Saturday, May 31, 2008

ALIANSI STRATEGIS: Solusi Jitu Membumikan Mediasi Perbankan


”Good reputation is more valuable than money”
(Publilius Syrus)


Dalam waktu sekejap, suatu organisasi bisnis niscaya mengalami persoalan yang sangat serius ketika reputasi mereka hancur ’dimata dunia’. Bahkan mesti hengkang dari blantika arena percaturan bisnis begitu track record perusahaan sudah hancur dan tidak dapat terselamatkan lagi.

Apatah bagi dunia perbankan! Reputasi sungguh merupakan “barang mewah” --lebih berharga dari tumpukan pundi-pundi-- sebagaimana pendapat Publilius Syrus di atas. Karena bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan. Tidak ada satu bank-pun di kolong langit ini yang mampu bertahan dengan mengabaikan risiko reputasi, yaitu risiko yang timbul akibat adanya publikasi negatif berkaitan dengan operasional bank atau persepsi negatif terhadap sebuah bank. Oleh karena itu, perbankan nasional terus membangun, merawat dan menjaga reputasi industri agar senantiasa baik.

KENISCAYAAN MEDIASI PERBANKAN: Das Sein vs Das Sollen
Pelaksanaan mediasi perbankan yang gencar dikampanyekan oleh Bank Indonesia (BI) pada beberapa tahun terakhir merupakan salah satu wujud nyata upaya menjaga reputasi dimaksud. Untuk itu, BI telah meluncurkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 jo. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tentang Mediasi Perbankan dan PBI No. 7/7/PBI/2005 jo. Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/24/DPNP tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang secara tegas mengatur bagaimana segenap hal tersebut harus dilakukan. Tujuan BI adalah supaya seluruh bank aware di dalam menyelesaikan setiap dispute yang terjadi dengan nasabah mereka.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mediasi perbankan merupakan aspek penting dalam upaya menjaga reputasi dan kredibilitas bank di mata masyarakat sekaligus melindungi kepentingan dan posisi nasabah. Hal ini merupakan keniscayaan!!!. Tidak berlebihan jika BI menempatkan mediasi perbankan sebagai pilar ke enam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Karena, seiring dengan semakin agresifnya perbankan berinovasi dengan produk-produk andalan mereka -pada saat yang bersamaan- peluang terjadinya perselisihan antara perbankan versus nasabahnya semakin menganga. Coba perhatikan statistik pengaduan nasabah yang dikeluarkan oleh BI. Pada periode laporan triwulan I Tahun 2007, telah tercatat sebanyak 79.322 berbagai bentuk kasus persengketaan. Perbankan tidak dapat memandang "sebelah mata" perselisihan-perselisihan yang terjadi itu. Ongkos begitu mahal akan terbuang sia-sia jika hal tersebut benar-benar kerap terlupakan. Reputasi bank pasti hancur karenanya, lalu tergiring menuju tiang gantungan sejarah.

Dengan demikian, mudah untuk dipahami ketika Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan (FKDKP) (2007) menyatakan bahwa keberadaan mediasi perbankan terutama sangat diperlukan untuk membantu penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank secara murah, sederhana, cepat dan efisien, selain dapat menjaga kelangsungan hubungan antara nasabah dengan bank sehingga pada gilirannya mampu meningkatkan kredibilitas dan reputasi bank. Segenap hal tersebut memungkinkan sekali dapat diraih karena sesuai dengan konsepsi mediasi yang dijelaskan oleh Felix O. Soebagjo (2007) bahwa tujuan mediasi adalah membantu mencarikan alternative penyelesaian atas sengketa yang timbul diantara para pihak yang disepakati dan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Prosesnya melalui forward looking; bukan backward looking. Tegasnya adalah proses mediasi tidak mencari kebenaran dan/atau dasar hukum yang diterapkan namun lebih kepada penyelesaian masalah. The goal is not truth finding or law imposing, but problem solving (Lovenheim, 1996).

Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa melalui proses mediasi akan terjalin komunikasi yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa; para pihak dapat mendengar, memahami alasan/penjelasan/argumentasi yang menjadi dasar atau pertimbangan para pihak. Melalui pertemuan tatap muka, diharapkan dapat mengurangi rasa marah dan bermusuhan pihak-pihak yang bersengketa, selain memahami kekurangan/kelebihan/kekuatan masing-masing, sehingga dapat mendekatkan cara pandang dari pihak-pihak yang bersengketa, menuju suatu kompromi yang dapat diterima para pihak.

Terlebih lagi dari aspek aspek hukum, penyelesaian sengketa perdata melalui sarana mediasi merupakan hal yang sangat lazim. Dan yang tidak kalah pentingnya untuk dicamkan adalah tingkat keberhasilan mediasi jauh lebih tinggi lagi efektif dibandingkan penyelesaian dengan cara litigasi maupun arbitrase. Jadi, benang merah yang tegas dapat ditarik berdasarkan uraian ini adalah bahwa das sein, pelaksanaan mediasi perbankan sejatinya mampu mendatangkan keuntungan signifikan bagi industri perbankan, Das sollen, apa yang terjadi di lapangan? Jauh panggang dari api bukan? Berdasarkan data pengaduan nasabah dan permohonan penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diajukan oleh masyarakat (nasabah bank) kepada BI periode Januari 2006 s/d Juli 2007 baru tercatat sebanyak 151 sengketa dimana hanya sekitar 85 persen yang dapat diselesaikan dengan baik, sisanya masih dalam proses.

KENDALA PELAKSANAAN MEDIASI PERBANKAN
Mengapa pelaksanaan mediasi perbankan masih belum menunjukkan tanda-tanda sebagaimana yang diharapkan? Menurut hemat penulis, biang keroknya dapat ditelusuri dari kendala-kendala yang muncul ketika pelaksanaan mediasi perbankan tersebut dilaksanakan sehari-hari, yang menurut BI (2007) dapat dikelompokan menjadi beberapa hal dan atau dari beberapa sisi, yaitu:

Kendala dari sisi perbankan nasional: Sebagai pemeran utama, perbankan nasional jamak melakukan hal-hal yang sangat mempersulit pelaksanaan mediasi perbankan. Mulai dari teknis operasional yang sifatnya sangat sederhana seperti tidak melakukan koordinasi yang baik dengan BI berkenaan dengan person in charge (PIC) di bank yang menangani suatu kasus karena masih banyak bank yang belum memberikan daftar contact person atau adanya perubahan contact person yang tidak diberitahukan kepada BI, selain mengirimkan delegasi/wakil yang tidak memiliki kewenangan untuk memutus sebagaimana dipersyaratkan sehingga menghambat kelancaran proses mediasi, hingga pada hal-hal yang sangat mendasar dimana masih terdapat sebagian petugas/pejabat bank yang belum mengetahui ketentuan tentang Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan yang tercermin dari kurang sesuai-nya informasi yang diberikan kepada nasabah;


Kendala dari sisi nasabah: Banyak nasabah yang masih ’buta’ akan pengetahuan dan pemahaman berkenaan dengan pelaksanaan mediasi perbankan sehingga mereka kurang memahami kasus posisi yang sebenarnya, tidak memberikan dokumen yang lengkap, tidak mencantumkan nomor telepon yang dapat dihubungi sehingga menghambat proses klarifikasi;


Lain-lain: Terdapat pihak lain yang turut mempengaruhi para pihak baik dari sisi nasabah maupun bank. Hal ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Susanti Adi Nugroho (2007) yang menyatakan bahwa terdapat keengganan pengacara atau pihak yang berkepentingan untuk mendukung proses mediasi. Fenomena yang menunjukkan bahwa pengacara/penasehat hukum lebih suka untuk memperpanjang proses perkara dengan motivasi tertentu seperti menunda eksekusi dan atau mengenakan fee tambahan dan mereka cenderung tidak menyarankan melakukan mediasi kepada kliennya mempertegas apa yang diidenfikasi BI tersebut bukalah sekedar isapan jempol belaka .



Al-hasil, proses mediasi belum memasyarakat. Jangankan cita-cita mewujudkan Lembaga Mediasi Perbankan Independen (LMPI) yang mampu berkiprah luas untuk mensukseskan pelaksanaan mediasi perbankan segera dapat menjadi kenyataan , pelatihan bagi calon mediator saja belum memadai karena insitusi penyedia pendidikan mediator tidak mencukupi. Meskipun keberadaan LMPI sudah menjadi keharusan mengingat BI -yang mengemban tugas sebagai lembaga mediasi perbankan saat ini- memiliki banyak sekali keterbatasan. Baik dari sisi sumber daya manusia yang mengelolanya maupun sumberdaya lainnya seperti kantor cabang yang ada sangat tidak memungkinkan untuk menangani semua kasus persengketaan antara nasabah dan bank yang demikian banyak terjadi.



Demikianhalnya persoalan keberadaan mediator yang membantu menyelesaikan sengketa diantara para pihak merupakan syarat mutlak. Bahkan, para mediator itu, tidak hanya harus mempunyai kemampuan dan keahlian sehubungan dengan bidang masalah yang disengketakan , lebih dari itu mediator juga tidak boleh mempunyai benturan kepentingan/ hubungan afiliasi dengan pihak-pihak dalam sengketa dan atau masalah yang disengketakan .
Selain hal-hal di atas, peraturan BI mengenai pelaksanaan mediasi perbankan beserta perangkat hukum lainnya masih memunculkan sejumlah tanda tanya besar. Sebagai contoh, Felix O. Soebagjo (2007) menyoroti Angka 1.4 Peraturan Bank Indonesia (“PBI”) No.8/5/PBI/2006 yang merumuskan: “Sengketa adalah permasalahan yang diajukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah kepada penyelenggara mediasi perbankan, setelah melalui proses penyelesaian pengaduan oleh bank, sebagaimana diatur dalam PBI tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (PBI No. 7/7/PBI/2005).



Dari perumusan tersebut, ada kesan seolah-olah yang mempunyai sengketa hanyalah nasabah saja, sedangkan bank tidak mempunyai sengketa. Persepsi lain adalah bahwa yang tunduk untuk harus menyelesaikan sengketa melalui jalur mediasi hanyalah nasabah, sedangkan bank dapat dan bebas menggunakan jalur penyelesaian sengketa lain. Kalaupun bank kemudian mengajukan sengketa tersebut kepada penyelenggara mediasi perbankan, hal itu tidak akan dapat dilayani karena tidak termasuk dalam cakupan “Sengketa” seperti yang dimaksud PBI No. 8/5/PBI/2006.



Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah memang itu yang dimaksud ? Jika jawabannya “Ya”, perlu dipertanyakan mengapa Bank Indonesia (“BI”) menerapkan kebijakan mendua? Jika jawabannya “bukan”, maka perlu peninjauan ulang atas beberapa perumusan dalam PBI No.8/5/PBI/2006, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Kemudian adanya Unsur “Sengketa” diantara para pihak melalui perumusan “Sengketa” sebagaimana dimaksud Angka 1.4 PBI No.8/5/PBI/2006, dapat menimbulkan tafsir yang keliru.



Apakah setiap permasalahan itu sengketa? Mengapa hanya nasabah yang didefinisikan sebagai pihak dalam sengketa? Apakah bank merasa tidak perlu untuk ikut serta sebagai pihak dalam suatu sengketa, sebagai pihak yang mengajuan klaim? Jika pihak yang mengajukan permasalahan hanyalah nasabah, dan pihak bank merasa tidak mempunyai sengketa dan tidak bersedia menandatangani Agreement to Mediate, tujuan pembentukan lembaga mediasi perbankan akan sangat sulit dicapai. Belum lagi persoalan-persoalan seperti efektifitas akta kesepakatan hasil mediasi perbakan di pengadilan maupun diluar pengadilan; penyelesaian sengketa antar bank dan nasabah yang mengandung dan atau terkait dengan adanya tindak pidana di bidang perbankan dan sejumlah persoalan-persoalan lainnya masih berjalin berkelindan menyebabkan pelaksanaan mediasi perbankan saat ini belum dapat berjalan secara efektif/efisien.

Strategi Mengatasi Kendala
So what gitu loh? agar pelaksanaan mediasi perbankan benar-benar membumi dan mampu mendorong peningkatan kinerja perbankan serta memberikan manfaat yang luas kepada nasabah dan masyarakat secara keseluruhan? Absolutely, dibutuhkan strategi yang jitu. “Tanpa strategi, sebuah organisasi seperti sebuah kapal tanpa kemudi, berputar-berputar dalam lingkaran. Organisasi yang demikian seperti pengembara tanpa tujuan tertentu” (Joel Roes, 1997), tidak terkecuali didalam membumikan mediasi perbankan. Wujud kongkretnya? Berdasarkan uraian “Kendala Pelaksanaan Mediasi” di atas maka dapat ditarik benang merah yang sangat tegas:

1) Menetapkan perangkat hukum dengan prosedur penyelesaian sengketa yg informal, cepat, adil dan terjangkau dengan senantiasa melakukan penyempurnaan terhadap semua ketentuan dan atau membangun perangkat-perangkat hukum lainnya yang dibutuhkan mutlak dilakukan.
Namun demikian, langkah ini saja belum cukup. Karena keberhasilan dan efektivitas proses mediasi perbankan tidak semata-mata didasarkan pada kelengkapan pranata hukumnya. Tidak kalah pentingnya adalah diperlukan adanya suatu komitmen dan dukungan bersama dari segenap stakeholders (Muliaman D. Hadad, 2006) untuk secara bersungguh-sungguh mendorong pihak-pihak yang bersengketa sedapat mungkin menyelesaikan sengketa yang dihadapinya nasabah dengan bank melalui upaya-upaya penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi (Bapenas, 2007).

2) Dengan demikian -menurut penulis- langkah strategis yang harus ditempuh berikutnya adalah membangun dan menancapkan awareness kepada segenap pemangku kepentingan bahwa pelaksanaan mediasi perbankan is a must, dengan cara menggagas program edukasi dan sosialiasi secara efektif dan konsisten serta terintegrasi. Untuk itu, perlu ditetapkan indikator-indikator yang dapat menunjukkan keberhasilan program edukasi dan sosialisasi itu, seperti:


Indikator awareness perbankan nasional misalnya, minimal ditunjukkan dengan terjalinnya kerjasama yang baik dan atau dukungan dari pihak perbankan cq. Direktur Kepatuhan perbankan dan atau unit/fungsi/organ struktural di bank yang bertanggungjawab terhadap penyelesaian pengaduan nasabah, disamping mendorong semakin diterapkannya transparansi produk dan diseminasi ketentuan PBI No. 8/5/PBI/2006 jo. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tentang Mediasi Perbankan dan PBI No. 7/7/PBI/2005 jo. Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/24/DPNP tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah;


Sementara para nasabah bank semakin mengerti akan hak dan kewajiban mereka di dalam pelaksanaan mediasi perbankan yang ditunjukkan dari perilaku mereka yang taat prosedur dan senantiasa memenuhi semua persyaratan yang berlaku;


Sedangkan pemangku kepentingan lainnya (seperti asosiasi/lembaga terkait dengan segenap perihal yang berhubungan dengan perlindungan konsumen atau penyelenggara alternative dispute resolution maupun individu-individu seperti advokat dan pihak-pihak terkait lainnya), dengan segenap hati berupaya keras menjalin kerjasama dengan BI dan perbankan nasional berikut lembaga lainnya yang terkait. Hal ini terutama difokuskan pada upaya untuk mendirikan pusat mediasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa (LMPI ) dan terselenggaranya program pelatihan peningkatan ketrampilan para mediator;


The last but not least, memastikan ketersediaan informasi penyelenggaraan mediasi perbankan yang mudah dipahamami dan di akses secara luas merupakan hal yang urgent dan crucial, demi kesuksesas pelaksanaan program edukasi dan sosialisasi tersebut.


Aliansi Strategis: Solusi Jitu
Strategi mengatasi kendala pelaksanaan mediasi perbankan di atas memang bukan perkara mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Kata kunci yang diungkapkan oleh Muliaman D Hadad di atas bahwa pelaksanaan mediasi perbankan membutuhkan dukungan dan komitmen semua pemangku kepentingan harus diresapi benar-benar. Artinya, BI, perbankan nasional dan semua pemangku kepentingan tidak akan mampu mengatasi kendala pelaksanaan mediasi perbankan jika dilakukan sendiri-sendiri. Tegasnya adalah mendambakan program membangun awareness kepada semua stakeholders melalui edukasi dan sosialisasi dengan segenap ‘pernak-pernik’nya seperti uraian diatas dapat tercapai dengan baik tanpa adanya jalinan kerjasama yang solid dan terintegrasi, mimpi kali ye!.



Dengan ungkapan lain, strategi jitu mengatasi kendala pelaksanaan mediasi perbankan itu tidak akan dapat terlaksana sampai ‘lebaran kuda’, tanpa dibungkus dengan melakukan apa yang disebut sebagai aliansi strategis, yang dijelaskan oleh Watson (1996) sebagai hubungan strategis diantara organisasi-organisasi yang punya kesamaan minat atau suatu asosiasi yang punya tujuan membahas lebih lanjut kesamaan minat para aggotanya. Sangat logis jika segenap pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dan peduli terhadap pelaksanaan mediasi perbankan melakukan aliansi strategis dalam hal ini. Bukankah seluruh strakeholders memiliki kesamaan permasalahan itu, yaitu bagaimana membumikan mediasi perbankan sedemikian rupa sehingga mampu meningkatkan kinerja industri perbankan secara signifikan? Bahkan, meminjam analogi yang dikemukakan Shimp (2003) bahwa aliansi strategis niscaya akan mampu menghasilkan “suara” yang jauh lebih “merdu” dengan hasil yang sungguh-sungguh luar biasa.



Pepatah kuno “bersatu kita teguh-bercerai kita runtuh” dan “berat sama dipikul-ringan sama dijinjing” sangat relevan dalam konteks pelaksanaan mediasi perbankan.

Dengan demikian, sangat argumentatif jika penulis menyatakan dengan tegas bahwa aliansi strategis merupakan solusi jitu di dalam menerapkan dan atau melaksanakan strategi untuk mengatasi kendala pelaksanaan mediasi perbankan. Jika hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, niscaya pelaksanaan mediasi perbankan dapat berjalan dengan sebagaimana yang diharapkan. Wahai semua pemangku kepentingan, silahkan duduk bersama, merundingkan, mendiskusikan dan satu suara di dalam membangun serta melaksanakan “aliansi strategis” untuk menjalankan strategi mengatasi kendala pelaksanaan mediasi perbankan sehingga dapat membumi. Tunggu apa lagi? FFF

Pernah dimuat di Majalah Pengengembangan Perbankan
( Wilson Arafat, 28-02-2008 )

Know Your Employee


”Kenalilah dirimu niscaya engkau akan mengenal siapa Tuhanmu”. Ajaran dari ’langit’ tersebut begitu singkat, namun sarat makna. Intinya, jika umat manusia ingin selamat didalam mengarungi samaudera kehidupan di dunia fana ini maka haruslah mengenal diri sendiri sehingga dapat mengenal siapa Tuhan penguasa bumi menuju insan yang hakiki.

Dengan demikian, mengenali diri wajib kita lakukan ketika meniti segenap sendi-sendi kehidupan. Di medan pertempuran misalnya, kita juga perlu mengenali siapa diri kita. Seperti halnya Sun Tzu pernah berkata: ”Kenalilah dirimu, kenalilah musuh-musuhmu maka engkau akan memenangkan semua pertempuran”. Elaborasi buah pemikiran Sun Tzu tersebut di dunia bisnis dapat terlihat pada aplikasi analisis SWOT, dimana setiap organisasi bisnis harus mengenali kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (ooportunities) dan ancaman (treaths) yang akan dihadapi didalam menjalankan roda bisnis.

Bagaimana dengan dunia perbankan? Tidak terkecuali!. Lebih spesifik lagi, bisnis perbankan harus mengenali nasabah bank dengan baik sebagai salah satu kewajiban perbankan didalam menjalankan fungsi kepatuhan, jika dan hanya jika tidak ingin dikibuli oleh para penjahat yang memanfaatkan bank sebagai media tempat mencuci uang dari hasil-hasil pekerjaan hitam. Untuk itu, dunia perbankan telah menabuh genderang perang terhadap money laundering yang telah dikumandangkan beberapa tahun terakhir.

Prinsip-prinsip know your customer (KYC) gencar dikampanyekan. Upaya tersebut nampaknya menunjukkan hasil. Sudah banyak pencuci uang yang terjaring, kendatipun belum optimal. Paling tidak mampu mempersulit ruang gerak mereka. Bahkan Republik ini telah terbebas dari status negara yang tidak kooperatif menangani pencucian uang. Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) dalam sidangnya tanggal 9-11 Februari 2005 di Paris memutuskan bahwa Negara Indonesia telah keluar dari daftar Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs).

Pertanyaannya adalah cukupkah hanya dengan menjalankan prinsip-prinsip KYC maka fungsi kepatuhan perbankan akan dapat dijalankan secara ’paripurna’? Absolutely no way! Buktinya? Fakta ’berbicara’!. Menurut data BI sebagaimana yang diungkapkan oleh Sundarie Arie bahwa pada kurun waktu 1999 sampai September 2005 telah terjadi skandal tindak pidana perbankan sebanyak 482 kasus yang terjadi pada 254 bank. Dari kasus-kasus tersebut jenis tindak pidana yang terjadi berupa rekayasa kredit untuk menghindari ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan diikuti dengan pelanggaran yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang oleh pemegang saham, komisaris, direksi dan pejabat bank, rekayasa pencatatan dan laporan keuangan, pelanggaran komitmen terhadap cease and desist order/CDO serta pembiayaan ekspor fiktif dengan usance L/C.

Lalu, mengapa skandal-skandal ’kejahatan’ perbankan terus berulang? Perbankan nasional masih ’mengabaikan’ fenomena bahwa setiap kasus kejahatan yang terjadi dikolong langit ini sebagian besar melibatkan orang dalam disebuah institusi sebagai lakon utama. Sebagaimana Wolfe & Hermanson menyatakan bahwa pelaku kecurangan sebagian besar adalah orang dalam. Demikian halnya hasil Survei Ernst & Young atas 10.000 organisasi yang meliputi 30 industri dan tersebar di 15 negara menyimpulkan bahwa 82 persen dari responden menyatakan bahwa semua kecurangan yang akhirnya terungkap melibatkan pegawai disuatu perusahaan; 28 persen melibatkan pihak manajemen.

Begitu pula yang terjadi didunia perbankan. Seperti yang diungkapkan oleh Susidarto bahwa kasus-kasus yang terjadi didunia perbankan disebabkan oleh orang dalam bank. Itu artinya, industri perbankan senantiasa dihadapkan pada fenomena oknum bankir sontoloyo yang sekaligus berprofesi sebagai pembobol bank. Terlepas apakah porsi dan peran para bankir gadungan ini kecil atau besar, semuanya bermuara pada kesimpulan bahwa setiap petugas bank pada dasarnya berpotensi untuk menjadi bankir amoral. Adagium ini terbukti dengan mencuatnya beberapa kasus pembobolan bank belakangan ini yang senantiasa melibatkan oknum orang dalam. Sehingga betapapun paripurna sebuah sistem dan mekanisme yang dibangun oleh dunia perbankan fungsi kepatuhan tidak akan berfungsi dengan baik jika the man behin the gun masih dibiarkan secara leluasa berbisnis secara hanky panky. Karenanya, harus diredam.

Berangkat dari persoalan terakhir ini maka sangat argumentatif jika penulis dengan tegas menyatakan bahwa untuk membumikan fungsi kepatuhan didunia perbankan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan prinsip-prinsip KYC sebagai senjata pamungkas, perlu juga dibumikan prinsip-prinsip mengenal pegawai (Know Your Employee [KYE]). Sudah cukup banyak bukti, kasus dan skandal perbankan yang mempertegas perlunya diterapkan KYE. Data-data di atas kembali mempertegas bahwa kendatipun prinsip-prinsip KYC telah dijalankan, ketidakpatuhan oknum orang dalam bank masih saja terus berlangsung. Oleh karena itu, bank harus mengenal betul semua pegawai mereka, dari level atas hingga bawah, termasuk level direksi dan komisaris. Jangan lagi dibiarkan, misalnya, ada pegawai yang kaya mendadak, padahal sebelumnya kere; menjalani gaya hidup yang serba ’wah’ padahal penghasilannya tidak memungkinkan untuk menjalankan kehidupan yang serba mewah tersebut; dan lain sebagainya, lolos dari pengamatan bank dan dipastikan bahwa hal tersebut mereka dapatkan dari cara-cara halal. Pengalaman di dalam menerapkan prinsip-prinsip KYC dapat dijadikan modal utama untuk menggagas ketentuan yang berkenaan dengan KYE secara cerdas dan bijak.

(Artikel pernah di muat di Harian Investor Daily)FFF*KCIA

Tuesday, May 27, 2008

MEMAHAMI PERBEDAAN DAN DASAR HUKUM AUDIT INVESTIGASI DAN AUDIT FORENSIK


Oleh Imam Syafi’i

I. Beberapa Perbedaan antara Audit Investigasi dengan Audit Forensik

- Dasar pelaksanaan audit investigasi antara lain: kewenangan yang ada pada lembaga audit, satuan pengawas, permintaan dari DPR, dewan komisaris atau manajer suatu perusahaan, atau ketentuan lain sebagai dasar pelaksanaan. Sedangkan dasar audit forensik ialah pasal 120 ayat (1) KUHAP. Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

Permintaan penyidik dapat dikelompokkan dua hal, yaitu:
(1) Permintaan menghitung kerugian negara, yang dilakukan oleh auditor untuk membuat keterangan ahli dan sebagai bukti kesaksian di sidang pengadilan; (2) Permintaan untuk menjadi saksi ahli di mana auditor tidak diminta untuk menghitung kerugian negara, melainkan hanya diminta pendapat sebagai seorang yang ahli dalam bidang keuangan dan akuntansi serta mengetahui tentang korupsi.

- Tanggung jawab pelaksanaan audit investigasi adalah pada lembaga audit atau satuan pengawas, sedangkan audit forensik berada pada pribadi auditor. Apabila keterangan yang diberikan kepada penyidik atau keterangan di sidang pengadilan palsu, auditor akan dikenai sanksi.

- Tujuan audit investigasi adalah mengadakan audit lebih lanjut atas temuan audit sebelumnya, serta melaksanakan audit untuk membuktikan kebenaran berdasarkan pengaduan atau informasi dari masyarakat. Sedangkan audit
forensik bertujuan membantu penyidik untuk membuat terang perkara pidana khusus yang sedang dihadapi penyidik, serta mengumpulkan bukti-bukti dokumenter/surat untuk mendukung dakwaan jaksa.

- Prosedur dan teknik audit investigasi mengacu pada standar auditing serta disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi. Sedangkan audit forensik mengacu pada standar auditing dan kewenangan penyidik, dengan demikian, auditor dapat menggunakan prosedur yang lebih luas.

- Dalam merencanakan dan melaksanakan audit investigasi, auditor menggunakan skeptic profesionalisme serta menerapkan azas praduga tak bersalah. Sedangkan untuk audit forensik, dari hasil penyelidikan/penyidikan,
penyidik telah memperoleh bukti awal bahwa tersangkanya telah melakukan perbuatan melawan hukum.

- Tim yang melaksanakan audit investigasi sebaiknya oleh tim atau minimal salah satu auditor yang telah mengembangkan temuan audit sebelumnya. Tim audit baru dapat dibentuk apabila sumber informasi berasal dari informasi
dan pengaduan masyarakat. Sedangkan dalam audit forensik dapat dibentuk tim audit baru, dalam hal demikian, lebih baik dipilih auditor yang pernah melaksanakan tugas bantuan tenaga ahli untuk kasus yang sama atau hampir sama. Selanjutnya, salah satu dari tim audit harus bersedia menjadi saksi ahli di sidang pengadilan.

- Untuk persyaratan tim audit investigasi, auditor ‘sebaiknya’ yang menguasai masalah akuntansi dan auditing, serta mengetahui beberapa ketentuan hukum perundang-undangan. Sedangkan audit forensik, auditor ‘harus’ memahami masalah akuntansi dan auditing, karena belum tentu obyek yang diperiksa telah menyelenggarakan akuntansi sesuai prinsip yang lazim, serta mengetahui sedikit tentang hukum.

- Laporan hasil audit untuk audit investigasi menetapkan siapa yang terlibat atau bertanggung jawab, dan ditandatangani oleh kepala lembaga/satuan audit. Sedangkan untuk laporan hasil audit forensik aditor berkewajiban membuat dan menandatangani keterangan ahli atas nama auditor. Salah satu auditor di BAP sebagai saksi ahli di sidang pengadilan. Dalam hai ini wewenang penyidik adalah menetapkan siapa yang telah melakukan peristiwa pidana
sebagaimana pasal 55 dan 56 KUHP.

Audit investigasi dan audit forensik termasuk audit ketaatan, namun dalam praktek, ketentuan yang harus ditaati sangat luas, terutama menyangkut kebijakan manajemen, hukum formal maupun hukum material dan lain-lain.
Audit investigasi dan forensik merupakan audit yang bertujuan untuk menemukan kecurangan.
Kecurangan yang sering dijumpai dalam praktek di Indonesia antara lain:
- Kecurangan yang merugikan perusahaan swasta, baik dilakukan manajemen maupun karyawan yang berupa pencurian, penggelapan, pemalsuan dan lain-lain.
Apabila hal tersebut terjadi pada BUMN/BUMD yang menggunakan modal dan kelonggaran dari negara dan masyarakat, maka tindak pidana tersebut termasuk tindak pidana korupsi.
- Kecurangan yang menguntungkan perusahaan, seperti mark up laporan keuangan yang dipakai untuk mengajukan kredit bank agar memperoleh kredit dalam jumlah besar, atau memanipulasi pencatatan agar sedikit mungkin membayar pajak ke negara, manipulasi dalam penjualan yang menguntungkan perusahaan sendiri, dan melanggar ketentuan pemerintah dalam operasi bisnisnya.
- Kecurangan yang dilakukan manajemen dengan melakukan mark up laporan keuangan yang tujuannya agar manajemen kelihatan berhasil, perusahaan memperoleh laba sehingga manajemen dipertahankan oleh RUPS atau agar mendapatkan tantiem yang besar.
- Kecurangan yang terjadi pada instansi pemerintah atau BUMN/BUMD pada umumnya pasti merugikan negara.

II. Memahami Ketentuan Hukum Berkaitan dengan Audit Investigasi dan Audit Forensik.

- Dalam Kode etik Akuntan Indonesia dikemukakan bahwa setiap anggota harus selalu mempertahankan nama baik profesi dan menjunjung tinggi peraturan dan etika profesi serta hukum di mana ia melaksanakan kerjanya.
- Setiap anggota harus menolak setiap penugasan yang tidak akan dapat diselesaikannya atau tidak sesuai dengan keahlian profesionalnya.
- Penjelasan pasal 159 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa menjadi saksi adalah satu kewajiban setiap orang.
- Pasal 120 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
- Pasal 224 KUHP berkaitan dengan sanksi bagi siapa yang menolak menjadi saksi.
- Pasal 187 butir c KUHAP, yaitu keterangan ahli termasuk bukti surat
- Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU No. 24 Prp Th. 1960 berhubungan dengan kewajiban memberi keterangan menurut pengetahuannya masing-masing
- sebagai saksi, termasuk akuntan.
- Pasal 274 ayat (1) dan (3) RIB mengatur mengenai orang-orang yang tidak didengar sebagai saksi seperti keluarga sedarah, suami, dan isteri.
- Pasal 7 ayat (1) dan pasal 22 UU No.3/1971 berkaitan dengan kewajiban memberi keterangan kepada penyidik dalam kapasitas sebagai saksi.
- Pasal 35 UU No. 31/1999 berkaitan dengan pengecualian kewajiban sebagai saksi.
- Tanggung jawab administrasi pegawai negeri, PP 30/1980 dan pasal 89 Keppres 16/1994.
- Tanggung jawab keuangan pegawai negeri, Pasal 55, 74, 77 ICW dan 1365 KUPDt.
- Tanggung jawab pidana korupsi pegawai negeri, pasal 1 ayat (1) butir a, b, c, e beserta penjelasannya dan ayat (2) UU No. 3/1971.
- Tanggung jawab pidana umum beberapa pasal di KUHP: 209, 210, 418, 419, 420 (delik penyuapan), 415, 416, 417 (delik penggelapan), 423, 425 (delik kerakusan), 387, 388, 435 (delik pemborongan, leveransir dan rekanan).
- PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
- Ketentuan mengenai tuntutan ganti rugi dan perbendaharaan.
- Beberapa pasal KUHPdt yang perlu diketahui auditor karena sering dijumpai dalam praktek, seperti pasal: 1359, 1360, 1361, 1362, 1963, 1964, dan 1965.
Masalah hukum di suatu negara mungkin berbeda dengan negara lain, terutama mengenai hukum yang berhubungan dengan tindak pidana. Pelaku tindak pidana sesuai KUHP diatur dalam pasal 55 dan 56. Dengan memperhatikan pasal tersebut diharapkan auditor lebih berhati-hati. Pasal 39 ayat (2) Keppres No. 16/1994 dinyatakan: ‘Barang siapa menandatangani dan atau mengesahkan suatu bukti yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memperoleh hak dan atau pembayaran dari negara bertanggung jawab atas kebenaran dan sahnya surat bukti surat tersebut.’ Ketentuan tersebut menjadi bertentangan dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan tanggung jawab renteng. Sebagai contoh, ketika atasan menyuruh bawahannya bertindak menyalahi penggunaan anggaran, maka orang pertama yang terlibat secara formal adalah orang yang menandatangani, misalnya seorang petugas telah menandatangani berita acara penerimaan barang.

III. Pelaksanaan Bantuan Tenaga Ahli

Kasus yang ditangani penyidik pada umumnya kasus hasil penyelidikan polisi atau jaksa, namun ada juga yang berasal dari laporan lembaga audit yang menyatakan adanya indikasi tindak pidana korupsi.
Apabila lembaga audit menerima surat dari kepolisian atau kejaksaan yang isinya meminta bantuan tenaga ahli untuk menghitung kerugian negara, maka lembaga audit menunjuk tim yang akan melaksanakan bantuan.

1. Penunjukan tim audit untuk melaksanakan penelitian awal

Untuk kasus yang berasal dari lembaga audit, sebaiknya dilakukan oleh tim atau salah satu anggota tim yang pernah melaksanakan audit investigasi untuk kasus terkait. Sedangkan untuk kasus yang baru dan merupakan hasil penyilidikan jaksa atau polisi, tim dipilih terutama mereka yang pernah melaksanakan bantuan kepada penyidik untuk kasus yang relatif sama.
Tim harus menguasai akuntansi, auditing, dan sedikit mengetahui hukum dan perundang-undangan.

2. Penelitian awal terhadap kasus yang akan diaudit

Agar pekerjaan bantuan audit tersebut dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat, sebaiknya untuk kasus hasil penyelidikan jaksa atau polisi dapat ditempuh dua cara sebagai berikut:

- Penyidik memaparkan kasus tersebut dihadapan auditor.
- Lembaga audit menugaskan tim untuk memperoleh gambaran kasus dengan mendatangi kantor penyidik.

Apabila alternatif kedua yang dipilih, maka dalam penelitian awal tim audit:
- Menanyakan kepada penyidik mengenai perintah penyidikan.
- Apabila dalam penanganan kasus diperlukan surat izin, misalnya kasus kredit bank, maka auditor menanyakan apakah telah ada izin dari BI.
- Mencari tahu apakah terdakwanya ditahan atau tidak.
- Bukti-bukti surat apa saja yang telah disita.
- Auditor mempelajari BAP terdakwa dan BAP para saksi.
- Setelah memperoleh gambaran kasus yang dihadapi, selanjutnya memperkirakan bukti-bukti surat apa saja yang masih diperlukan.
- Umumnya, pada setiap kasus terdapat perbedaan, sehingga data yang diperoleh dalam penelitian awal juga berbeda.

3. Pembentukan tim audit

Tim yang melaksanakan audit sebaiknya yang telah terjun pada penelitian awal, namun juga tidak harus dipaksakan. Contoh kasus yang sulit dan makan tenaga adalah manipulasi keuangan dengan memanipulasi pencatatan, pengerjaan akuntansi tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan buku besar belum dibuat.

4. Pelaksanaan Audit

Dalam melaksanakan audit sebaiknya auditor memfokuskan pada pemeriksaan bukti surat. Pada kasus tindak pidana khusus, auditor harus mengaudit suatu transaksi dari awal sampai akhir dengan mempelajari ketentuan yang berkaitan dengan transaksi tersebut. Sebagai contoh, kasus kredit macet non bisnis mengacu pada ketentuan berikut ini.
- UU Perbankan.
- Ketentuan kredit dari BI dan bank bersangkutan.
- Ketentuan hukum perdata.
- Ketentuan agraria apabila agunannya berupa tanah.
- UU yang berhubungan dengan hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
- Ketentuan lain yang ada hubungannya dengan kasus yang diaudit.

Apabila terjadi penyimpangan dari ketentuan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum material. Auditor harus mengumpulkan bukti-bukti tersebut. Perhitungan kerugian negara harus pasti atau minimal tidak boleh sangkaan atau digeneralisir. Apabila kerugian negara belum dapat dihitung, sebagai contoh, agunan bank belum dijual, sebaiknya kerugian negara didasarkan pada kerugian terhadap perekonomian negara.

5. Keterangan ahli

Apabila perkara sudah jelas permasalahannya dan telah ada persesuaian
dengan penyidik, auditor membuat keterangan ahli. Keterangan ahli ditandatangani tim audit (bukan kepala lembaga audit). Sebaiknya, digunakan kertas polos dalam membuat keterangan ahli.

6. Auditor di-BAP

Auditor yang akan menjadi saksi ahli di siding pengadilan di-BAP oleh penyidik. Namun berdasarkan pengalaman, justru auditor yang mempersiapkan BAP karena harus sejalan dengan keterangan ahli. Hal demikian dapat dimaklumi karena untuk kasus tertentu yang mengetahui secara detail permasalahannya adalah auditor. Pertanyaan dan jawaban dalam BAP dibuat sedemikian rupa, sehingga mencerminkan BAP saksi ahli. Sebelum di-BAP, auditor disumpah terlebih dahulu.

7. Auditor menjadi saksi ahli di siding pengadilan

Seringkali ketika persidangan pada pokok perkara, status auditor sebagai saksi ahli dipermasalahkan oleh penasehat hukum. Pertanyaan hakim dan penasehat hukum umumnya bebas, sehingga saksi ahli sebaiknya pengetahuannya luas. Jawaban saksi ahli diupayakan tidak timbul pertanyaan baru, dan auditor harus berusaha sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditarik ke masalah hukum atau yang di luar keahlian auditor atau kasus yang menjadi kasus perdata.

IV. Audit Investigasi

1. Menerapkan azas praduga tak bersalah

Dalam audit investigasi, terutama yang didasarkan pada informasi atau pengaduan masyarakat, auditor harus menerapkan azas praduga tak bersalah dalam merencanakan dan melaksanakan tugasnya. Seseorang tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selanjutnya, auditor tetap diperbolehkan menerapkan sikap skeptisme profesionalismenya. Hal demikian berarti, auditor tidak boleh menganggap manajemen sebagai orang yang tidak jujur, namun juga tidak boleh menganggap manajemen sebagai orang yang
tidak diragukan kejujurannya. Sebaiknya auditor tidak berasumsi bahwa
pelaku salah meskipun informasi dari masyarakat sudah mempublikasikan di media massa sedemikian rupa. Berdasarkan pengalaman, hal demikian lebih berhasil. Sebagai contoh, dalam melakukan wawancara dengan mereka yang diduga terlibat, auditor harus berpenampilan secara wajar dan tidak menimbulkan sikap yang dapat memberi kesan bahwa auditor hanya mencari kesalahan. Hal demikian, selain dapat menciptakan suasana yang tidak tegang antara auditor dengan yang diperiksa, juga dapat mempermudah memperoleh bukti atau informasi yang benar dari mereka. Di samping itu, auditor juga harus menyadari bahwa kecurangan pada umumnya terjadi karena persengkokolan (kolusi), sehingga asumsi bahwa yang diperiksa telah melakukan kesalahan atau kecurangan, hanya membuat kasus sulit untuk dibongkar.

Pada waktu membuat laporan audit investigasi, azas praduga tak bersalah juga harus diterapkan. Dalam laporan audit digunakan kata ‘diduga’, misalnya:
- Pemimpin proyek diduga telah melanggar ...
- Pemimpin proyek diduga telah melakukan kolusi.
- Pemimpin proyek diduga telah melakukan tindak pidana korupsi.

2. Sumber informasi audit investigsi

Sumber informasi audit investigasi dapat berupa:
- Pengembangan temuan audit sebelumnya, seperti audit terhadap laporan keuangan dan audit opersional.
- Adanya pengaduan dari masyarakat.
- Adanya permintaan dari dewan komisaris atau DPR untuk melakukan audit, misalnya karena adanya dugaan manajemen/pejabat melakukan penyelewengan.

3. Penelitian awal terhadap pengaduan masyarakat

Informasi dari masyarakat belum tentu jelas atau disertai data yang akurat. Oleh karena itu, sebaiknya diadakan penelitian awal terlebih dahulu. Namun, auditor harus berterima kasih, karena masih ada masyarakat yang peduli terhadap permasalahan yang merugikan negara, masyarakat, atau perusahaan.
Penelaahan awal terhadap informasi untuk menentukan apakah cukup alasan untuk dilakukan audit investigasi. Salah satu criteria agar dapat dilakukan audit ini adalah apakah ada indikasi yang merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara setelah diadakan penelaahan informasi awal yang disertai dengan bukti-bukti yang diperoleh.

Dari penelitian awal diperoleh gambaran kasus dan dua kesimpulan:
- Tidak cukup alasan untuk dilakukan audit investigasi.
- Cukup alasan untuk diadakan audit investigasi.
Apabila cukup alasan, maka dibentuk tim dan dianggarkan waktu pelaksanaannya.

4. Program pemeriksaan untuk audit investigasi

Program audit untuk audit investigasi umumnya sulit ditetapkan telebih dahulu atau dibakukan. Kalau audit investigasi yang dilaksanakan merupakan pengembangan temuan audit sebelumnya, seperti finacial audit dan operational audit, auditor dapat menyusun langkah audit yang hendak dilaksanakan.
Meskipun demikian, terkadang setelah dilaksanakan, banyak mengalami penyesuaian atau perubahan.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah adanya perbedaan modus operandi antara kasus yang satu dengan yang lain. Di samping itu, modus operandi praktek kecurangan atau korupsi di Indonesia jauh lebih banyak macamnya jika dibandingkan di negara maju, seperti: penyalahgunaan wewenang, pemalsuan, penipuan, kolusi, nepotisme, menghalalkan segala cara, dan selalu berlindung di balik pembenaran hukum. Auditor mungkin menghadapi satu kasus saja, contohnya yaitu pemberian kredit bank yang tidak benar. Namun demikian, adanya kemungkinan auditor menemukan lebih dari satu kasus, seperti L/C fiktif dan pembelian fiktif.
Dengan demikian, setiap transaksi merupakan kasus berdiri sendiri. Prosedur audit yang diterapkan tergantung dari kasus yang dihadapi. Umumnya, penerapan prosedur audit pada financial audit juga dapat membongkar beberapa kasus. Demikian halnya, program pemeriksaan untuk audit investigasi akan mengaudit setiap transaksi dari awal sampai akhir, dan harus sesuai dengan ketentuan yang umum dan ketentuan dari obyek yang diperiksa. Sebagai contoh, untuk kasus pembelian fiktif dimulai dari dasar pengadaan barang, pelaksanaan pembelian, pembayaran dan pemanfaatan dari barang yang dibeli. Pengadaan barang yang sebetulnya bisa dibeli melalui cabang dengan harga relatif murah, tetapi, apabila pengadaannya disentralisir di pusat umumnya banyak terjadi pemborosan.
Apabila laporan keuangan dimanipulasi manajemen, sepanjang proses akuntansinya telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan mencari modus operandi kecurangan. Tanpa terlebih dahulu dikerjakan akuntansinya, lebih sulit menentukan jumlah kecurangan secara pasti, misalnya sebagian besar transaksi tidak dibuatkan buku besar dan entitas mempunyai banyak unit operasi yang bersifat responsibility center dan decentralized. Apabila pimpinan entitas menyusun sendiri laporan keuangan, maka auditor harus berhati-hati karena ada kemungkinan dia akan melakukan manipulasi keuangan. Korupsi yang dilakukan dengan kolusi atau penyalahgunaan wewenang umumnya melibatkan banyak orang, yaitu dari atasan sampai bawahan. Modus operandi untuk pembelian barang habis pakai fiktif, baik
sebagian atau seluruhnya yitu dengan menaikkan harga. Agar rekanan bersedia diajak kolusi tentu dipilih rekanan yang mempunyai hubungan istimewa dan penawaran harga dilaksanakan secara formalitas. Rekanan seolah-olah mengirim barang, dan petugas penerima barang karena merasa sebagai bawahan menurut saja disuruh menandatangani berita acara penerimaan barang fiktif. Selanjutnya, kepala gudang ikut menandatangani berita acara penerimaan barang dan bagian administrasi mencatatnya pada kartu persediaan. Bagian yang memerlukan barang disuruh membuat bon permintaan barang fiktif dan seringkali beberapa bagian lain ikut dilibatkan. Sebagai auditor, apabila audit dilakukan enam bulan setelah terjadinya transaksi tersebut, maka akan mengalami kesulitan membuktikannya karena
mereka tentu bersatu. Dalam kondisi tersebut, yang paling sulit adalah memecah ‘persatuan mereka’. Tentunya, masing-masing auditor mempunyai
teknik tersendiri dengan berprinsip bahwa tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan dengan sempurna.

5. Pelaksanaan audit investigasi

Apabila dari penelitian awal dapat disimpulkan bahwa audit dapat dilaksanakan, maka dibuat surat tugas. Sebelum diterbitkan surat penugasan, obyek disuruh menyusun pembukuan sebagaimana mestinya, dan audit baru dimulai setelah pembukuan dan laporan keuangan dibuat.
Berbeda dengan audit forensik, bagaimanapun sulitnya melakukan audit, maka
auditor tetap harus melaksanakan. Sebagai contoh, kasus manipulasi keuangan melalui manipulasi pembukuan yang terjadi di suatu entitas yang mempunyai banyak unit. Masing-masing unit ada yang mengelola keuangan, ada juga yang tidak, bahkan buku besar tidak/belum dibuat.
Untuk perencanaan, pelaksanaan dan pembuatan laporan audit, sebaiknya auditor menggunakan azas praduga tak bersalah.
Setiap temuan harus didukung dengan bukti secara lengkap, terutama dokumen yang.Pemeriksa No. 84 April 2002 39 mendukung transaksi. Bukti dokumen jauh lebih kuat daripada bukti pengakuan. Apabila hasil audit diserahkan kepada kejaksaan, maka pengakuan bukan/tidak termasuk bukti surat. Pengumpulan bukti pendukung sangat penting, terutama apabila laporan audit akan diserahkan kepada kejaksaan. Pengakuan dari mereka yang diduga terlibat atau bertanggung jawab hanya berlaku selama pengakuan tersebut diakui oleh yang bersangkutan. Di samping itu, pengakuan bukan sebagai bukti
audit apabila hanya pelengkap yang memperkuat bukti audit yang ditemukan auditor.
Kemungkinan auditor tidak dapat memperoleh bukti yang kompeten apabila terjadi kolusi atau pemalsuan bukti. Prosedur audit yang dirancang secara efektif akan mendapati banyak kendala dalam menghadapi adanya kolusi dan
pemalsuan.

6. Kertas kerja audit investigasi

Kertas kerja audit bisa disusun sebagai berikut:
- Kertas kerja audit yang umum, yaitu menyangkut data umum obyek atau kegiatan yang diperiksa termasuk ketentuan yang harus dipatuhi.
- Kertas kerja audit untuk setiap orang yang diduga terlibat, yaitu berisi antara lain: identitas seseorang, tindakan yang melanggar hukum serta akibatnya yang dilengkapi dengan bukti yang mendukung.
Selain itu, dapat pula disusun per tahapan transaksi seperti pada kasus kredit macet, antara lain: tahap permohonan kredit, tahap perhitungan 5C, tahap pencairan dan penggunaan kredit, serta tahap setelah kredit cair sampai dinyatakan macet.
Kertas kerja harus dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah dibuat laporan khusus.

7. Hasil audit investigasi

Hasil audit investigasi pada umumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Apa yang dilaporkan masyarakat tidak terbukti
- Apa yang diadukan terbukti, misalnya terjadi penyimpangan dari suatu aturan atau ketentuan yang berlaku, namun tidak merugikan negara atau perusahaan.
- Terjadi kerugian bagi perusahaan akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh karyawan.
- Terjadi ketekoran/kekurangan kas atau persediaan barang milik negara, dan bendaharawan tidak dapat membuktikan bahwa kekurangan tersebut diakibatkan bukan karena kesalahan atau kelalaian bendaharawan.
- Terjadi kerugian negara akibat terjadi wanprestasi atau kerugian dari perikatan yang lahir dari undang-undang.
- Terjadi kerugian negara akibat kelalaian atau akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai negeri selain bendaharawan.
- Terjadi kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum dan tindak pidana lainnya.

8. Laporan audit investigasi

Laporan audit investigasi bersifat rahasia, terutama apabila laporan tersebut akan diserahkan kepada kejaksaan. Dalam menyusun laporan, auditor tetap menggunakan azas praduga tak bersalah.
Pada umumnya laporan audit investigasi berisi: dasar audit, temuan audit, tindak lanjut dan saran. Sedangkan laporan audit yang akan diserahkan kepada kejaksaan, temuan audit memuat: modus operandi, sebab terjadinya
penyimpangan, bukti yang diperoleh, dan kerugian yang ditimbulkan.
Apabila menyangkut nama seseorang yang diduga terlibat, maka digunakan nomor sandi. Dalam laporan harus digunakan kata diduga, misalnya untuk pihak yang diduga terlibat digunakan nomor sandi X dengan uraian kalimat: ‘diduga telah melakukan tindak pidana korupsi.
Laporan audit investigasi biasanya tebal serta banyak lampirannya. Oleh karena itu, sebaiknya tidak dilampirkan dalam dakwaan karena ada kemungkinan terjadi salah jumlah, dan angka yang berbeda antara hal satu dengan yang lainnya. Pernah dalam suatu perkara tindak pidana korupsi, laporan audit investigasi dilampirkan dalam dakwaan oleh jaksa, tetapi terdakwa diputus bebas, beberapa pertimbangan keputusan bebas oleh hakim
antara lain:
- Penjumlahan angka dalam laporan audit yang salah.
- Angka kerugian negara antara halaman laporan audit yang satu dengan yang lain berbeda.
- Angka dalam laporan audit tidak sama dengan lampiran laporan audit.

Bagaimanapun juga laporan audit investigasi bagi penyidik adalah sebagai informasi awal. Untuk kepentingan jaksa, dibuat lagi keterangan ahli yang ringkas. Di samping itu, belum tentu sama laporan auditor untuk pelaku dan jumlah kerugian antara laporan audit investigasi dengan keterangan ahli.

Pemeriksa No. 84 April 2002

Monday, May 12, 2008

BERBAGAI KEGIATAN PRIMA CONSULTING GROUP



MEMAHAMI ”PENJEBAKAN” (ENTRAPMENT) DAN ”TERTANGKAP TANGAN”(REDHANDED) DALAM KAITAN TUGAS KPK DAN AUDIT INVESTIGATIF BPK

WORKSHOP
MEMAHAMI ”PENJEBAKAN” (ENTRAPMENT) DAN ”TERTANGKAP TANGAN”(REDHANDED) DALAM KAITAN TUGAS KPK DAN AUDIT INVESTIGATIF BPK


Latar Belakang


Dari pemberitaan tanggal 15/4/2008 Presiden Yudhoyono mengatakan “Saya sampaikan kepada Jaksa Agung, kepada Kapolri, BPKP, saya juga mengimbau karena juga di bawah saya, KPK, BPK kalau bisa melakukan tindakan pencegahan, melakukan penerangan, sosialisasi.... “ Pernyataan Presiden Yudhoyono ihwal penjebakan yang dilakukan aparat penegak hukum mendapat kritikan berbagai kalangan yang concern terhadap agenda pemberantasan korupsi. Saat membuka Konvensi Hukum Nasional, di Istana Negara (15/4), Presiden Yudhoyono mengatakan pula, ”... Yang lebih jelek lagi, jangan sampai menjebak....”
Dihubungkan dengan peristiwa sebelumnya, pernyataan itu dapat dimaknai sebagai respons terbuka Yudhoyono atas penangkapan anggota DPR, Al Amin Nur Nasution (kasus alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan, Kepulauan Riau). Jika tak keliru, ungkapan itu ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)., demikianlah ungkapan dalam pemberitaan pers baru-baru ini.
Kita mengenal praktik audit investigatif, baik yang dilakukan BPK dalam kasus KPU yang lalu ataupun langkah-langkah KPK mengungkap suap terhadap para tersangka akhir-akhir ini terjadi dengan cara “menangkap tangan”. Hal ini tentunya berdampak besar bagi berbagai pihak.
Korupsi sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) perlu penanganan dengan cara yang luar biasa pula. Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini diharapkan dapat menangani kasus-kasus korupsi, dibuat tidak berdaya dalam proses penangannya. Bahkan dinilai oleh khalayak umum bahwa kedua institusi itupun sudah masuk ke dalam virus korupsi itu sendiri. KPK dibentuk, sebagai jawaban atas mandulnya penanganan korupsi yang terjadi selama ini. Berbeda dengan tim-tim antikorupsi yang terbentuk sebelumnya, kehadiran KPK selain dikuatkan dalam bentuk UU, kewenangan KPK pun dinilai super.
Mengacu pada pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK memiliki kewenangan yang juga dapat dilakukan oleh pihak penyidik, yaitu diantaranya, menyadap dan merekam pembicaraan, memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri, meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa, memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait, meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait. Dan sebagai sebuah lembaga yang memiliki kewenangan super, KPK sebenarnya punya senjata untuk memangkas jalur birokrasi untuk mengusut pejabat negara yang diduga ‘makan uang haram’ itu. Dalam pasal 12 huruf e Undang-undang No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK mempunyai kewenangan untuk memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka korupsi agar tersangka diberhentikan sementara dari jabatannya.
Kewenangan luar biasa KPK itu berdasar hukum kuat dalam UU No 30 Tahun 2002 (Pasal 12 huruf a sampai h). Dasar ini tidak dimiliki kepolisian maupun kejaksaan sehingga bisa melakukan penyadapan, merekam pembicaraan, atau meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka. KPK juga dapat memeriksa penyelenggara negara tanpa izin Presiden atau atasan tersangka.

Tujuan dan Manfaat Dengan mengikuti workshop ini diharapkan peserta memahami :
• Hal mana yang bisa dilakukan oleh KPK dalam kaitan dengan upaya melakukan tugasnya. Tinjauan dari sudut hukum
• Perbedaan antara ”menjebak” atau ”penjebakan” dan ”tertangkap tangan”. Apa beda Kasus Mulyana W Kusumah (KPU), kasus Urip Tri Gunawan, dan kasus Al Amin Nur Nasution, serta Irawady Joenoes.
• Pelaksanaan tugas BPK dalam kaitan tugas auditnya khususnya tugas audit investigatif. Serta dihubungkan dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang menjadi masukan KPK untuk menindak-lanjuti dengan pengusutan tindak pidana korupsi.
• Seluk beluk audit investigatif, pembuktian dan “penjebakan”, pelaporan , tindak lanjut.
• Memahami problematik pelaksanaan Kerja KPK Berdasar UU No. 30 tahun 2002 , terutama tentang Kewenangannya Yang Luas


Waktu Pelaksanaan
Workshop 2 (dua) hari akan kami selenggarakan pada :
Hari : Rabu & Kamis
Tanggal : 4 & 5 Juni 2008
Pukul : 09.00 – 16.00 WIB
Tempat : Hotel Sari Pan Pacific, Jl. MH. Thamrin 6, Jakarta

Peserta
• BUMN, BUMD, BUMS dan Perusahaan go public
• Bank BUMN, Bank Pembangunan Daerah dan Bank Swasta
1. Dekom dan komite-komite dibawahnya (Komite Audit, Komite Pemantau Risiko)
2. Para auditor internPara pejabat pada Risk Management dan Compliance
3. Para Manajer, terutama pada tempat-tempat yang rawan kecurangan, dalam berbagai kegiatan perusahaan yang dituntut selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan
4. Corporate Secretary
5. Legal Departement/Bagian Hukum
• DPRD
• Pemda


Jadwal Acara



Rabu, 4 Juni 2008
08.30 – 08.45 Register Peserta
08.45 – 09.00 Pembukaan Oleh Chairman Prima Consulting
Sesi 1
09.00 – 10.30 KPK Perlu Menjebak ? Prof .Romli Atmasasmita .SH, LLM
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran
10.30 – 10.45 Coffee Break
Sesi 2
10.45 – 12.15 Aplikasi Audit Investigatif : Antara Menjebak & Tertangkap tangan Khairiansyah Salman,SE Investigative Audit Specialist

12.15 -13.15 Lunch
Sesi 3
13.15 – 14.45 Aplikasi Audit Investigatif : Antara Menjebak & Tertangkap tangan
Lanjutan …….. Khairiansyah Salman, SE
Investigative Audit Specialist
14.45 – 15.00 Coffee Break

Kamis, 5 Juni 2008
Sesi 1
09.00 – 10.30 Proses Laporan Hasil Pemeriksaan BPK yang Kemudian Menjadi Kasus Hukum di KPK Cris Kuntadi, SE., Akt . MM
BPK RI
10.30 – 10.45 Coffee Break
Sesi 2
10.45 – 12.15 Memahami Problematik Aplikasi Mekanisme Kerja KPK Berdasar UU No. 30 tahun 2002 , terutama tentang Kewenangannya Yang Luas * KPK
12.15 -13.15 Lunch
Sesi 3
13.15 – 14.45 Memahami Aplikasi Mekanisme Kerja KPK Berdasar UU No. 30 tahun 2002, terutama tentang Kewenangannya Yang Luas Lanjutan KPK *
14.45 – 15.00 Penutupan

* Dalam Konfirmasi