Wednesday, September 12, 2007

PELATIHAN INTERNAL AUDIT AND FRAUD DETECTION


INTERNAL AUDIT AND FRAUD DETECTION

Fraud auditing atau audit kecurangan adalah upaya untuk mendeteksi dan mencegah kecurangan dalam transaksi-transaksi komersial. Untuk dapat melakukan audit kecurangan terhadap pembukuan dan transaksi komersial memerlukan gabungan dua keterampilan, yaitu sebagai auditor yang telah terlatih baik dan criminal investigator

Langkah selanjutnya adalah melakukan Audit Investigatif (Fraud Examination) adalah suatu methodologi untuk menyelesaikan dengan jelas, permasalahan yang berkaitan dengan adanya indikasi tindak kecurangan dari awal sampai akhir. Lebih khususnya, Pemeriksaan Investigatif meliputi upaya untuk mendapatkan berbagai bukti-bukti dan pernyataan-pernyataan, memberikan kesaksian, penulisan laporan, dan membantu dalam pendeteksian dan pencegahan tindak kecurangan.

Pelatihan ini dibuat untuk memahami pentingnya pengendalian internal pada sebuah organisasi untuk mencegah dan mendeteksi adanya kecurangan, membedakan antara kecurangan dan kesalahan dan beberapa hal mendasar dalam pengendalian internal.

Pelatihan ini ditujukan bagi para auditor internal, akuntan, staf dan pihak lain yang memerlukan pemahaman tentang pentingnya audit internal dalam sebuah organisasi dan hal pokok dalam sistem pengendalian internal untuk mencegah dan memberikan deteksi dini adanya kecurangan dan kesalahan dalam sebuah organisasi.

Untuk melengkapi agar sesuai dengan kondisi yang sebenarnya akan dilakukan studi kasus dan pembahasannya pada perbankan.

Materi:
Bagian I
• Identifikasi masalah praktik kecurangan
• Penyebab kecurangan terjadi
• Perlunya audit kecurangan untuk klarifikasi praktik penyimpangan yang merugikan.
• Pokok-pokok pelaksanaan audit kecurangan dilakukan
• Pokok-Pokok Pencegahan Kecurangan
Bagan II
• Kecurangan dan kesalahan serta cara mendeteksinya
• Jenis-jenis pengendalian internal dan keterbatasannya
• Penilaian resiko
• Jenis-jenis bukti audit
• Penilaian atas audit keuangan
• Indikator kritis dalam pengendalian internal
Studi Kasus

Instruktur:
• Khairinsyah Salman
• Tjukria P. Tawaf
• Pejabat Bank Indonesia

Durasi: 2 hari pelatihan

PELATIHAN AKUNTANSI PERBANKAN INDONESIA


AKUNTANSI PERBANKAN INDONESIA
(Membahas Aplikasi PAPI & hal-hal yang perlu diperhatikan )

Berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank bersama Surat Edarannya membawa pengaruh yang sangat besar dalam pengaturan dunia perbankan di Indonesia. Dalam penyusunan laporan keuangannnya setiap bank harus mengacu kepada Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia yang diterbitkan Bank Indonesia bekerja sama dengan IAI.

Dalam pelatihan ini akan dibahas secara aplikatif penerapan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia dan perkembangan terkini dari pengaturan tentang laporan keuangan bank. Instruktur pelatihan ini terdiri dari para penyusun Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia yang juga merupakan praktisi akuntansi perbankan yang berpengalaman.

Pelatihan ini merupakan media yang tepat bagi para praktisi akuntansi di bank, auditor bank dan masyarakat umum yang berminat mempelajari akuntansi perbankan. Selain itu, pelatihan ini juga bisa digunakan sebagai sarana bagi para auditor bank untuk memenuhi kewajiban mengikuti pelatihan di bidang perbankan secara berkala sebagaimana diatur oleh BI.

Materi:
• Overview PAPI 2001 & PSAK 31
• Akuntansi Aktiva : tagihan derivatif, akseptasi, kredit, dan penyertaan
• Akuntansi Kewajiban: Kewajiban derivatif, akseptasi, efek, pinjaman diterima, Estimasi kerugian komitmen &kontijensi, kewajiban lain-lain, pinjaman subordinasi
• Ekuitas
• Akuntansi Pendapatan dan Beban
• Laporan Perubahan Ekuitas dan Laporan arus kas
• Komitmen kontijensi dan unsur unsur diluar neraca
• Ilustrasi Laporan Keuangan bank
• Hal-hal rawan yang perlu diperhatikan dalam akuntansi perbankan

Instruktur:
• Lim Kurniawan
• E. Istingsih
• Pejabat Bank Indonesia

Durasi: 3 hari pelatihan

Sunday, September 9, 2007

MENGANTISIPASI PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Makalah ini disajikan dalam acara:
WORKSHOP “ MENGELOLA KEPUTUSAN MANAGEMENT YANG BERESIKO HUKUM ”
Jakarta, 06 September 2007


I. PENDAHULUAN

Pada masa-masa krisis ekonomi dan moneter melanda Indonesia di tahun 1998 dan tahun-tahun berikutnya, banyak kebijakan publik yang dikeluarkan oleh aparat birokrasi maupun BUMN /BUMD dan juga pengambilan keputusan-keputusan bisnis dari para pimpinan/pemilik perusahaan yaitu direksi atau komisaris, yang di kemudian hari menimbulkan resiko hukum, baik adminstrasi, perdata maupun pidana sehingga banyak berujung pada proses peradilan baik perdata maupun pidana, khususnya pengadilan tindak pidana korupsi. Contoh yang konkrit dari fakta di atas adalah kebijakan dari pemerintah yang diaplikasikan oleh direksi Bank Indonesia dalam bentuk kebijakan penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kebijakan BLBI diberikan kepada beberapa bank swasta nasional yang waktu itu tengah menghadapi ancaman terjadinya penarikan dana nasabah bank secara besar-besaran (rush) sehingga dapat mengakibatkan bank colapse. Tetapi dalam pelaksanaannya ternyata dana BLBI yang diterima oleh berbagai bank tersebut banyak yang tidak dipergunakan sesuai tujuan BLBI, melainkan digunakan untuk kepentingan bisnis bagi perusahaan-perusahaan dari grup pemilik bank penerima BLBI tersebut atau bahkan ditransfer ke luar negeri sehingga mengakibatkan kerugian negara dan hutang luar negeri terakhir menurut perhitungan Dep. Keuangan sebesar Rp. 140 trilyun yang masih tetap bermasalah sampai saat ini. Kasus BLBI sejauh ini telah memakan korban dari beberapa pejabat BI ( tiga Direktur), para komisaris, direksi maupun beberapa karyawan bank-bank yang terlibat penyalah gunaan dana BLBI dan dinyatakan tidak kooperatif karena dinilai tidak mau menyelesaikan kewajibannya mengembalikan pinjaman BLBI dengan berbagai alasan. Berbagai kebijakan publik yang dikeluarkan pada masa Krisis moneter waktu itu juga telah memakan korban dari berbagai pejabat publik yang mengelola kegiatan bisnis negara ( BULOG), Departemen koperasi dalam program Kredit Usaha Tani (KUT) dan beberapa pejabat dari berbagai instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah. ( Data kasus korupsi dalam periode th. 1988 s/d 2004 terpapar dalam slide ). Mengapa sampai terjadi demikian banyak para pembuat kebijakan publik maupun para pengambil keputusan oleh para pimpinan badan-badan usaha baik milik negara maupun swasta itu kemudian dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara dan denda yang demikian besar? Apakah mereka-mereka itu memang benar telah melakukan tindak pidana korupsi? Apakah setiap pembuatan kebijakan publik ataupun pengambilan keputusan dari instansi pemerintah ataupun swasta dapat beresiko terkena ancaman pidana? Prakarsa dari Prima Consulting yang mengangkat topik masalah pembuatan kebijakan / keputusan yang beresiko pidana dalam workshop ini memang sangat urgent dan strategis bagi para pembuat kebijakan publik maupun keputusan bisnis saat ini, karena materi yang akan didiskusikan ini memang sungguh penting untuk benar-benar dipahami oleh para pimpinan birokrasi dan para pelaku bisnis baik di lingkungan BUMN/BUMD dan swasta nasional serta para pemerhati hukum dan kebijakan publik di Indonesia saat ini. Workshop ini sekaligus juga diperlukan dalam rangka merespon dan mendukung upaya besar pemerintah dan bangsa Indonesia saat ini, yaitu memberantas segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme ( KKN ) dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) muncul sebagai akronim menjelang kejatuhan rezim Orde Baru tahun 1997. KKN sebagai pendorong kekuatan moral bagi masyarakat dan mahasiswa untuk menuntut pertanggung jawaban dan mengganti rezim yang dianggap telah menyuburkan praktek KKN di Indonesia selama ini. Praktek KKN selama ini sudah tidak dapat ditolerir, karena dianggap telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat. Kekayaan negara hanya dinikmati segelintir orang. Orang tidak memiliki akses yang adil terhadap national resources. Akses hanya diberikan pada mereka yang mampu membelinya dengan berbagai cara. Bagi mereka yang tidak mampu, harus mempunyai hubungan tertentu yang dekat dengan kekuasaan.
Rezim Orba secara sistemik telah membangun sistem politik yang sangat sentralistis dan mengeliminasi kekuatan-kekuatan kontrol masyarakat, sehingga terciptalah dominasi kekuasaan, yang acapkali diperoleh dengan kekerasan. Setiap individu akhirnya tunduk atau mengikuti arus, karena takut risiko yang berupa tindakan-tindakan represif atau alienasi baik politik, ekonomi dan kebebasan.
Ketika Orde Baru jatuh, tidak ada kekuatan sosial untuk membangun dirinya sendiri. Kekuatan yang menghadirkan kualitas yang diperlukan untuk sebuah transisi damai dan perubahan sosial telah teralienasi (terisolasi), sehingga semua menjadi tersendat-sendat dan ‘gagap’ ketika harus menghadapinya. Masing-masing individu dan kelompok cenderung berperilaku sendiri-sendiri dengan menggunakan standar masing-masing.
Warisan kegagalan pembangunan institusi inilah yang dihadapi pemerintah -pemerintah era reformasi sekarang. Di satu sisi, ada komitmen kuat untuk melakukan reformasi aparat hukum guna memulihkan rasa kepercayaan publik kepada hukum, tetapi di sisi lain aparat hukum masih menyisakan warisan budaya lama mengabdi kepada kekuasaan dan kepentingan pribadi ketimbang benar-benar berupaya menegakkan keadilan.
Dengan jatuhnya rezim Orde Baru diharapkan praktek-praktek tercela KKN dapat dihapus sehingga tercipta kehidupan sosial yang sehat, demokratis dan transparan, sehingga keadilan dapat dicapai untuk semua orang. Permasalahannya setelah rezim Orde Baru tumbang, ternyata praktek-praktek KKN belum mereda sepenuhnya, bahkan ada kecenderungan mulai merebak ke daerah-daerah ( ekses otonomi daerah) dan juga keberbagai institusi, antara lain lembaga-lembaga legislatif daerah, sementara itu pemberantasan terhadap kasus-kasus KKN (baca korupsi) dinilai oleh masyarakat terasa belum optimal.

II. PEMBUATAN KEBIJAKAN / KEPUTUSAN YANG BERESIKO PIDANA.

Terjadinya tindak pidana yang disebabkan oleh keluarnya suatu kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat publik ataupun pimpinan suatu perusahaan baik dari BUMN/BUMD maupun Perusahaan nasional/swasta) dapat berupa :
A. TINDAK PIDANA UMUM.
Yaitu setiap perbuatan yang memenuhi dan diancam dengan pidana berdasarkan suatu aturan pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP)
Pasal-pasal pidana yang sering terjadi dalam kasus-kasus yang melibatkan pimpinan suatu perusahaan antara lain :
1. Penipuan ( Psl. 378 KUHP);
2. Penggelapan ( Psl. 372 KUHP);
3. Penadahan ( Psl. 480 KUHP)
3. Perbuatan curang; (Bab XXV tentang perbuatan curang)
B. TINDAK PIDANA KHUSUS
Tindak pidana khusus di sini adalah tindak pidana di luar KUHP, yang dapat berupa :
1. Pelanggaran terhadap Undang-undang tertentu yang berkaitan dengan kegiatan dunia usaha, termasuk kegiatan perbankan yaitu :
a. Undang-undang No: 5 Th. 1999 Tentang persaingan usaha;
( Sanksi terhadap pelaku usaha yang melanggar dapat berupa Administrai maupun pidana denda antara Rp. 1.000.000.000,- sampai Rp. 100.000.000.000,-)
b.. Undang-undang No. 10 Th. 1998 tentang Perbankan.
c. Perundang-undangan lain yang berkaitan dengan berbagai kegiatan dunia usaha, al. UU Kehutanan, UU KLH, dsb.
2. Pelanggaran terhadap Undang-undang No. 31 Th. 1999 jo. UU No. 20 Th. 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KAJIAN KONSEPTUAL, ISTILAH, DAN PENGERTIAN KORUPSI
Korupsi berasal dari kata corruption, artinya kecurangan atau perubahan dan penyimpangan. Kata sifat corrupt, berarti juga buruk, rusak, tetapi juga menyuap, sebagai bentuk sesuatu yang buruk. Dalam Webster’s New American Dictionary (1985), kata corruption diartikan sebagai decay (lapuk), contamination (kemasukan sesuatu yang merusak) dan impurity (tidak murni). Sedangkan kata corrupt dijelaskan sebagai “to become rotten or putrid” (menjadi busuk, lapuk, buruk atau tengik), juga “to induce decay in something originally clean and sound” (memasukkan sesuatu yang lapuk atau busuk dalam sesuatu yang semula berisi bersih dan bagus).
Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary, mengartikan corrupt sebagai:
“spoiled: tainted; vitiated, depraved; debased; morally degenerate. As used as a verb, to change ones morals and principles from good to bad.”

Sedang arti dari Corruption menurut Henry Campbell Black adalah:
“An act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of othera. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully used his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the rights of others.”

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi pengertian “korupsi” sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara/perusahaan, organisasi) untuk kepentingan dan keuntungan pribadi atau orang lain. Selanjutnya, “kolusi” diartikan sebagai persekongkolan rahasia untuk maksud atau tujuan yang tidak terpuji. Sedangkan “nepotisme” diartikan sebagai kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah atau tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.
Mengikuti konsep Baharudin Lopa (alm), korupsi dipahami sebagai gejala moral. Orang melakukan tindak korupsi itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan sistem di mana suatu masyarakat hidup. Korupsi adalah gejala kejiwaan kolompok (group psychology). Tingkat perkembangan dan kondisi moralitas orang seorang juga penting, namun yang lebih penting adalah setting sosial-budaya yang mengkondisikan kelompok. Di masa Orde Baru, korupsi memang merajalela, tetapi masyarakat umumnya lebih merupakan korban daripada pelaku. Dan jika terlibat, mereka terlibat karena terpaksa, termasuk sementara pegawai negeri golongan rendah. Mereka "terpaksa" melakukan korupsi karena desakan kebutuhan hidup (corruption by need). Tapi sementara itu mereka yang berkedudukan tinggi melakukan korupsi karena sifat haus kekayaan, kerakusan dan hidup bermewah-mewah (corruption by greed!). Kelompok terakhir inilah yang mengakibatkan kerusakan kehidupan bangsa Indonesia, yang harus dibasmi.
Dengan demikian, selama ini budaya korupsi lebih direpresentasikan oleh birokrat (public office). Dilihat dari sudut ini, korupsi adalah penyimpangan norma-norma yang berlaku bagi seorang yang menjabat pemerintahan negara. Esensi korupsi terletak pada penggunaan kekuasaan atau wewenang yang terkandung dalam suatu jabatan, dan adanya unsur perolehan (gain) atau keuntungan, baik berupa uang atau lainnya.
Sedangkan KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme) merupakan bentuk budaya gejala yang semakin mencuat di era akhir rezim Orde Baru, sebagai bentuk praktek penyimpangan moral birokrasi yang meluas karena beberapa faktor, yaitu:
Pertama, peranan pemerintah yang sangat kuat dalam pembangunan ekonomi dan upaya mendorong perkembangan bisnis.
Kedua, tumbuhnya korporasi dan konglomerasi yang perkembangannya tidak terkontrol secara sehat dan mengabaikan keadilan ekonomi masyarakat.
Ketiga, sedikitnya orang yang memiliki akses ke penguasa dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan usaha besar.
Keempat, Semakin meluasnya praktek-praktek kerjasama tidak sehat ( baca kolusi ) antara pengusaha-penguasa.
Kelima, berkembangnya politik sebagai sumber kekuasaan (power) baru atau sebagai faktor non ekonomi yang menentukan keberhasilan dalam berbisnis.
Bank Dunia menilai Korupsi sudah dianggap sebagai penyakit dalam masyarakat yang dampak negatifnya sangat besar:
Pertama, merusak moral, dalam arti menimbulkan pembenaran terhadap kejahatan. Suatu pencurian besar lebih-lebih kecil dapat ditutupi, tetapi bahkan telah menjadi aturan main. Korupsi ini tidak saja merusak moral pegawai, penguasa (yang sebenarnya harus anti korupsi, karena banyak dirugikan dan menjadi sumber pemerasan) tetapi bahkan juga cendikiawan dan rohaniawan. Korupsi telah menjadi gejala “anti-budaya.”
Kedua, Korupsi telah merusak mutu pembangunan dan hasil pembangunan. Prosedur rasional dilanggar dan dikelabui. Ketentuan hukum dimanfaatkan untuk menutupi bahkan sebagai alat tindak kejahatan. Moral dan etika dipermainkan, dan mutu hasil pembangunan sendiri sangat berkurang, misalnya mutu bangunan fisik seperti gedung dan jalan menjadi berkurang.
Ketiga, Korupsi telah menjadi sumber krisis ekonomi. Sebenarnya pembangunan ekonomi itu adalah sebuah rekayasa yang sifatnya rasional dan terus menerus bersifat memperbaiki dan memperbaharui (reform). Tindakan mark-up dalam usulan proyek misalnya, telah membuat sistem manajemen perencanaan pembangunan menjadi rusak (uncredible) yang akan mengakibatkan runtuhnya sistem pembangunan nasional. Sebab yang paling mendasar dari krisis ekonomi di Thailand, Indonesia, Korea Selatan, bahkan akhir-akhir ini disinyalir juga terjadi di Malaysia (dekade tahun 90-an) adalah rusaknya sistem perencanaan karena praktek kolusi di berbagai sektor ekonomi.
Dalam TAP MPR Nomor X/MPR/1998, keinginan untuk memberantas KKN telah dinyatakan dalam beberapa bagian, sebagai berikut:
a. Meningkatkan keterbukaan pemerintahan dalam pengelolaan usaha untuk menghilangkan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta praktek-praktek ekonomi lainnya yang merugikan negara dan rakyat.
b.. Menumbuhkan pemerintah yang bersih sebagai pelayan masyarakat dan bertindak berdasarkan undang-undang dalam rangka lebih meningkatkan kredibilitas pemerintah di mata rakyat.
c. Menyiapkan sarana dan prasarana serta program aksi bagi tumbuhnya suasana yang sehat bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Untuk menghindari praktek-praktek KKN, maka seseorang yang dipercaya untuk menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
Upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta atau konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan Hak Asasi Manusia.

III. ANTISIPASI PEMBUATAN KEBIJAKAN / KEPUTUSAN YANG BERESIKO TERJADINYA TINDAK PIDANA

A. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK DAN KEPUTUSAN KORPORASI:
Thomas R. Dye:
“Public Policy /corporate policies is whatever to government choose to do or not to do”
James E Anderson:
“Public Policy / corporate policies are those policies developed by governmental bodies and officials or corporate”
David Easton:
“Public Policy Public Policy / corporate policies is the authoritative allocation of values for the whole society”
Harold D Lasswel & A Kaplan :
“A Projected Program of Goals, Values and Practices”

B. JENIS-JENIS KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI :
1. Substantive and Procedural Policies:
Substantive Policy: Kebijakan dilihat dari substansi masalah yang dihadapi oleh pembuatan kebijakan.
Procedural Policy : Kebijakan dilihat dari proses dan pihak-pihak yang terlibat dalam perumusannya (Policy Stakeholder).
2. Distributive, Redistributive, and Regulatory Policies:
Distributive Policy: Kebijakan yang mengatur tentang pemberian pelayanan atau keuntungan kepada individu, kelompok, atau perusahaan.
Redistributive Policy: Kebijakan yang mengatur tentang pemindahan alokasi aset kekayaan, pemilikan, atau hak-hak instansi, lembaga atau perusahaan.
Regulatory Policy: Kebijakan yang mengatur tentang pembatasan/ pelarangan terhadap perbuatan/tindakan oleh pejabat birokrasi atau perusahaan.
3. Material Policy:
Kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian/ penyediaan sumber-sumber aset atau barang yang nyata bagi pegawai, lembaga atau perusahaan.
4. Public Goods and Private Goods Policies:
Public Goods Policy: Kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang/ pelayanan oleh pemerintah untuk kepentingan pemerintah/ kepentingan publik.
Private Goods Policy: Kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang/ pelayanan oleh pihak swasta, untuk kepentingan individu/perusahaan swasta.

C. TINGKAT-TINGKAT KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI:
Lingkup Nasional :
1. Kebijakan Negara: Kebijakan yang bersifat fundamental dan strategis dalam Mencapai tujuan nasional. ( TAP MPR, UUD, UU )
Yang berwenang: MPR, Presiden, DPR.
2. Kebijakan nasional: Kebijakan Presiden sebagai pelaksanan UUD,
TAP MPR, UU, utk capai tujuan nasional. Yang berwenang: Presiden
3. Kebijakan Pelaksanaan: merupakan penjabaran dari kebijakan
umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Yang
berwenang: Menteri/ pejabat setingkat menteri dan pimpinan Lembaga
Pemerintahan Non Departemen (LPND) dan pejabat pimpinan satuan kerja (eselon I, II, III di pusat)
4. Keputusan direksi / dewan komisaris korporasi tingkat pusat.
Lingkup Wilayah :
1. Kebijakan Umum: Kebijakan Pemda sebagai pelaksanaan azas
desentralisasi dalam rangka mengatur urusan RT daerah. Yang
berwenang: Gubernur dan DPRD Provinsi (untuk daerah provinsi), dan
Bupati/Walikota (untuk daerah Kab./Kota).
2. Kebijakan Pelaksanaan, ada tiga macam:
a. Desentralisasi: realisasi pelaksanaan PERDA
b.Dekonsentrasi: pelaksanaan nasional di daerah (pejabat eselon II, III, IV instansi pusat di daerah)
c. Tugas pembantuan (medebewind): pelaksanaan tugas Pemerintah
Pusat di daerah yang diselenggarakan oleh Pemda.
3. Keputusan Pimpinan wilayah /cabang korporasi.

D. LANGKAH-LANGKAH PEMBUATAN KEBIJAKAN ATAU KEPUTUSAN BIROKRASI / KORPORASI:
1. Perumusan landasan/dasar hukum kebijakan;
2. Perumusan Masalah obyek Kebijakan;
3. Perumusan Tujuan/Sasaran kebijakan;
4. Perumusan Alternatif-alternatif;
5. Perumusan Model /bentuk kebijakan;
6. Perumusan pembuat otoritas kebijakan;
7. Perumusan prosedur standar;

E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI:
Faktor Politik, kebijakan negara dan tujuan organisasi;
2. Faktor yuridis dan landasan perundang-undangan;
3. Faktor Ekonomi/Finansial;
4. Faktor prosedur administratif;
5. Faktor organisatoris dan otoritas kewenangan;
6. Faktor kepentingan umum, sosio budaya dan rasa keadilan masyarakat.

F. BENTUK-BENTUK KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI:
Setiap produk kebijakan publik oleh pejabat publik atau direksi
BUMN/BUMD dituangkan dalam bentuk :
a. KEPUTUSAN (SK);
b. PUTUSAN RAPAT PIMP /DIREKSI;
c. PERATURAN;
d. INSTRUKSI;
e. EDARAN;
f. NOTA DINAS;
g. PERSETUJUAN ATAS SARAN/USUL DARI STAF;
h. PETUNJUK TEKNIS, PETUNJUK LAPANGAN;
i. DISPOSISI
Semua dalam bentuk tertulis, dalam lingkup tugas dan kewenangan pejabat yang bersangkutan atau notulen/catatan hasil rapat yang dibuat resmi.

G. PEJABAT PUBLIK / PIMPINAN KORPORASI YANG BERWENANG MEMBUAT KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI :
a. PIMPINAN LEMBAGA TERTINGGI DAN LEMBAGA TINGGI
NEGARA (LEGISLATIF, EKSEKUTIF, YUDICATIF)
b. MENTERI/PEJABAT SETINGKAT MENTERI
c. PIMPINAN SATUAN KERJA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN
/ LEMBAGA NEGARA ( PEJABAT ESELON I, II, III, IV )
d. PEJABAT DI LINGKUNGAN BUMN/BUMD
e. PIMPINAN /ANGGOTA SUATU BADAN YANG DIBENTUK
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG (KPU, KPPU, KPN dsb.)
f. PEJABAT YANG DIBERI KEWENANGAN BERDASARKAN
SUATU ATURAN TERTENTU (BADAN OTORITA, PIMPRO)
g. KOMISARIS, DIREKSI SUATU KORPORASI/PERUSAHAAN
h. PEJABAT –PEJABAT LAIN BERDASARKAN DELEGASI
WEWENANG DARI PEJABAT ATASANNYA ( a s/d g )
.
H. BENTUK EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK/KEPUTUSAN KORPORASI :
( Hewlett & Ramesh 1995) :
1. Administrative & Financial Evaluation
(Evaluasi Administrasi dan keuangan internal/eksternal):
1. Effort Evaluation
2. Performance Evaluation
3. Effectiveness Evaluation
4. Process Evaluation
2. Political Evaluation (Evaluasi Politis):
1. Government political evaluation;
2. Public political evaluation;
3. Law /Judicial Evaluation (Evaluasi hukum/Yuridis):
1. Civil law evaluation ( evaluasi dari segi hukum perdata);
2. Administrative & finance law evaluation (evaluasi dari segi hukum
administrasi dan keuangan);
3. Criminal law evaluation ( evaluasi dari segi hukum pidana)

I. EVALUASI HUKUM TERHADAP KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI :
Evaluasi hukum terhadap suatu kebijakan publik dilakukan apabila :
1. Adanya gugatan dari seseorang/lembaga/korporasi baik perdata atau tata usaha negara;
2. Adanya temuan hasil pemantauan dari anggota lembaga legislatif pusat atau daerah ( DPR/DPD/DPRD Prov/ Kota /Kab )
3. Ada temuan dari hasil inspeksi umum/khusus dari aparat pengawas internal/eksternal yang mengarah adanya indikasi terjadinya suatu pelanggaran hukum;
4. Ada laporan masyarakat kepada instansi ybs atau aparat penegak hukum dengan menyampaikan data awal yang cukup akurat;
5. Adanya temuan dari hasil kegiatan operasi intelijen yudisial dari badan-badan intelijen (BIN, Polri, Kejaksaan) yang memperoleh data awal terjadinya suatu tindak pidana.

J. IMPLIKASI KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI YANG MELANGGAR HUKUM :
Setiap Kebijakan publik atau keputusan korporasi yang dinilai telah melanggar hukum dapat mengakibatkan implikasi-implikasi:
A. BIDANG ADMINISTRATIF;
B. BIDANG FINANCIAL;
C. BIDANG YURIDIS;

K. SIFAT-SIFAT KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI YANG MELANGGAR HUKUM :
1. SEGI PROSEDURAL :
Apabila suatu kebijakan public atau keputusan korporasi dibuat tidak sesuai dengan aturan prosedur baku yang telah ditetapkan berdasarkan suatu peraturan perundangan di lingkungan instansi/lembaga korporasi ybs.
2. SEGI KEWENANGAN :
Apabila suatu kebijakan publik atau keputusan korporasi dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang sesuai dengan lingkup tugas pokok dan fungsinya berdasarkan suatu peraturan perundangan (Job description jabatan ybs.)
3. SEGI MATERI / ISI KEBIJAKAN :
Apabila suatu kebijakan publik memuat hal-hal yang:
1. bertentangan dengan suatu peraturan perundangan yang berlaku, atau
2. bertentangan dengan tujuan dari lembaga / instansi / korporasi, atau
3. bertentangan dengan asas-asas good (corporate) governance, atau
4. bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ras keadilan masyarakat atau
norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.

L. DAMPAK KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI YANG MELANGGAR HUKUM :
Setiap kebijakan publik yang telah melanggar hukum dapat
mengakibatkan timbulnya :
A. GUGATAN TATA USAHA NEGARA (TUN) BAGI PEJABAT PEMERINTAH;
B. TUNTUTAN PERBENDAHARAAN/ GANTI RUGI (TP/TGR);
C. GUGATAN PERDATA;
D. TUNTUTAN PIDANA UMUM MAUPUN KHUSUS ( TPK ), yaitu apabila kebijakan publik atau keputusan korporasi itu merupakan perbuatan melawan hukum dan dapat menimbulkan kerugian negara).

M. KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI YANG MEMENUHI RUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI :
Setiap pejabat pembuat kebijakan publik dapat dikategorikan telah melakukan tindak pidana korupsi apabila :
1. Kebijakan tersebut dibuat secara melawan hukum atau dengan menyalah gunakan kesempatan, wewenang atau sarana yang ada padanya;
2. Kebijakan tersebut telah menguntungkan atau memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
3. Kebijakan tersebut secara langsung atau tak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

N. UPAYA MENCEGAH PEMBUATAN KEPUTUSAN / KEBIJAKAN PUBLIK YANG BERESIKO PIDANA :
1. SETIAP PEJABAT PUBLIK / PIMPINAN KORPORASI YANG DIBERI WEWENANG MEMBUAT KEBIJAKAN PUBLIK ATAU KEPUTUSAN KORPORASI HARUS MEMAHAMI TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANGNYA SESUAI JOB DESCRIPTION / TUPOKSI;
2. SETIAP KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI YANG DIBUAT HARUS DAPAT DIPERTANGGUNG JAWABKAN SECARA POLITIS, ADMINISTRATIF, FINANSIAL DAN YURIDIS;
3. SETIAP KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI AKAN DIEVALUASI OLEH PENGAWAS INTERNAL, EKSTERNAL DAN DIPANTAU OLEH APARAT HUKUM SERTA MASYARAKAT ( LSM ).
4. SETIAP KEBIJAKAN PUBLIK / KEPUTUSAN KORPORASI YANG MELANGGAR HUKUM HARUS DIPERTANGUNG JAWABKAN DAN CEPAT ATAU LAMBAT AKAN MENGHADAPI PROSES HUKUM
5. SETIAP PEJABAT PUBLIK / PIMPINAN KORPORASI HARUS SELALU MEMPERHATIKAN PRINSIP-PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM SETIAP KEBIJAKAN YANG AKAN DIBUAT, DALAM RANGKA MEWUJUDKAN CLEAN GOVERNMENT DAN GOOD ( CORPORATE ) GOVERNANCE.

IV. UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI ERA REFORMASI.
Upaya pemberantasan korupsi di era reformasi telah dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui pendekatan hukum, politik, social dan moral force.Dari bidang hukum direncanakan pembuatan Law Enforcement Officer Act, selain itu adanya perbaikan sistem rekruitmen para calon Hakim (Jaksa, Polisi) yang bebas dari KKN, melalui kurikulum peningkatan kesadaran beretika (hukum).
Menurut Prof Indriyanto Senoaji, dalam seminar Tindak Pidana Korupsi di Jakarta Oktober 2003 menyatakan : "Tanpa adanya political will dari institusi kenegaraan, bukan dalam artian sempit Eksekutif saja, tetapi juga dan Legislatif dun Judikatif, maka pemberantasan korupsi akan sulit mencapai hasil yang maksimal".
Dari penelitian (field research) yang dilakukan oleh Prof. Dr. Andi Hamzah,
S.H. ke berbagai negara, antara lain Muangthai, Malaysia, dan Australia (khususnya Negara Bagian New South Wales), melalui bukunya yang secara lengkap, jelas dan terurai yaitu "Perbandingan Pemberantasan: Korupsi Di Berbagai Negara", penulis memberikan beberapa masukan dan pendapat sebagai berikut :
Aktivitas yang independen dari Independent Commission Against Corruption (ICAO) seperti di Australia, Thailand (National Counter Corruption Commission) sangat menunjang keberhasilan pemberantasan korupsi, mengingat Komisi ini tidak berada dibawah (sub-ordinasi) dari Pemerintah. Karena itu, seperti NCCC di Thailand dapat secara bebas melakukan penyidikan terhadap Perdana Menteri Thaksin (masih aktif sebagai Perdana Menteri saat itu!) yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Political Will secara komprehensif terhadap pemberantasan korupsi itu tidak harus datangnya dari Eksekutif, tetapi lembaga Non-Eksekutif, seperti Legislatif maupun Judikatif, harus sangat memberikan respon yang signifikan untuk menghasilkan pemberantsan korupsi yang maksimal tersebut. Independensi ini terlihat pada sistem pertanggungjawaban komisi ini yang Iangsung kepada parlemen (semacam Legislatif), hukan kepada Perdana Menteri (seperti Malaysia).
Pada umumnya, seperti Negara Anglo-Saxon, memerlukan penerapan Asas Pembalikan Beban Pembuktian (Reversal Burden of Proof atau Omkering van het Bewijslast). lni merupakan penyimpangan Asas umum Hukum Pidana yang menyatakan bahwa siapa yang menuntut dialah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya. Dalam hal "Pembalikan Beban Pemuktian", Terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jika ia tidak dapat membuktikannya maka ia dianggap bersalah. Sebagai suatu penyimpangan, maka asas ini hanya diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu (certain cases) yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi, khususnya terhadap delik baru tentang pemberian (gratification) dan yang berkaitan dengan bribery (penyuapan). Dalam Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 12A, sistem Pembalikan Beban Pembuktian, telah dicantumkan secara tegas dan jelas oleh Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. mengenai rumusan deliknya yang berkaitan dengan pasal 419 KUHP dan Pasal 420 KU HP.
Dalam usaha penegakan hukum dan pemberantasan KKN, pemerintah menyadari bahwa usaha ini tidak semata-mata merupakan persoalan hukum, tetapi juga merupakan persoalan sosial, ekonomi, dan politik; sehingga upaya penegakan dan pemberantasannya pun harus bersifat komprehensif dan multidisipliner. Sehubungan dengan hal tersebut Romli Atmasasmita berpendapat, untuk mempersiapkan usaha penegakan hukum dan pemberantasan KKN yang efisien dan efektif harus bertumpu pada 4 (empat) pendekatan, yaitu:
1. pendekatan hukum
- yaitu dengan menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangan yang bersifat strategis, seperti: UU tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Berwibawa dan bebas KKN; UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. pendekatan budaya
- yaitu dengan mempersiapkan program pemberdayaan masyarakat bekerja sama dengan unsur Koalisi Organisasi Non-pemerintah (ORNOP). Sejalan dengan keragaman budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta perbedaan sikap kelompok etnik; strategi penegakan hukum dan pemberantasan KKN harus diarahkan pada pemberdayaan dan kesadaran masyarakat mengenai bahaya dan dampak KKN terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. pendekatan ekonomi
- dalam strategi penegakan hukum dan pemberantasan KKN seharusnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi sebagian terbesar rakyat yang berada dalam lapisan bawah dan tidak hanya bertujuan meningkatkan kemampuan ekonomi lapisan menengah semata-mata. Hal ini disebabkan perkembangan ekonomi nasional tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan konglomerasi dan kalangan golongan ekonomi menengah, akan tetapi terutama ditentukan secara signifikan oleh kemampuan golongan ekonomi lemah. Pendekatan untuk meningkatkan kemampuan sektor ini akan meningkatkan perkembangan ekonomi makro.

4. pendekatan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan (human resources dan financial resources)
- baik sumber daya manusia maupun sumber daya keuangan, menunjukkan bahwa kelemahan mendasar dalam sektor ini sangat menentukan kinerja pelaksanaan strategi penegakan hukum dan pemberantasan KKN selama ini dan terutama sekali untuk masa-masa mendatang.
Berdasarkan kenyataan demikian maka perlu koordinasi pengawasan dalam penegakan hukum dan pemberantasan KKN secara nasional. Hal yang sangat penting untuk diperhatikan agar tidak mengulangi kesalahan, kekurangan maupun kelemahan pada masa-masa lalu.

V. TINDAK LANJUT PEMBERANTASAN KORUPSI
Pemberantasan korupsi / KKN, perlu menerapkan strategi yang harus dilaksanakan secara konsekuen dan knsisten. Strategi tersebut adalah Preventif, Detektif, dan Represif.
I. STRATEGI PREVENTIF:
Dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada penyebab timbulnya KKN. Setiap penyebab yang teridentifikasi dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab KKN. Di samping perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan KKN. Banyak hal harus dilakukan sebagai bagian strategi preventif dan melibatkan berbagai pihak.
Upaya-upaya preventif yang dilakukan:
a. Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat
b. Memperkuat Mahkamah Agung dan Jajaran Pengadilan di Bawahnya
c. Meneliti Sebab-sebab KKN Secara Terus Menerus
d. Pembangunan Kode Etik di Sektor Publik
e. Pembangunan Kode Etik di Sektor Parpol, Organisasi Profesi, dan Asosiasi Bisnis
f. Kampanye Untuk Menciptakan Nilai (Value) Anti KKN Secara Nasional
g. Penyempurnaan Manajemen SDM dan Peningkatan Gaji Pegawai Negeri
h. Keharusan Pembuatan Strategi dan Laporan Akuntabilitas Sektor Pemerintah
i. Peningkatan Kualitas Penerapan Sistem Pengendalian Manajemen
j. Penyempurnaan Manajemen Aktiva Tetap Milik Negara
k. Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat
l. Upaya Preventif Lainnya dan Perencanaan Lebih Detail

II. STRATEGI DETEKTIF
Strategi ini dibuat dan dilaksanakan terutama diarahkan agar apabila perbuatan KKN terlanjur terjadi, perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu sesingkat-singkat dan seakurat-akuratnya; sehingga dapat ditindak lanjuti dengan tepat.
Berdasar pemikiran ini, banyak sistem yang harus dibenahi agar sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai alarm yang akan cukup cepat memberikan sinyal apabila terjadi perbuatan KKN.
Upaya-upaya detektif yang dilakukan:
a. Penyempurnaan Sistem Pengaduan Dari Masyarakat Terhadap Fungsi Pemerintah dan Tindak Lanjutnya
b. Pemberlakuan Kewajiban Pelaporan Transaksi Keuangan Tertentu
c. Pelaporan Kekayaan Pribadi Pemegang Jabatan dan Fungsi Publik
d. Partisipasi Indonesia Pada Gerakan Anti Korupsi dan Anti Pencucian Uang Di Masyarakat Internasional
e. Dimulainya Penggunaan Nomor Kependudukan Nasional
f. Peningkatan Kemampuan APFP Dalam Medeteksi Korupsi
g. Di dalam pengawasan kelembagaan internal, perlu dilakukan langkah-langkah deteksi dini terhadap semua proses kegiatan di semua satuan kerja, guna mencegah timbulnya kesempatan atau peluang terjadinya tindak pidana korupsi.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh satuan-satuan pengawas internal ( Birokrasi /BUMN/BUMD) untuk mencegah terjadinya berbagai kemungkinan penyimpangan oleh satuan-satuan kerja di suatu lembaga adalah sebagai berikut:

A. Pada tahap Perencanaan ( D.U.P ):
Proses terjadinya TP. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dapat dimulai sejak tahap perencanaan, yaitu pada saat diajukannya DUP dan DUK.
Tindak KKN dimulai dengan perbuatan-perbuatan sbb :
- Membuat Usulan proyek atau kegiatan belanja rutin yang beaya maupun harganya digelembungkan (Mark Up.)
- Mengajukan usulan proyek atau pengadaan barang atau jasa yang sebenarnya tidak pernah ada / tidak pernah dilaksanakan ( proyek fiktif )
- Mengajukan usulan proyek yang sebenarnya sudah dikerjakan atau sebagian sudah dikerjakan tetapi diajukan lagi dengan beaya penuh dengan jenis dan lokasi proyek yang sama ( proyek doubel yang fiktif).
- Mengajukan usulan beaya pembebasan tanah dengan beaya yang di mark up, atau sebenarnya tanah itu tanah negara tetapi direkayasa seolah-olah ada pemiliknya, sehingga harus dikeluarkan ganti rugi. (Ganti rugi fiktif).
- Mengajukan usul beaya pembebasan tanah, padahal tanah itu sudah pernah dibayar ganti ruginya oleh pemerintah.
- Dan segala bentuk rekayasa/manipulasi kegiatan dalam tahap perencanaan yang akan dimasukkan dalam penyusunan DUK maupun DUP dengan maksud menguntungkan diri sendiri/orang lain/badan yang dapat merugikan negara/masyarakat.

B. Pada tahap Pelaksanaan: ( D.I.K / D.I.PA )
1. Pelaksanaan DIK ( Anggaran Kegiatan rutin kantor):
a. Pelaksanaan Pembayaran Gaji Pegawai :
- Membuat / mengajukan daftar gaji yang isinya tidak benar/ dipalsukan;
- Membuat/mengajukan daftar gaji pegawai fiktif (orangnya tidak ada atau sudah meninggal);
- Melakukan pemotongan gaji secara tidak sah;
- Tidak membayarkan gaji kepada pegawai yang berhak;
b. Pelaksanaan belanja kantor /pengadaan barang/jasa:
- Melakukan pengadaan barang/jasa dengan harga yang tidak sesuai dengan harga pasar (mark up);
- Membuat/mengajukan daftar belanja kantor yang isinya tidak benar/fiktif;
- Membuat pengeluaran dana untuk pembayaran terhadap barang/jasa yang sebelumnya sudah dibayar oleh dinas (pengeluaran fiktif);
- Membeli barang/jasa untuk kepentingan pribadi yang dibebankan kepada anggaran dinas/kantor;
c. Kegiatan perjalanan dinas :
- Pembuatan Surat Pertanggung jawaban (SPJ) untuk perjalanan dinas yang isinya tidak benar (SPJ Fiktif);
- Menggunakan uang perjalanan dinas yang sebenarnya tidak dilakukan, atau dilakukan tidak sesuai dengan SPJ.(jumlah orangnya atau harinya diperbanyak dsb);

2. Pelaksanaan DIPA ( AnggaranProyek).
a. Proyek pembangunan fisik. (paling sering terjadi KKN).
- Melakukan penyusunan RAB proyek yang beaya maupun harganya telah digelembungkan (Mark Up.);
- Melaksanakan tender proyek yang tidak transparan, menyalahi aturan, dengan tujuan memenangkan salah satu Perusahaan tertentu (KKN);
- Melaksanakan proyek yang sebenarnya tidak pernah ada / tidak pernah dilaksanakan ( proyek fiktif )
- Melaksanakan proyek yang sebenarnya sudah dikerjakan atau sebagian sudah dikerjakan tetapi seolah-olah dikerjakan lagi dengan beaya penuh dengan jenis dan lokasi proyek yang sama ( proyek doubel yang fiktif).
b. Proyek pengadaan tanah.
- Melaksanakan pembebasan tanah dengan beaya yang di mark up, atau sebenarnya tanah itu tanah negara tetapi direkayasa seolah-olah ada pemiliknya, sehingga harus dikeluarkan ganti rugi. (Ganti rugi fiktif).
- Melaksanakan pembebasan tanah, padahal tanah itu sudah pernah dibayar ganti ruginya oleh pemerintah.
c. Berbagai bentuk penyimpangan dalam pelaksanaan proyek-projek fisik maupun non fisik lain, dengan modus operadi yang sama atau mirip, yaitu dengan cara mengelembungkan beaya / harga (mark up) atau proyek itu sebenarnya sudah ada, tetapi diajukan dananya lagi, atau berkolusi dengan pihak pelaksana untuk mengurangi volume, kualitas maupun tenggang waktu pelaksanaan yang tidak tepat waktu, dengan maksud menguntungkan diri sendiri/orang lain/korpo rasi, yang dapat berakibat merugikan negara ( Melang gar Psl. 2, 3 UU PTPK).

KORUPSI yang terjadi atau dilakukan oleh orang/badan di luar birokrasi :
Berbagai modus operandi tindak korupsi yang dilakukan oleh orang swasta / pengusaha dengan menggunakan korporasi (perusahaan, lembaga perbankan dsb.).
Modus operandinya adalah melakukan manipulasi atau rekayasa kredit perbankan atau dari lembaga-lembaga keuangan non Bank lainnya untuk menguasai sejumlah dana secara tidak benar, baik cara perolehannya maupun penggunaannya.
Misalnya kredit yang melampaui BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) bagi pihak terafiliasi, atau pemberian kredit tanpa agunan yang memadai (kolusi antar pemberi dengan penerima kredit), yang akhirnya membebankan kerugian kepada negara / masyarakat.

III. STRATEGI REPRESIF:

Strategi ini harus diterapkan secara tegas dengan tujuan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat, tepat dan tegas bagi para pelaku tindak pidana korupsi.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum represif ini, proses penanganankasus sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dpat disempurnakan di segala aspeknya sehingga proses penanganan tersebut akan dapat dilakukan secara tepat dan tepat.
Upaya-upaya represif yang dilakukan:
b. Pembentukan Badan Anti Korupsi/Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK );
c. Pembentukan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( TIMTAS TIPIKOR);
d. Penyidikan, Penuntutan, Peradilan dan Penghukuman Beberapa Koruptor Besar
e. Penentuan Jenis atau Kelompok KKN Yang Diprioritaskan Untuk Diberantas
f. Pemberlakuan Konsep Pembuktian Terbalik
g. Penelitian dan Evaluasi Proses Penanganan KKN Dalam Sistem Peradilan Pidana Secara Berkelanjutan
h. Pemberlakuan Sistem Pemantauan Proses Penyelesaian Kasus KKN Secara Terpadu
i. Publikasi Kasus-Kasus KKN Beserta Analisisnya
j. Pengaturan Kembali Pelaksanaan Tugas Penyidik dan PPNS
k. Upaya Represif Lainnya dan Perencanaan Lebih Detail dan konkrit.

Sehubungan hal tersebut, sangat diperlukan dorongan untuk meningkatkan keterbukaan dan demokratisasi segala aspek kehidupan. Rasa kebersamaan akan menekankan prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan masyarakat, merupakan tema-tema yang harus tetap menjadi bagian terpenting dalam usaha memupuk rasa percaya diri dan kemandirian masyarakat agar mampu menghadapi tantangan masa depan. Yang dibutuhkan bukanlah keseragaman (uniformity atau sameness) seperti yang tergambar dalam praktek kehidupan selama ini, akan tetapi adalah kesatuan dan kesamaan gagasan (unity and oneness), dan terwujudnya saling ketergantungan dalam perbedaan yang ada.

VI. PENUTUP
Krisis ekonomi dan moneter berkepanjangan yang melanda Indonesia, tidak hanya berkaitan dengan masalah ekonomi, tetapi juga dengan berbagai dimensi kehidupan seperti: politik, sosial dan budaya bangsa yang awalnya telah berkembang semenjak pemerintahan Orde Baru. Salah satu penyebab ambruknya ekonomi Indonesia ditengarai berkaitan dengan praktek korupsi yang dilakukan melalui kolusi secara meluas di berbagai kalangan, dengan memanfaatkan sistem nepotisme yang sudah berakar dalam kebudayaan Indonesia.
Korupsi, terutama melibatkan public servant (apakah itu birokrat, aparat hukum, atau wakil rakyat) dan terjadi dalam public sphere. Korupsi terjadi karena public servant menyalahgunakan kedudukannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan merugikan negara dan masyarakat. Dalam konteks ini kolusi dan nepotisme hanyalah dua corak dari perilaku yang sama. Kolusi berarti mengikat kerjasama dengan pihak luar (swasta) untuk mendapatkan keuntungan tidak sah dari milik publik atau negara. Sedang nepotisme memberi kedudukan publik berdasarkan ikatan keluarga atau kekerabatan darah atau ideologis, bukan berdasarkan pertimbangan merit.
Penegakan hukum dan pemberantasan Korupsi merupakan bagian dari upaya reformasi secara menyeluruh dalam semua bidang kehidupan. Secara detail tahapan reformasi adalah meletakkan pondasi, lingkungan, dan kondisi yang kondusif untuk:
Pertama, meningkatkan daya tahan dan daya saing bangsa dalam negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat adil dan makmur. Dalam kaitannya dengan daya saing tentu tidak terlepas dari persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi Bangsa Indonesia saat ini, suatu kondisi di mana kehidupan ekonomi rakyat sungguh memprihatinkan.
Kedua, mengembangkan ukuran obyektif agar segala jenis rekrutmen sumber daya manusia hanya didasarkan pada prestasi kerja (disebut meritocracy). Denepotisasi proses rekrutmen harus dilaksanakan. Nepotisasi dalam arti luas, tidak hanya faktor kaum kerabat, tetapi semua pengangkatan atau rekrutmen yang tidak berdasarkan standar atau kriteria yang obyektif, termasuk ‘koncoisme’ dan lain-lain harus dimasukkan sebagai nepotisasi.
Ketiga, mengembangkan daulat hukum (rule of law), keamanan dan ketertiban dalam masyarakat serta membebaskan masyarakat dari rasa takut. Orang tidak dapat bekerja kalau selalu ada kerusuhan dan masyarakat harus terbebas dari rasa lapar dan rasa takut.
Keempat, menciptakan masyarakat dan pemerintah yang bersih, didasarkan pertanggungjawaban etika dan moral. Perlu ditumbuhkan budaya malu jika melakukan sesuatu yang merugikan kepentingan umum, melanggar hak orang lain, atau bertindak yang bertentangan dengan peraturan. Dalam kaitan ini perlu ditekankan bahwa salah satu faktor penyebab kekacauan di negeri ini adalah semakin pudarnya etika publik. Sehingga tidak jelas di mana wilayah kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, dan kepentingan umum; serta perbedaan seseorang sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala negara. Model penyelenggaraan pemerintahan seperti itu harus segera diakhiri, kemudian dibangun negara dengan pendekatan sistem dan kelembagaan.
Kelima, adalah demokratisasi di semua bidang, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak dan tanggung jawab yang menuju suatu masyarakat yang egaliter. Yang dimaksud dengan egaliter adalah suatu hak dan tanggung jawab yang sama di depan publik, orang itu sama di depan publik dan hukum.
Demikianlah pokok-pokok pikiran tentang upaya meningkatkan pemberantasan korupsi (KKN) di era pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu yang perlu menjadi fokus perhatian utama bagi para pemegang otoritas penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah dan para pimpinan korporasi baik milik negara maupun swasta nasional. Akhirnya semoga bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari penyakit sosial korupsi, dan kita semua diberikan kekuatan lahir batin oleh Allah Swt dalam mengemban tugas-tugas demi masyarakat, bangsa dan negara guna mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia. Amin.
Jakarta, 06 Sept. 2007

SUDHONO ISWAHYUDI
Praktisi hukum


DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. Korupsi Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan. Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1984.

----------------. Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana. Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002.

Antonius Sujata. Reformasi Dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Djambatan, 2000.

Baharuddin Lopa. Masalah Korupsi & Pemecahannya. Jakarta: PT. Kipas Putih, 1997.

Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (penyunting). Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1999.

Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary. Sixth Edition. St. Paul, Minn.: West Publishing Co., 1990.

Muladi. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: The Habibie Center, 2002.

Muljatno Sindhudarmoko, Masruchin, M. Sadeli, Suharli Marbun, Nugroho Arimuljarto. Ekonomi Korupsi. Jakarta: Pustaka Quantum, 2001.

Mulyana W. Kusumah. Tegaknya Supremasi Hukum. Terjebak Antara Memilih Hukum dan Demokrasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

Leslie W. Rue & Lloyd L. Byars. Management-Skills and Application, The McGraw-Hill, 9th edition, 2000.

Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa, H. Lindsey Parris. Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintah Daerah. Alih Bahasa: Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Romli Atmasasmita. Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM R.I., 2002.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.


DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
Nama Lengkap : SUDHONO ISWAHYUDI
Tempat / Tanggal Lahir : Ponorogo, Jatim 1945
Agama : Islam
Alamat Rumah : Jl. Adhyaksa V/C-7 Lebak Bulus Jaksel.
Telepon Rumah : ( 021 ) 7510663
Alamat : Kejaksaan Agung RI Jakarta Selatan
Telepon Kantor : ( 021 ) 7250176

II. RIWAYAT PENGALAMAN KERJA
1. Diangkat Pegawai Kejaksaan di Kejati KALTIM di Balikpapan (1973 )
2. Kabag Operasi Intelijen Kejari Tanah Grogot, Kalimantan Timur ( 1975 )
3. Kepala Sub Bag Pembinaan Kejari Samarinda, Kalimantan Timur ( 1984 )
4. Riksa pada Irban Yustisial Wil.II, Kejaksaan Agung RI ( 1986 )
5. Kasi Penyidikan pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ( 1990 )
6. Kepala Kejaksaan Negeri Rantau, Kalimantan Selatan ( 1990 )
7. Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi Timor - Timur, di Dili ( 1993 )
8. Kepala Kejaksaan Negeri Bondowoso, Jawa Timur ( 1994 )
9. Kepala Sub Direktorat Pam.Ideologi & Politik Kejaksaan Agung RI ( 1995 )
10. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan ( 1996 )
11. Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Riau, di Pekanbaru ( 1998 )
12. Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ( 1998 )
13. Direktur Sosial Budaya Kejaksaan Agung RI ( 1999 )
14. Direktur Ekonomi dan Keuangan Kejaksaan Agung RI ( 1999 )
15. Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur, di Kupang ( 2000 )
16. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, di Bandung ( 2001 )
17. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ( 2003 s/d 2005)
18. Staf Khusus Menteri ESDM bidang Hukum ( 2005 s/d sekarang).

III. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. S R di Ponorogo ( 1958 )
2. SMP di Ponorogo ( 1961 )
3. SMA di Ponorogo ( 1964 )
4. S H. UNDIP di Semarang( 1972 )
5. M H. STIH IBLAM di Jakarta ( 2000 )
6. Program Doktor (S3) ilmu Hukum UNDIP Semarang.

IV. RIWAYAT KURSUS / LATIHAN
1. Pendidikan Pembentukan Jaksa, Jakarta ( 1974 )
2. Pendidikan Teknis Pidana Umum, Jakarta ( 1988 )
3. Sekolah Staf Pimpinan Nasional ( SESPANAS ), LAN, Jakarta ( 1995 )
4. SUSPADNAS LEMHANNAS, di LEMHANNAS, Jakarta ( 1996 )
5. Law Enforcement Executive Course ILEA ( International Law Enforcement Academy ), Bangkok, Thailand ( 1999 )