, sumber dana terbesar untuk mendanai kegiatan usaha bank pada umumnya bukan merupakan komponen modal yang disetorkan para pemilik, melainkan berasal dari dana berbagai pihak yang ditempatkan di bank. Karena sifat bank di mana pada umumnya total dana pihak ketiga lebih besar daripada modal yang disetorkan, maka kecurangan pada bank tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak manajemen dan pegawai, tetapi juga oleh pemilik.

Kerugian dari kecurangan

Pada umumnya kecurangan yang terjadi pada perusahaan jenis apa pun sulit dihitung total kerugian yang ditimbulkannya karena beberapa alasan. Pertama, banyak kecurangan yang tidak terungkap. Kedua, meskipun kecurangan diungkap, tidak seluruh perusahaan melaporkannya kepada yang berwajib, terutama dengan pertimbangan menghindari risiko reputasi bagi perusahaan bersangkutan. Ketiga, ada dampak kecurangan yang sulit untuk dihitung nilainya, seperti turunnya motivasi pegawai, hilangnya reputasi, serta hilangnya potensi pasar.

Pada kecurangan yang dialami bank, dampaknya dapat meluas ke bank lain yang sejenis atau bahkan ke sistem perbankan secara keseluruhan. Kecurangan pada bank BUMN, misalnya, dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat tidak hanya kepada bank bersangkutan, tetapi juga kepada bank BUMN lainnya. Dampak kecurangan dapat meluas ke sistem perbankan secara keseluruhan apabila bank yang bersangkutan memiliki kewajiban kepada bank lainnya dan tidak mampu memenuhi kewajibannya karena merugi atau pailit akibat kecurangan.

Risiko gangguan sistemik baik karena hilangnya kepercayaan masyarakat pada perbankan atau sekelompok bank akibat kecurangan pada salah satu bank, maupun gangguan sistemik karena adanya kaitan bayar-membayar antarbank, merupakan bahaya yang lebih besar akibat kecurangan, karena dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Penyebab kecurangan

Hingga saat ini ada satu teori yang dikenal untuk menjelaskan terjadinya kecurangan, yakni teori atau model Segitiga Kecurangan (The Fraud Triangle). Dijelaskan, ada tiga faktor yang secara bersama-sama menyebabkan kecurangan: 1) motive atau pressure; 2) perceived opportunity; dan 3) rasionalisasi atau kemampuan pelaku kecurangan untuk mencari alasan pembenar atas kecurangan (Peterson, BK, 2004; Wolfe, DT & Hermanson, DR, 2004).

Motive atau pressure adalah faktor psikologis pada seseorang yang muncul karena adanya kebutuhan yang mendesak atau perasaan yang timbul dalam hubungan antara seseorang dan tempatnya bekerja. Motive atau pressure bisa berupa kebutuhan keuangan yang mendesak atau keinginan balas dendam yang ditujukan kepada perusahaan tempat bekerja.

Perceived opportunity atau adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan umumnya diasosiasikan dengan faktor yang melekat pada organisasi. Lemahnya kontrol internal atau budaya kerja yang terlalu memercayai seseorang adalah contoh dari adanya peluang. Meski demikian, dalam kasus kecurangan pada bank kesempatan berbuat curang juga dapat disebabkan oleh faktor di luar bank, misalnya lemahnya pengawasan atas bank, tidak adanya law enforcement atas pelaku, atau ketiadaan pengaturan yang membatasi ruang gerak yang memungkinkan terjadinya kecurangan.

Rasionalisasi adalah kemampuan seseorang untuk membenarkan tindakannya. Dari perbincangan terhadap pelaku kecurangan, para ahli menyimpulkan bahwa umumnya pelaku mengatakan bahwa tindakannya bukanlah suatu tindak kejahatan, antara lain karena pelaku merasa telah berjasa pada perusahaan, atau karena merasa bahwa yang sedang dilakukannya adalah meminjam uang perusahaan.

Mengenal pelaku

Kecurangan dapat dilakukan oleh orang di dalam perusahaan (insider fraud) atau di luar perusahaan (outsider fraud). Pelaku kejahatan dari dalam umumnya dibedakan atas pihak manajemen (pimpinan) atau pegawai, sedangkan pelaku outsider fraud biasanya pihak rekanan (vendor) atau konsumen. Namun, dalam kasus kecurangan pada bank, sebagaimana kita jumpai, pelaku insider fraud tidak hanya manajemen dan pegawai, tetapi juga pemiliknya.

Data empiris menunjukkan bahwa pelaku kecurangan sebagian besar adalah orang di dalam (Wolfe & Hermanson, 2004). Survei oleh Ernst & Young atas 10.000 organisasi dalam 30 industri di 15 negara menyimpulkan: 82 persen dari responden menyatakan bahwa semua kecurangan yang akhirnya terungkap melibatkan pegawai di dalam perusahaan; 28 persen melibatkan pihak manajemen (Ernst & Young, 2000). Dengan perkataan lain, data empiris menunjukkan sebagian besar pelaku adalah orang dalam perusahaan. Dikaitkan dengan model Segitiga Kecurangan, fakta ini relevan dengan teori, terjadinya kecurangan antara lain harus ada kesempatan. Kesempatan umumnya lebih dipahami oleh orang dalam.

Beberapa ahli menyatakan bahwa semua orang dapat menjadi pelaku kecurangan. Namun, berdasarkan pengamatan dan pengalaman menangani kecurangan, disimpulkan adanya kesamaan tertentu di antara pelaku.

Berdasarkan pengalamannya sebagai auditor selama 15 tahun, Wolfe dan Hermanson menyimpulkan bahwa pelaku kecurangan umumnya adalah seseorang yang: a) memiliki posisi atau fungsi di dalam organisasi yang memberi kesempatan untuk melakukan kecurangan; b) cukup cerdas untuk memahami adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan; c) memiliki ego yang kuat dan sangat percaya diri; dan d) memiliki kemampuan memaksa orang lain ikut melakukan atau menutupi kecurangan.

Pencegahan pada bank

Tampaknya kita tidak bisa berharap untuk bebas dari kecurangan. Selama ada orang- orang yang begitu membutuhkan uang, baik kebutuhan riil (need) atau keserakahan (greed), dan orang tersebut berada di bank serta beranggapan bahwa tindakan itu bukan kejahatan, tinggal dibutuhkan satu faktor untuk curang: sebuah kesempatan.

Pencegahan kecurangan pada bank hanya dapat dilakukan dengan meminimalkan kesempatan. Dari sisi bank sendiri sebagai sebuah organisasi, hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan standard operating procedure yang menutup celah kecurangan, pengamanan pada teknologi informasi, budaya kerja penuh kehati-hatian, dan audit internal yang tajam dan punya integritas.

Dapatkah nasabah penyimpan dana menaruh harapan pada bank saja? Sama sekali tidak. Audit internal pada bank, yang fungsinya sebagai unit yang diharapkan pertama kali akan mendeteksi adanya kecurangan, pada kenyataannya tak akan mampu melakukan apa pun apabila kecurangan dilakukan oleh pihak manajemen, apalagi pemilik bank. Fenomena ini bukan khas Indonesia karena terjadi juga di beberapa negara.

Harapan untuk meminimalkan kecurangan diletakkan terutama pada otoritas pengawas bank dan lembaga penegak hukum. Ada banyak hal yang sudah dilakukan, tetapi masih banyak pula yang perlu disempurnakan. Pencegahan pertama adalah dengan fit and proper test. Seleksi memang sudah dilakukan saat para calon hendak memangku jabatan, tetapi mungkin perlu dilakukan evaluasi secara periodik.

Pengenaan hukuman kepada para pelaku kecurangan perbankan juga menjadi faktor penentu. Tanpa adanya penegakan hukum, setiap perbuatan curang akan menjadi pemacu bagi orang lain untuk melakukan kecurangan. Lemahnya penegakan hukum memunculkan lelucon bahwa bisnis yang paling menguntungkan adalah pembobolan bank.

Untuk meminimalkan dampak akal-akalan para pemilik bank yang memecah kepemilikannya sedemikan rupa, diperlukan kerja sama antara Bank Indonesia dan Bapepam untuk membuat basis data pemilik bank, sebagaimana telah dilakukan oleh Bank Sentral AS (The Fed). Belajar dari pengalaman terjadinya kecurangan dan bangkrutnya bank karena hubungan kekerabatan dalam kepemilikan bank.

Pada era transfer dana secara elektronis, di mana dana bisa dipindahkan dalam hitungan menit, sangat sulit untuk mengembalikan kerugian akibat kecurangan apabila telah terjadi. Maka tidak ada pilihan lain selain tidak memberi kesempatan untuk terjadinya kecurangan.

Farida Peranginangin Mahasiswa S-3 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Kompas, Senin, 14 Februari 2005

Pola Hubungan Komposisi Kepemilikan Bank dengan Jenis Kecurangan

Pola Hubungan Komposisi Kepemilikan Bank dengan Jenis Kecurangan

oleh : Djoko Retnadi

UNTUK kesekian kalinya, industri perbankan kita dinodai perilaku tidak terpuji dari pemiliknya sehingga Bank Indonesia akhirnya harus mencabut izin operasional dua bank, yaitu Bank Dagang Bali dan Bank Asiatic. Jika melihat kasusnya, sebenarnya tidak canggih karena BI dapat mendeteksi permasalahannya sudah sejak lama. Dengan demikian, yang patut dan menarik dipertanyakan, mengapa perilaku tidak terpuji pemilik bank masih saja dapat terjadi di tengah gencarnya seruan implementasi manajemen risiko dan tata kelola perusahaan yang baik.

TINDAKAN Bank Indonesia (BI) mencabut izin dua bank itu jelas merupakan edukasi yang luar biasa bagi pemilik maupun pengurus bank untuk lebih serius dan hati-hati dalam mengelola bank. Juga bagi deposan agar lebih selektif menerima tawaran menyimpan uang di bank.

Penyebab di balik terjadinya perilaku yang tidak terpuji pada kedua bank tersebut disinyalir karena didorong adanya kepemilikan saham mayoritas di satu tangan pada kedua bank tersebut (I Gusti Made Oka pemegang saham 85-90 persen Bank Dagang Bali dan Tong Muk Keng menguasai 80-90 persen saham Bank Asiatic).

Pada tahun 2003, perbankan kita sempat diguncang mega skandal surat kredit (L/C ekspor) di Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun dan kecurangan di Bank BRI yang berpotensi menimbulkan kerugian sekitar Rp 294 miliar. Modus operandi di kedua bank BUMN itu pada dasarnya sama, kolusi antara pegawai bank yang berniat melakukan korupsi dan pihak ketiga di luar bank.

Adapun motif kecurangan yang terjadi di BDB dan Bank Asiatic baru-baru ini agak berbeda. Kecurangan yang dilakukan pemilik bank bermotif untuk menilep dana pihak ketiga melalui rekayasa pemberian kredit dengan jaminan negotiable certificate deposit atau melalui pembelian obligasi yang diterbitkan perusahaan satu grup. Tujuan transaksinya untuk menutupi pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) kepada perusahaan satu grup (Kompas, 10/4).

Jika dicermati, komposisi kepemilikan saham dengan jenis kecurangan yang sering timbul di masing-masing bank dapat ditarik suatu pola hubungan keterkaitan, sebagaimana diuraikan di dalam tabel.

Walaupun dua modus kecurangan di bank BUMN dan bank swasta dilakukan dua pihak yang berbeda (di satu sisi dilakukan pegawai bank dan di sisi lain pemilik bank), kerugian yang ditimbulkan mungkin relatif sama saja. Jika dilihat dari tabel, kecurangan di bank BUMN umumnya dilakukan pegawai bank yang berkolusi dengan pihak ketiga di luar bank. Pegawai di bank BUMN cenderung tidak terlalu peduli dengan kekuasaan yang dimiliki pemegang saham karena pada dasarnya Menteri Keuangan selaku pemilik bank BUMN bukanlah principal (pemilik), namun lebih banyak sebagai quasi agent (Mohamad Iksan, Kompas 13/3). Akhirnya, di bank BUMN kurang dirasakan eksistensi pressure group (kelompok penekan) yang diharapkan mampu mendorong pegawai bank melaksanakan tata kelola perusahaan secara baik.

Di bank swasta (baik yang telah tercatat di bursa maupun yang belum) yang mayoritas sahamnya dimiliki satu pihak, pada umumnya kecurangan yang timbul justru dilakukan pemilik bank. Pada bank tersebut, pemilik saham mayoritas dapat berperan sekaligus sebagai direksi maupun debitor bank. Begitu dominannya kekuatan pemegang saham mayoritas di bank itu, tak satu pun kekuatan internal yang dapat mencegah perilaku jahat pemilik, termasuk dalam menilep uang nasabah penyimpan.

Kecurangan perbankan paling jarang terjadi di bank yang telah listed dan distribusi kepemilikannya cukup menyebar. Pada bank seperti itu proses penunjukan pengurus bank pada umumnya dilakukan secara profesional sehingga sistem dan prosedur operasional perbankan dapat ditegakkan dengan baik. Jika masih terjadi kecurangan di bank semacam itu, biasanya dilakukan dengan teknik sangat canggih yang tidak dapat dideteksi pihak internal bank secara dini.

Beberapa pemikiran

Menghadapi berbagai bentuk kecurangan perbankan pada berbagai kategori bank, kiranya perlu dirumuskan kembali upaya-upaya untuk mencegah terulangnya kasus kecurangan perbankan melalui berbagai cara. Misalnya, pertama, perlu segera ditetapkan batas maksimum kepemilikan saham bank di satu tangan.

Sudah saatnya bagi BI segera memberlakukan batas kepemilikan saham oleh satu pihak di perbankan. Pembatasan ini bukanlah hal baru bagi perbankan di beberapa negara. Munculnya kekhawatiran akan gagalnya proses divestasi saham perbankan nasional jika BI memberlakukan pembatasan kepemilikan saham sebenarnya merupakan hal yang dibesar-besarkan. Komposisi kepemilikan saham yang cukup tersebar pada berbagai pihak jelas akan efektif mencegah terjadinya moral hazard pemilik bank untuk campur tangan dalam operasional perbankan serta akan menciptakan saling kontrol di antara pemegang saham (built in control).

Kedua, pengawasan BI harus lebih diperkuat, khususnya pengawasan melalui tim on site supervision (OSP) yang selama ini dirasakan sebagai cara efektif untuk mencegah terjadinya kecurangan di perbankan.

Ketiga, pengenaan premi penjaminan simpanan wajib diikuti bank-bank yang berisiko tinggi, namun pengenaan tingkat preminya yang berbeda-beda. Pengenaan premi tinggi untuk bank yang berisiko tinggi diharapkan menjadi stimulus bagi bank tersebut untuk terus berusaha memperbaiki profil risiko banknya.

Keempat, perbankan harus mulai menumbuhkan budaya kontrol, khususnya terhadap lingkungan sesama pegawai. Jika di suatu unit kerja terjadi kecurangan (khususnya KKN), hendaknya pegawai berusaha mencegah perbuatan itu agar bank terhindar dari kerugian. Harus ditanamkan kepada seluruh pegawai bank bahwa kecurangan yang diperbuat oleh seorang pegawai akan berdampak pada kerugian yang akan menyebabkan seluruh pegawai menderita. Contohnya di Bank Asiatic dan BDB, terjadi PHK.

Kelima, bank-bank harus didorong untuk segera go public, salah satu cara mendorong perbankan untuk menerapkan tata kelola perusahaan dengan benar, sekaligus menyebar komposisi kepemilikan saham. Namun, go public ini bukan sekadar kosmetik, menjual saham ke masyarakat dengan porsi kurang dari 50 persen.

Bank adalah lembaga kepercayaan yang diperkenankan hidup dengan tingkat leverage sangat tinggi sehingga kepentingan masyarakat penabung harus mendapatkan perlindungan agar terhindar dari kecurangan yang dilakukan para pelaku yang terlibat dalam pengurusan bank.

Djoko Retnadi Pengamat dan Praktisi Perbankan

Kompas, Selasa, 13 April 2004

Friday, September 13, 2013

Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet

Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet

Harga: Rp59.800,00
Rp50.830,00
Anda Hemat: 15.00%
Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet
PESAN BUKU INI VIA EMAIL

Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet
Penerbit      :  Elex Media Komputindo
Pengarang  :  Iswi Hariyani, S.H., M.H
Halaman      :  332 hal.
ISBN              :  9789792781861



Restrukturisasi dan penghapusan kredit macet telah lazim dilakukan di dunia perbankan. Akan tetapi, dalam praktiknya masih ada diskriminasi karena fasilitas semacam ini lebih banyak diberikan kepada debitur besar. Debitur mikro dan debitur kecil yang kebanyakan nilai agunannya jauh lebih besar dibandingkan nilai kreditnya justru sering kali tidak diberi fasilitas tersebut.

Mereka lebih sering dipaksa melunasi kredit yang macet secara tunai atau melalui pelelangan agunan yang dipaksakan. Hal tersebut seharusnya tidak boleh terjadi.
Dalam penjelasan Pasal 8 Ayat (2) huruf e UU 10/ 1998 tentang Perbankan, secara jelas diatur tentang larangan diskriminasi dalam pemberian kredit perbankan. Restrukturisasi kredit-sesuai PBI 7/ 2005 Pasal 1 angka 25-merupakan upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui: (a) penurunan suku bunga kredit, (b) perpanjangan jangka waktu kredit, (c) pengurangan tunggakan bunga kredit, (d) pengurangan tunggakan pokok kredit, (e) penambahan fasilitas kredit, dan (f) konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.

Restrukturisasi kredit umumnya diarahkan untuk menyelamatkan kredit bermasalah (kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet). Kebanyakan nasabah debitur, khususnya debitur mikro dan debitur kecil, tidak tahu tentang seluk-beluk pemberian fasilitas restrukturisasi dan penghapusan kredit macet di perbankan. Akibatnya mereka memiliki kedudukan yang lebih lemah dan sering kali kesulitan mengakses fasilitas tersebut. Padahal, kedua fasilitas tersebut telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia atau PBI 7/ 2005. Di samping itu, Pemerintah juga telah mengeluarkan PP 14/ 2005 dan PP 33/ 2006 yang antara lain mengatur program penghapusan kredit macet di bank BUMN. Melalui PP 14/ 2005 dan PMK 31/ 2005, debitur UMKM di bank BUMN mendapatkan fasilitas hapus tagih disertai pemberian potongan pokok utang hingga 50% (jika masih punya jaminan kebendaan) dan 15% (jika sudah tidak punya jaminan kebendaan). Pimpinan bank BUMN juga menjanjikan potongan pokok hutang 25% bagi debitor kredit macet yang harus diselesaikan melalui PP 33/ 2006. Penyelesaian kredit macet di bank BUMN melalui PP 14/ 2005 menggunakan �mekanisme negara� sehingga masih melibatkan PUPN. Di lain pihak, PP 33/ 2006 sudah menggunakan �mekanisme korporasi� sehingga bank BUMN dapat menyelesaikan kredit macet secara mandiri tanpa melibatkan PUPN.

Restrukturisasi dan penghapusan kredit macet merupakan tindakan yang sudah lazim dilakukan di kalangan perbankan untuk menurunkan rasio kredit bermasalah (non- performing loan) agar tingkat kesehatan bank tetap terjaga dengan baik. Meskipun demikian, program restrukturisasi dan penghapusan kredit macet harus dilaksanakan secara benar sesuai aturan hukum yang berlaku agar tidak sampai menimbulkan moral hazard yang dapat merugikan pihak bank, debitor, dan masyarakat. Di masa kini, restrukturisasi dan penghapusan kredit macet secara umum telah diatur secara jelas dalam UU Perbankan (UU 10/1998), Peraturan Bank Indonesia (PBI 7/2005), dan dalam pedoman perkreditan di masing-masing bank. Penghapusan (write-off) terhadap kredit macet adalah bagian tak terpisahkan dari manajemen risiko penyaluran kredit perbankan.

Penghapusan kredit macet terdiri atas dua tahap, yaitu : (a) Hapus buku atau penghapusan secara bersyarat atau conditional write-off, dan (b) Hapus tagih atau penghapusan secara mutlak atau absolute write-off. Dalam program hapus buku, portofolio kredit macet dikeluarkan dari pembukuan bank, namun pihak bank masih tetap melakukan penagihan atas kredit macet tersebut. Jika program hapus buku tidak berhasil dan proses penagihan sulit dilakukan, maka manajemen bank dapat membuat program hapus tagih sehingga portofolio kredit macet tersebut tidak perlu ditagih lagi. Hapus buku dan hapus tagih terhadap kredit macet baru boleh dilaksanakan jika pihak bank telah berupaya keras 

Monday, September 9, 2013

Booklet Perbankan 2013

http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C2A26001-FCC3-4783-A397-1FECE3A89599/28714/BOOKLETPERBANKANINDONESIATAHUN2015.pdfhttp://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C2A26001-FCC3-4783-A397-1FECE3A89599/28714/BOOKLETPERBANKANINDONESIATAHUN2015.pdf


PENGANTAR
Booklet Perbankan Indonesia edisi penerbitan Tahun 2013 ini
merupakan media publikasi yang menyajikan informasi singkat
mengenai perbankan Indonesia. Dari booklet ini, diharapkan pembaca
akan memperoleh informasi singkat mengenai arah kebijakan
perbankan tahun 2013 dan peraturan di bidang perbankan yang
dikeluarkan Bank Indonesia dalam periode tahun 2012.
Dalam Booklet edisi ini informasi ketentuan terbaru yang disajikan
antara lain mengenai (a) kegiatan usaha bank berupa penitipan
dengan pengelolaan/trust, (b) kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti bank, (c) penerapan kebijakan produk
pembiayaan kepemilikan rumah dan pembiayaan kendaraan
bermotor bagi bank umum Syariah dan UUS, (d) kepemilikan saham
bank umum, (e) kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil
risiko dan Pemenuhan Capital Equaivalency Maintained Assets (CEMA)
dan (f) beberapa perubahan ketentuan perbankan sebelumnya.
Selanjutnya, apabila diperlukan kejelasan dan pengertian
mendalam terkait dengan ketentuan-ketentuan perbankan, pembaca
dapat mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan BI yang antara lain
dapat diperoleh melalui website BI (www.bi.go.id).
Dengan keterbatasan informasi yang tersedia dalam Booklet
Perbankan Indonesia ini, kami tetap berharap agar informasi yang
disajikan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi pembaca.
 Jakarta, April 2013
 Bank Indonesia
 Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan

Booklet Perbankan 2012

Booklet Perbankan 2012
Booklet Perbankan Indonesia Edisi Tahun 2012 ini merupakan media publikasi
yang menyajikan informasi singkat mengenai perbankan Indonesia. Dari booklet ini,
diharapkan pembaca akan memperoleh informasi singkat mengenai kebijakan dan
peraturan di bidang perbankan yang dikeluarkan Bank Indonesia sampai dengan Maret
2012.
Dalam Booklet edisi ini informasi terbaru yang disajikan antara lain Kebijakan
Perbankan Tahun 2012, Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum yang Melakukan
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain, Penerapan Strategi
Anti Fraud Bagi Bank Umum, Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Umum yang
Melakukan Layanan Nasabah Prima, Pedoman Perhitungan ATMR Risiko Kredit dengan
Menggunakan Pendekatan Standar, Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit,
Fungsi Kepatuhan Bank Umum Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang
Melakukan Aktivitas Pemberian Kredit Kepemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan
Bermotor, dan beberapa perubahan ketentuan perbankan sebelumnya.
Selanjutnya, apabila diperlukan kejelasan dan pengertian mendalam terkait
dengan ketentuan-ketentuan perbankan, pembaca dapat mengacu pada ketentuan
yang dikeluarkan BI yang antara lain dapat diperoleh melalui website BI (www.bi.go.id).
Dengan keterbatasan informasi yang tersedia dalam Booklet Perbankan Indonesia
ini, kami tetap berharap agar informasi yang disajikan dapat memberikan manfaat yang
optimal bagi pembaca